30 Tahun Fariz RM Merilis Living in the Western World

Dec 13, 2018

Sampai hari ini, tak terbayangkan Fariz RM manggung tanpa membawakan “Barcelona”, bukan hit Fariz lainnya yang banyak itu. Dan jika di sebuah panggung Fariz hanya boleh memainkan satu lagu saja, di acara apa pun, hampir pasti pilihan dari panitia adalah “Barcelona”. Lagu besar Fariz RM yang menjadi kegemaran Nasional tanpa perlu berkompromi menjadi “sekedar pop” dan menurunkan bobotnya. Jalur keberhasilan yang cukup langka di industri musik Indonesia pada paruh kedua 1980an.

Lagu berikutnya di album ini adalah “Sundown At Midnight”.  Entah bagaimana Fariz RM bisa membuat lagu pop sederhana yang begitu menempel di kepala. Tiga puluh tahun dari mendengarkannya pertamakali, saya masih bisa ikut merasa senang setiap saat lagu ini diputar. Notasi indah tak pernah bisa ditutupi, termasuk repetisi dua not yang ditekan jari-jari Fariz sampai mengakhiri lagu.

 

Dengan tiga lagu pembuka ini saja, Living in the Western World sudah bisa menjadi klasik!

Lagu keempat, “Lepas Kontrol” juga cukup terdengar gaungnya. Dorie Kalmas kembali datang dengan lirik-lirik kenakalan zaman, setelah di awal ada “Iman dan Godaan”. Sajian musik kali ini adalah aroma big band jazz, Fariz pun ber-stacato, untuk kemudian menyanyikan refrain pop yang begitu mudah untuk dinyanyikan kita bersama-sama.

Sesungguhnya, kenangan dari bocah 11 tahun yang paling membekas pada Living in the Western Word album memang pada empat lagu awalnya. Sampai di jauh kemudian hari saya memutar utuh album ini.  Saya baru ingat bahwa Fariz melakukan spoken word yang cukup panjang pada permulaan lagu “Somewhere…Around New Year’s Eve”.

Satu hal yang tak bisa dipungkiri dari kekuatan Fariz RM, padahal dia “aslinya” bukan penyanyi, adalah DNA vokalnya yang sangat berciri. Lagu ke-8  di album ini jadi contohnya: “A Lovebite (For Gracie…)” akan berbeda rasanya jika bukan dinyanyikan oleh seorang Fariz RM. Liukan “ala Fariz” yang memberi poinnya. Seorang multi-instrumentalis , dari alat-alat konvensional sampai yang canggih, juga sangat memahami bagaimana seharusnya bernyanyi dari modal suara yang ia miliki.

Sophisti-pop? City pop? Atau istilah-istilah lokal seperti “pop gedongan” dan “pop kreatif”? Kita tentu tak perlu terlalu ambil pusing dengan itu semua untuk menikmati karya-karya Fariz RM. Cukup diputar dan nikmati uniknya warna si Bule (panggilan akrab teman-teman dekat Fariz untuknya, saya sedang sok akrab tentunya).

Tiga puluh tahun berlalu. Memang terlalu naïf untuk menilai Living in the Western World adalah album terbaik Fariz RM (mau “dikemanain” Panggung Perak?). Tapi di sinilah pertamakali “Barcelona” berada dan mengukuhkan nama Fariz RM untuk generasi setelah akhir 1970an dan awal 1980an yang sudah terlebih dahulu tahu betul kehebatan kiprahnya yang seru.

 

____

1
2
Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

Nuansa Musik 80-an Hiasi Single Baru Tiara Andini Berjudul Kupu-Kupu

Berselang satu bulan dari perilisan album mini hasil kolaborasi bersama Arsy Widianto, solois Tiara Andini kembali lagi dengan single baru bertajuk “Kupu-Kupu” hari Kamis (18/04).   Jika beberapa single yang sebelumnya kerap mengadaptasi gaya …

Kahitna Mengenang Satu Tahun Kepergian Carlo Saba dengan Sejauh Dua Dunia

Tak terasa sudah setahun kepergian Carlo Saba. Kahitna akhirnya kembali merilis single anyar berjudul “Sejauh Dua Benua” hari Jumat (19/04) sebagai bentuk penghargaan dan tanda kasih untuk mendiang sang sahabat.   Yovie Widianto mengatakan …