20 Tahun Godzkilla Necronometry, Homicide: Molotov Pertama Hip Hop Indonesia

Godzkilla Necronometry, EP debut dari kolektif hip hop legendaris asal Bandung, Homicide, resmi menginjak usia dua dekade pada tahun ini. Ditulis mulai dari tahun 1998 hingga selesai dan dirilis pada tahun 2002, album ini tak hanya menjadi kapsul waktu dengan lirik-lirik penuh referensi yang menangkap lanskap demoralisasi pasca orde-baru seperti pecahnya gerakan pro-demokrasi, kooptasi organisasi mahasiswa, menguatnya ormas-ormas fundamentalis hingga resesi dan neoliberalisme yang semakin dalam menancapkan kuku-kuku setelahnya, namun juga berhasil mendorong imajinasi tentang sejauh apa hip hop Indonesia dapat bersuara di luar bentuk lazimnya yang hari itu semakin mudah ditemui pada kanal-kanal mainstream.
***
Ketika kita membicarakan tentang betapa bergairahnya hip-hop lokal hari ini, rasanya tak mungkin untuk menutup mata pada sumbangsih pergerakan hip-hop di Bandung serta nama besar Homicide di belakangnya. Keterlibatan mereka sejak era scene Saparua, sikap politik radikal yang meleleh ke dalam lirik-lirik rap mereka, musik hip-hop yang lebih keras dan bising dari nama-nama lain pada eranya dengan pengaruh musik dari hardcore hingga metal, serta kiprah para punggawanya yang terus menggeliat baik di scene Bandung maupun scene hip-hop lokal hingga hari ini, menjadi catatan yang menyertai nama besar Homicide.
Setidaknya ada beberapa bukti langsung yang bisa dijadikan parameter untuk menganalisis seberapa besar taji musikal Homicide di balik mitos serta cerita-cerita yang mengelilingi mereka. Bukti-bukti tersebut tak lain adalah album-album yang mereka rilis dalam rentang waktu tahun 2002 hingga 2008. Godzkilla Necronometry pada 2002, Barisan Nisan pada 2005, album final Illsurrekshun pada 2007, serta split 12″ Pathos bersama MC asal Amerika, MC Homeless, yang dirilis pasca mereka bubar tahun 2008.
Ketika kita membicarakan tentang betapa bergairahnya hip-hop lokal hari ini, rasanya tak mungkin untuk menutup mata pada sumbangsih pergerakan hip-hop di Bandung serta nama besar Homicide di belakangnya
Hari ini, mungkin album Barisan Nisan adalah karya terbaik Homicide di antara ketiganya. Permainan bpm janggal tak beraturan, palet sound industrial, keragaman bentuk dan tekstur, dan title track monumental ‘Barisan Nisan’ yang dengan sempurna merekam lanskap neraka neoliberal dalam spoken word ala Gill-Scott Heron di atas denyut noise yang menyerupai percik api adalah beberapa alasannya. Namun, semua aspek kemuakan yang membuat Barisan Nisan menyala takkan hadir tanpa dipupuk terlebih dahulu dengan elemen-elemen baik musik maupun lirik pada debut extended play (EP) formatif mereka, Godzkilla Necronometry.
***
Godzkilla menjadi rilisan debut dari kolektif rap/hip-hop Homicide yang pada tahun itu, 2002, berhasil bertahan dalam format trio: Morgue Vanguard/MV (Herry Sutresna) dan Sarkasz (Aszi) sebagai duo MC/rapper serta DJ-E (Iwan) pada turntable. Sebelumnya, Homicide yang berdiri pada tahun 1994 memiliki anggota seorang rapper lagi bernama Punish (Lephe) dan seorang DJ yang di kemudian hari digantikan DJ-E, bernama DJ Kassaf (Kiki Assaf). Formasi awal ini merupakan versi Homicide yang dikenal malang melintang di panggung-panggung skena independen Bandung pertengahan 90-an, terutama pada acara-acara di GOR Saparua yang hari itu diisi oleh band-band punk, hardcore hingga metal.
Pada 1999, DJ Kassaf keluar dari formasi Homicide, meninggalkan kekosongan di posisi turntablist sebelum diisi oleh DJ-E yang bergabung pada 2001, tahun yang sama di mana rapper Punish memutuskan untuk hengkang dari grup. Formasi 2001 inilah yang akhirnya menelurkan Godzkilla yang awalnya hanya dirilis dalam kaset tape secara terbatas, sebelum kemudian dirilis sebagai setengah bagian dari split EP Hymne Penghitam Langit dan Prosa Tanpa Tuhan kolaborasi Homicide dengan unit hardcore Bandung seangkatan mereka yakni Balcony, juga dalam bentuk kaset tape.
Godzkilla Necronometry, EP debut dari kolektif hip hop legendaris asal Bandung, Homicide, resmi menginjak usia dua dekade pada tahun ini. Ditulis mulai dari tahun 1998 hingga selesai dan dirilis pada tahun 2002
Tak hanya penting bagi scene Bandung sebagai album dari grup yang satu-satunya menjaga nyala hip-hop di tengah scene hardcore yang hari itu penuh deru distorsi, gebukan drum oktan-tinggi dan teriakan-teriakan lirik-lirik bercorak anarkisme yang nyaring, Godzkilla Necronometry juga merupakan pembuktian Homicide kepada scene hip-hop Indonesia yang telah melirik sinis kepada mereka setelah statement “hip-hop is dead” mereka gaungkan lewat lagu mereka yang berjudul sama (sayangnya hilang dan tak sempat direkam) ketika tampil di acara X’s Freedom di Bandung pada tahun 2000. Statement provokatif tersebut berujung track respon dari Xcalibour (salah satu roster label Surabaya, Pasukan Records) yang dirilis pada tahun 2001 berjudul “Dobrak”, dengan chorus yang sengit merapal beramai-ramai bahwa: “hip-hop takkan mati.”
Di sisi lain, ketika memasuki milenium, gelombang demoralisasi pasca orde baru mulai menghantam lingkar aktivisme politik MV dan Sarkasz, yang pada 90-an akhir berpetualang pada gerakan-gerakan kiri (MV bahkan pernah menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik sebelum keluar tak lama setelah reformasi) yang banyak beririsan dengan scene musik Bandung. Mimpi yang mereka gadang-gadang tentang ekosistem alternatif yang ramah pasca orde baru kandas. Gerakan pro-demokrasi pecah, organisasi-organisasi mahasiswa dengan cepat terkooptasi elit partai, fundamentalisme agama yang menguat melalui ormas-ormas beringas peliharaan militer demi melawan wacana demiliterisasi pasca turunnya Soeharto, lalu ditambah resesi dan disusul neoliberalisme yang kian hari kian kuat menancapkan kuku-kuku. Satu fasis dipenggal, seribu fasis-fasis kecil tumbuh menyebar atas nama “demokrasi” yang sebelumnya dibayangkan sebagai sesuatu yang menjanjikan.
Album ini tak hanya menjadi kapsul waktu dengan lirik-lirik penuh referensi yang menangkap lanskap demoralisasi pasca orde-baru, namun juga berhasil mendorong imajinasi tentang sejauh apa hip hop Indonesia dapat bersuara di luar bentuk lazimnya yang hari itu semakin mudah ditemui pada kanal-kanal mainstream.
Hal-hal tadi menyadarkan mereka dan seluruh pegiat aktivisme di skena Bandung, bahwa reformasi telah benar-benar gagal dan takkan ada yang benar-benar berubah, kecuali dalam konotasi yang negatif. Dan, tepat di ruang inilah Godzkilla lahir: demoralisasi pasca orde baru. Kemuraman-kemuraman era itu mau tak mau menjangkiti lirik-lirik di sekujur Godzkilla, samar-samar di balik gaya braggadocio dan pendekatan lirik mereka yang bertabur referensi. Ambil contoh lirik pada pembukaan track “Boombox Monger”: “Jika konsumen adalah raja maka industri adalah Kasparov/dan setiap vanguard lapangan/tak lebih Lenin dari Ulyanov.”
Potongan lirik tersebut mungkin dapat merangsang pendengar yang asing dengan literatur kiri bertanya-tanya: “Siapa Kasparov? Apa hubungannya dengan pepatah ‘konsumen adalah raja’? Siapa ‘vanguard lapangan’ lalu kenapa mereka ‘tak lebih Lenin dari Ulyanov?’ Tunggu, siapa itu Ulyanov?” sebelum kemudian mempelajarinya dan menemukan bahwa Kasparov adalah nama grandmaster catur, sehingga slogan “konsumen adalah raja” menjadi omong kosong di hadapan industri yang sanggup mengendalikan “raja” itu sendiri, dan menurut Homicide, para “vanguard lapangan” yang berarti para “pelopor lapangan” kini tak lebih totalitarian dari Lenin (Ulyanov adalah nama belakang Lenin) itu sendiri.
Hari ini, mungkin album Barisan Nisan adalah karya terbaik Homicide di antara ketiga katalognya. Permainan bpm janggal tak beraturan, palet sound industrial, keragaman bentuk dan tekstur, dan title track monumental ‘Barisan Nisan’ yang dengan sempurna merekam lanskap neraka neoliberal dalam spoken word ala Gill-Scott Heron di atas denyut noise yang menyerupai percik api adalah beberapa alasannya.
Kekecewaan-kekecewaan terkait demoralisasi seperti inilah yang menjadi wajah yang secara samar namun konstan hadir dalam lirik-lirik pada Godzkilla yang ditulis dalam gaya aforisme penuh referensi seperti di atas. Gaya yang tak hanya berhenti di namedrop, namun sekaligus memaksa para pendengar menelusuri hubungan antar subjek-subjek yang disebut, hingga kemudian menyeret mereka ke medan pertempuran wacana-wacana ideologis yang memiliki pengaruh besar dalam menuntun berjalannya dunia sekaligus membongkar kelicikan-kelicikan yang menyertainya. Sangat jauh berbeda dengan tipikal lirik politis lokal hari itu yang cenderung klise dan banal. Salah satu contohnya adalah lirik-lirik Ahmad Band, yang menurut MV pada salah satu artikelnya di kemudian hari, terdengar “norak” dengan lirik-lirik sok protes yang hanya jatuh ke kubangan moralis seperti: “maunya selalu memberantas kemiskinan/tapi ada yang selalu kuras uang rakyat/ ada yang sok aksi buka mulut protas protes/tapi sayang mulutnya selalu beraroma alkohol.”
Namun, semua aspek kemuakan yang membuat Barisan Nisan menyala takkan hadir tanpa dipupuk terlebih dahulu dengan elemen-elemen baik musik maupun lirik pada debut extended play (EP) formatif mereka, Godzkilla Necronometry.
Sebagai nomor pembuka sekaligus track manifesto pada album yang bermuatan politis, “Boombox Monger” juga menjalankan tugasnya dalam menjelaskan ideologi pijakan Homicide kepada pendengar, yakni anarkisme. Potongan lirik “ruang di luar buruh dan boss/dan kertas pemilu yang kau coblos” contohnya, di mana mereka mengisyaratkan wilayah operasi mereka yang keluar dari posisi penghisapan buruh oleh majikan serta penolakan atas pemilu khas ideologi anarkisme yang horizontal dan tak bertuan.
Selain itu, hadir juga cibiran pada tetangga spektrum kirinya, Marxisme dan Moralisme: “ketika moralitas menjadi candu seperti marxisme dan agama/maka MC mengambil microphone/dan melahirkan tragedi dari puncak Valhalla.” Kritik serta kekecewaan atas sikap totalitarian ini berlanjut hingga track kedua “Altar Ruins” yang tanpa ampun menyerang ide-ide usang totalitarian dengan gaya bragging dalam lirik Bahasa Inggris yang ditulis sama baiknya dengan lirik Indonesia mereka, misalnya dengan hadirnya penggunaan wordplay, barang yang masih relatif baru di hip-hop Indonesia hari itu, pada kata “proletarian” dalam penggalan: “they call me the flow-letarian ambush ya Marxist doctrines.” Brag ini terus berlanjut hingga memuncak pada line terakhir di album, yang melukis penggambaran sengak sekaligus sentimen anti-Stalin yang memukau: “I found the passion in dancin’ over the tomb of stalin.”
Hari ini, mungkin album Barisan Nisan adalah karya terbaik Homicide di antara ketiga katalognya. Permainan bpm janggal tak beraturan, palet sound industrial, keragaman bentuk dan tekstur, dan title track monumental ‘Barisan Nisan’ yang dengan sempurna merekam lanskap neraka neoliberal dalam spoken word ala Gill-Scott Heron di atas denyut noise yang menyerupai percik api adalah beberapa alasannya.
Setelah line terakhir tersebut, hadir track centerpiece Godzkilla yakni “Puritan”, yang dikenal dengan chant penutupnya yang terus bergaung hingga hari ini: “fasis yang baik adalah fasis yang mati.” Track ini menekel isu premanisme berkedok ormas agama, yang penulisan liriknya diselesaikan tepat setelah seorang kawan mereka di kolektif Taring Padi tertusuk senjata tajam milik salah satu ormas pada tahun 1999 dan limpanya mesti diangkat.
Di lagu ini, Homicide mengkonfrontasi kemunafikan para “puritan” yang berlagak demikian moralis namun buta kepada kumpulannya yang memiliki kecenderungan fasis: “Genghis Khan mana yang coba definisikan moral?” sebelum kemudian menantang mereka balik secara terang-terangan: “jika membaca Albert Camus menjadi alasan badan-leher terpisah/lawan api dengan api/biarkan semua rata dengan tanah.” Sebuah baris yang hingga hari ini masih terasa menggetarkan mengingat relevansi akan masalah mengenai fasisme ormas fundamentalis yang masih tinggi, bahkan bisa dibilang semakin beringas.
Tak lama setelah rilis, “Puritan” juga mendapat respon diss track dengan judul yang sama dari rapper Thufail Al-Ghifari, menggunakan beat Puritan itu sendiri serta membalikkan seluruh isi liriknya dengan perspektif Islam untuk menantang Homicide.
Godzkilla Necronometry juga merupakan pembuktian Homicide kepada scene hip-hop Indonesia yang telah melirik sinis kepada mereka setelah statement “hip-hop is dead” mereka gaungkan lewat lagu mereka yang berjudul sama (sayangnya hilang dan tak sempat direkam) ketika tampil di acara X’s Freedom di Bandung pada tahun 2000.
Dan, tentu saja tak ketinggalan, battle track yang menjadi respon Homicide terhadap Xcalibour sekaligus seluruh scene yakni “Semiotika Rajatega.” Pada track ini, mereka secara brutal menembakkan lirik yang menohok mulai dari serangan spesifik kepada kemiripan estetika Xcalibour dengan Wu-Tang: “karena aku adalah seorang kapiten neraka/mematahkan pedang panjang para lokalis duplikat dan plagiat para Wu-Tang”, tantangan terbuka kepada seluruh scene: “persetan dengan persatuan hip-hop hanya memiliki empat unsur/dua mikrofon, kau dan aku, tentukan siapa yang lebih dulu tersungkur” hingga namedrop Iwa-K yang mengejutkan mengingat betapa harmless dan dicintainya Iwa hari itu sebagai pionir hip-hop: “jangan berharap unggul dengan skill bualan ala TV Media/yang membuat kau dan Iwa tersungkur pada satu kriteria.”
Hingga hari ini, mungkin “Semiotika Rajatega” tetap merupakan salah satu battle track paling sadis di Indonesia, karena Homicide berhasil menjawab seluruh ancaman yang dilayangkan scene hip-hop hari itu kepada mereka dengan membuktikan bahwa mereka adalah penulis lirik dan rima dengan kualitas yang tak dapat disentuh pelaku hip-hop hari itu, termasuk pihak-pihak yang mengancam mereka. Sebuah keberanian yang wajar bagi Homicide yang menganggap hip-hop adalah media perpanjangan untuk menyampaikan pesan-pesan radikal dan di luar itu, semua adalah hal sepele, termasuk relasi mereka dengan skena hip-hop secara garis besar. Singkatnya, Homicide peduli setan dan tak segan untuk melumat siapapun yang menghalangi mereka persis seperti monster Godzilla yang mereka referensikan pada judul album.
Hingga hari ini, mungkin “Semiotika Rajatega” tetap merupakan salah satu battle track paling sadis di Indonesia, karena Homicide berhasil menjawab seluruh ancaman yang dilayangkan scene hip-hop hari itu kepada mereka dengan membuktikan bahwa mereka adalah penulis lirik dan rima dengan kualitas yang tak dapat disentuh
Godzkilla ditutup dengan track Bahasa Inggris yang judulnya meminjam nama dari salah satu band hardcore kesayangan mereka di pertengahan 90-an, “From Ashes Rises.” Seperti judulnya, lagu ini bernuansa punk dan merupakan track yang hampir mirip dengan “Boombox Monger” di mana muatannya berisi statement-statement politis berbalut brag, berdampingan dengan hint kekecewaan yang sama: “whoever they vote for, we’re ungovernable/since the rebels themselves are so predictable.” Track ini mengakhiri Godzkilla dengan penutup berupa shout-out kepada sel-sel kombatan di Genoa, Malaysia, hingga organisasi mutual aid Food Not Bombs serta seluruh kombatan anti-fasis di penjuru Indonesia.
Tak hanya muatan lirik dan tema, secara musikal pun Homicide juga sama berpengaruhnya. Struktur all verse no hook mereka mencoba menghajar bentuk-bentuk lagu hip-hop Indonesia yang hari itu masih berpegang teguh pada pola verse-chorus-verse-chorus. Hal yang sebelumnya juga sudah pernah coba dilakukan dalam bentuk line repetitif pada track “Apalah” oleh Doyz (yang di kemudian hari merilis joint album monumental “Demi Masa” bersama MV) di album solo-nya Perspektif yang juga dirilis pada 2002. MV sendiri membuat pengakuan pada liner notes yang ia tulis untuk CD Perspektif Remastered, bahwa ketika mendengar Perspektif, ia dan Sarkasz duduk dan saling bersepakat dalam bahasa Inggris: “we have to murder this shit.” Hal yang kontan mengingatkan kita kepada Brian Wilson yang berapi-api merakit Pet Sounds pada 1965 setelah terhenyak oleh kemegahan album Rubber Soul yang dirilis The Beatles pada tahun yang juga sama.
Tak hanya muatan lirik dan tema, secara musikal pun Homicide juga sama berpengaruhnya. Struktur all verse no hook mereka mencoba menghajar bentuk-bentuk lagu hip-hop Indonesia yang hari itu masih berpegang teguh pada pola verse-chorus-verse-chorus
Maka, selain percobaan melampaui struktur pada Perspektif, komponen lain seperti teknik namedrop yang mulai Doyz gunakan pada Perspektif seperti “Soeharto”, “Ira Koesno” hingga musuhnya “7 Kurcaci”, berusaha dibawa lebih jauh dan spesifik oleh Homicide pada Godzkilla dengan memanggil musuh-musuh mereka: “IMF”, “Sony”, “Coca-Cola”, “MTV”, “Thatcherism”, hingga “Lenin” dan “Stalin”. Begitu juga dengan track battle “Semiotika Rajatega” yang sama-sama menyiram bensin ke dinamika persaingan hip-hop hari itu yang sebelumnya sudah dimulai Doyz dengan diss track kepada grup 7 Kurcaci, “Prematur.”
Secara flow, Homicide juga mencoba mendobrak batas dengan rap super-padat dan delivery yang ngebut juga berisik seperti RX-King di jalanan Jakarta tengah malam. Mungkin juga, signature flow inilah yang membuat mereka dijuluki “anak haram hip-hop lokal.” Bahkan, jangankan influence lokal, dibandingkan dengan influence luar mereka sekalipun—ambil contoh Company Flow dengan track “The Fire In Which You Know” yang potongan-potongan delivery-nya akan langsung mengingatkan kepada lagu Homicide berbahasa Inggris—tetap saja Homicide masih terdengar jauh lebih ngebut secara flow.
Mereka jugalah yang mempelopori penggunaan rima multisilabel dengan rima-rima seperti “persetan kuantitas/kematian memang identitas yang tak perlu dimortalitas” yang memakai rima berpola vokal “a-i-a” secara beruntun, teknik yang di kemudian hari diambil dan dikembangkan ke dalam bentuk paling mutakhirnya oleh rapper Rand Slam dan Joe Million.
Secara flow, Homicide juga mencoba mendobrak batas dengan rap super-padat dan delivery yang ngebut juga berisik seperti RX-King di jalanan Jakarta tengah malam. Mungkin juga, signature flow inilah yang membuat mereka dijuluki “anak haram hip-hop lokal.”
Belum lagi jika kita membicarakan produksi musik pada Godzkilla yang kendalinya dipegang penuh oleh MV. Penggunaan sample yang sebelumnya di hip-hop Indonesia tak terlalu mencolok (kebanyakan berupa breakbeats) menjadi menyala-nyala di tangan MV sebagai produser. Pada skit intro, (Dis)Empowerment, MV memasukkan snippet dari trek pahlawan-pahlawan hip-hop-nya seperti Public Enemy, Lone Catalyst, Deltron 3930, Company Flow hingga Organized Konfusion. Selain itu, ia juga memasukkan cypher freestyle dari rapper Dead Prez pada jeda instrumental “Puritan.”
Dan tak terbatas dari hip-hop, MV juga mengambil sample dari grup spoken-word The Last Poets pada intro “Altar Ruins” dan riff gitar ritem Meshuggah sebagai layer gitar awal pada “Boombox Monger” sebelum permainan gitar dari almarhum Jojon Balcony menyapu lagu tersebut bersama hentakan drum yang abrasif. Tak ketinggalan, MV juga mengambil sample dari band post-rock kesayangannya, GY!BE, yang berbagi kemuraman serta kemukakan yang sama dengan lagu “Semiotika Rajatega”, di mana sample biola “Static” terdengar begitu mentereng dan merupakan bentuk penggunaan genre yang tak umum sebagai sample di hip-hop lokal hari itu.
Sample-sample tadi menjadi hal yang menunjang konstruksi genre-bending Homicide yang merefleksikan tempat mereka bertumbuh: panggung-panggung bawah tanah Bandung yang didominasi oleh band-band hardcore dan metal. Tak sekali dua kali mereka bermain sebagai band hip-hop tunggal pada perhelatan-perhelatan baik di GOR Saparua maupun penjuru Bandung lain.
Belum lagi jika kita membicarakan produksi musik pada Godzkilla yang kendalinya dipegang penuh oleh MV. Penggunaan sample yang sebelumnya di hip-hop Indonesia tak terlalu mencolok (kebanyakan berupa breakbeats) menjadi menyala-nyala di tangan MV sebagai produser
Hari itu, skena hip-hop Bandung belum lahir sama sekali. Baru di tahun 2000-an skena hip-hop Bandung lahir, berbeda dari Jakarta yang skenanya telah lahir sejak 90-an akhir akibat animo Pesta Rap. Maka mau tak mau, lingkungan penuh distorsi, teriakan-teriakan, drum abrasif, seluruhnya bocor ke dalam Fruityloops ketika MV mengkonstruksi Godzkilla, menghasilkan palet hardcore-influenced hip-hop yang tak dimiliki siapapun di scene hip-hop lokal hari itu.
Dan, di atas semuanya, masih ada topping segar berupa scratch brutal DJ-E (yang ketika mengerjakan Godzkilla masih duduk di bangku kelas 2 SMA) yang merupakan penampilan scratch terbaik pada rilisan hip-hop era itu, mengingat bagaimana tingginya intuisi sang DJ muda dalam mengisi scratch pada track-track yang secara musikal keluar jauh dari pakem-pakem hip-hop tradisional.
Setelah Godzkilla, Sarkasz memutuskan untuk hengkang dari Homicide, meninggalkan MV dan DJ-E pada pengerjaan Barisan Nisan, untuk kemudian bertamu kembali pada dua lagu dalam Illshurrekshun, album final yang dirilis bertepatan dengan pembubaran Homicide sebagai kolektif. Hampir sepuluh tahun setelah bubar, formasi Homicide pada Godzkilla (MV-Sarkasz-DJ-E) kembali reuni dan membentuk grup yang mengeksplorasi boom-bap yakni Bars Of Death, hingga kemudian merilis album “Morbid Funk” sekaligus membubarkan diri pada awal 2020. Godzkilla sendiri mendapatkan dua kali rilisan ulang, yakni vinyl pada 2013, dan, tahun ini, dengan dormat kaset tape dalam rangka merayakan 20 tahun usianya.
Sample-sample tadi menjadi hal yang menunjang konstruksi genre-bending Homicide yang merefleksikan tempat mereka bertumbuh: panggung-panggung bawah tanah Bandung yang didominasi oleh band-band hardcore dan metal
***
Hari ini, sebagian banyak dari kecemasan demoralisasi Homicide pada Godzkilla nampaknya masih relevan. Sebut saja masalah dengan ormas fundamentalis, kooptasi gerakan dan aktivisme yang bukannya mengendalikan namun justru terkungkung wacana-wacana mulai dari yang moralis hingga totalitarian. Yang mengesankan, semangat MV baik dalam aktivisme maupun musik tak surut barang sejengkal pun. Ia masih aktif melebur ke tengah massa dan scene, membuat lagu-lagu baru yang ia tulis hari ini sama sekali tak kehilangan nyawanya, bahkan semakin kuat. Bisa dibilang, ia adalah jenis musisi langka yang mana diskografinya sama sekali tak memiliki cacat.
Influence Homicide dalam segi ideologis (tema-tema radikal) maupun teknis (multisilabel, eksperimen struktur) juga dengan jelas terlacak pada rapper-rapper hari ini. Beberapa dari mereka diundang oleh MV ke Defbloc, yang merupakan sub-label dari label Grimloc yang didirikan oleh MV bersama kawan-kawannya. Homicide dan Godzkilla menjadi cetak biru bagi para rapper muda untuk berani menyuarakan pandangan politik radikal mereka yang berlawanan dari kebanalan moral massa.
Hari ini, sebagian banyak dari kecemasan demoralisasi Homicide pada Godzkilla nampaknya masih relevan. Sebut saja masalah dengan ormas fundamentalis, kooptasi gerakan dan aktivisme yang bukannya mengendalikan namun justru terkungkung wacana-wacana mulai dari yang moralis hingga totalitarian
Salah satu anak ideologis mereka adalah rapper Maderodog, yang pada 2017 mengejutkan scene dengan track “Kafir Untuk Pemula” dengan chorus: “kontranego, komando dan status quo/fasis, mati, rayakan amorfati” yang mengambil tema persis sama, lengkap dengan alusi kepada chant anti-fasis di “Puritan”. Kita juga dapat melihat gairah filsafat Godzkilla dengan diksi-diksi seperti “Sisifus” dan “Ikarus” kembali dipanggil oleh Pangalo, rapper Sumatera Utara, dalam rima-rima eksistensialisnya seperti: “tetaplah kau hunus amarahmu macam semangat sisifus/kepakkan harapanmu bagai sayapnya Ikarus.” Semangat yang sama pun melebur ke nama-nama seperti Rand Slam, Joe Million, Insthinc hingga Tuan Tigabelas yang kental akan attitude anti-establishment dalam lirik-lirik rap mereka.
Kini MV, DJ-E, serta label mereka Grimloc terus memasang radar untuk merangkul rapper-rapper baru bertalenta, memperlihatkan bahwa menjadi legenda bukanlah tentang tentang membangun mitos dan menjadi figur bayangan tak tersentuh, tapi tentang bagaimana mempertahankan konsistensi dengan terus aktif melibatkan diri ke tengah massa dan scene. Dan, Godzkilla selamanya akan selalu diingat sebagai titik awal dari perjalanan panjang mereka dalam menerapkan dan mempertahankan wacana-wacana radikal agar tetap hidup dalam lanskap hip-hop hari ini.*

Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- SEHIDUP SEMUSIK
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Foreseen – Suspended Reality
Pendapat saya terhadap Foreseen, tidak ada salahnya agar bisa melakukan pendekatan sound yang lebih busuk untuk karya musik berikutnya.
Kendra Ahimsa Crayola Eyes Bikin Poster Lollapalooza
Kendra Ahimsa (ardneks) menghebohkan jagad dunia maya dengan mendesain poster salah satu festival musik terbesar di dunia, Lollapalooza.