15 Tahun Harry Roesli: Antara Cinta, Citra & Semangat Berkarya

Dec 20, 2019

Rabu (11/12) 2019 kemarin merupakan peringatan 15 tahun kepergian dari seniman, budayawan, serta musisi asal Kota Kembang Bandung, Harry Roesli. Almarhum berpulang pada 11 Desember 2004 karena penyakit jantung ini meninggalkan sejumlah legacy berupa karya serta sikap kritis beliau dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.

Beberapa tahun belakangan ini pula, karya-karya Harry Roesli yang pada zamannya dianggap berbeda alias anti-mainstream ini banyak digali oleh anak-anak muda. Penggalian generasi muda terhadap karya Harry Roesli ini mencapai puncaknya ketika LaMunai Records merilis ulang dua karya awal sekaligus masterpiece dari Harry Roesli: album Philosophy Gang dan Ken Arok dalam format piringan hitam dan CD pada 2017 dan 2018 kemarin.

Peringatan 15 tahun berpulangnya Harry Roesli ini ditandai dengan satu event yang diadakan Warkop Musik bekerjasama dengan Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) dan Popstoreindo dalam seri ketiga dari pergelaran 78rpm bertajuk: “Tribute to Harry Roesli: 15 Tahun Tetap Menyala” dengan mengambil tempat di ruang utama Rumah Musik Harry Roesli di Jalan Supratman, Bandung. Acara dimulai pada pukul 19:30 dengan suasana ruang utama RMHR yang disulap layaknya ruang teater.

Terdengar lantunan salah satu hit almarhum Harry Roesli berjudul “Jangan Menangis Indonesia” sembari menampilkan tari pantomim dari Wanggi Hoed. Berlanjut dengan pembacaan puisi dari Hadiriot tentang dua orang petani yang menjadi korban keserakahan Orde Baru. Disusul oleh duo Dery dan Putri dari Garamerica yang menyanyikan salah satu tembang Harry Roesli dari album Rock Opera Ken Arok (1977). Momen mendebarkan ini seolah menghidupkan kembali roh Harry Roesli untuk hadir di tengah kami malam itu.

Acarapun berlanjut dengan sharing session yang menghadirkan putra almarhum Harry Roesli, Lahami Roesli sebagai MC, bersama dengan Kania Roesli (istri almarhum Harry Roesli), Layala Roesli (putra almarhum Harry Roesli), Rendi (LaMunai Records/Irama Nusantara), Amenkcoy (visual artist), serta Tresna dari Warkop Musik yang bertindak sebagai moderator menggantikan Budi Dalton yang mendadak berhalangan hadir. Dalam sharing session ini, banyak fakta menarik dari almarhum Harry Roesli yang belum pernah diketahui banyak orang sebelumnya. Istri almarhum, Kania Roesli, bertutur bahwa almarhum Harry Roesli pernah membuat suatu pagelaran bersama Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) bernama “Konser Ketawa”. Konser ini berlangsung akibat para personil DKSB diperdengarkan kaset berisi musik aneh-aneh yang tidak lain merupakan referensi musik Harry Roesli melalui walkman. Karena merasa lucu bahkan tidak mengerti, para personil DKSB pun hanya bisa tertawa-tawa mendengarnya. Penampilan inipun kemudian mengundang gelak tawa penonton yang menertawakan mereka yang sedang tertawa.

Putra almarhum, Layala Roesli pun juga bercerita kalau suatu hari almarhum ayahnya bersama DKSB pernah diundang untuk mengadakan konser di ITB. Namun sampai H-1 konser, mereka tidak diberitahu harus menampilkan apa. Maka pada saat hari H acara, Harry Roesli bersama DKSB mengadakan briefing untuk menampilkan gimmick yang akan dilakukan di acara tersebut. Pada saat acara berlangsung, salah seorang anggota DKSB mematikan genset, lalu Harry Roesli pun marah-marah seolah ini merupakan sabotase dari panitia penyelenggara. Cerita inipun mengundang tawa dari para penonton yang hadir malam itu.

Namun fakta yang krusial adalah penuturan Rendi dari LaMunai Records mengenai mengapa album perdana Harry Roesli berjudul Philosophy Gang (1973) dirilis di Singapore dan bukan di Indonesia. Menurutnya yang didapat dari cerita Hari Pochang (pemain harmonika The Gang of Harry Roesli), bahwa para pemain The Gang of Harry Roesli ini ingin derajatnya terlihat lebih tinggi dibanding band-band lain yang eksis saat itu. Karena jika album ini rilis di Indonesia, eksistensi mereka pasti akan tertimpa oleh band-band semacam AKA, Rollies, Giant Step, dan lain-lain. Sungguh ini merupakan satu fakta ‘mencengangkan’ yang mungkin tidak pernah diketahui banyak orang termasuk para pendengar karya Harry Roesli.

Acarapun ditutup sekitar pukul 21:30 dengan spinning session yang memutar test pressing piringan hitam salah satu masterpiece Harry Roesli berjudul Titik Api (1976) yang rencananya akan dirilis ulang LaMunai Records pada 2020 mendatang. Peringatan “Tribute to Harry Roesli: 15 Tahun Tetap Berkarya” ini seolah memotivasi para generasi muda untuk terus semangat berkarya dengan melakukan apa yang kita cintai. Sesuai dengan amanat almarhum Harry Roesli sebelum meninggal: “Jangan pernah mematikan lampu di meja kerja saya!” yang bermaksud untuk menjaga kestabilan agar terus memunculkan semangat dalam berkarya dan menjalani hidup.

 

____

Penulis
Abie Ramadhan
Lulusan Ilmu Komunikasi, Pecandu black music, senang travelling dan main piano.

Eksplor konten lain Pophariini

Excrowded Menggelorakan Musik di Malang Lewat Album Mini Terbaru

Setelah jeda hampir 2 tahun, Excrowded akhirnya kembali membawa karya baru berupa album mini bertajuk Unite Diversity hari Senin (01/04)   Excrowded beranggotakan Hazbi Azmi (vokal), Gilang Akbar (gitar), Gianni Maldino (bas), dan Rijadli …

Mickmorthy Luncurkan Single Ketiga Berjudul Why Am I Here?

Setelah merilis “Alive” (2021) dan “Greed” (2023), Mickmorthy asal Tangerang Selatan kembali mempersembahkan karya musik terbaru dalam tajuk “Why Am I Here?” hari Jumat (12/04) yang menjadi jembatan mereka menuju penggarapan album.   Mickmorthy …