Menjaga Militansi Perjuangan Musisi

Militan. Pendekatan personal. Capek. Tapi tetap dilakoni. Saban siang dan malam. Tak kenal lelah. Berlebihan kedengarannya, tapi begitu adanya.
Selalu ada upaya yang diupayakan. Angka-angka penghasilan mandek. Dikonversi ke dalam penerimaan negara juga enggak sampai sepersen. Mana seksi. Tapi untung udah masuk digital. Apa-apa serba terlihat dan terhitung. Fantastis angkanya. Kalau bener ya sampe T, bukan M lagi.
Selama ini, problem pemerintah hanya satu; dapat suplai informasi dari informan yang kurang tepat. Sehingga banyak kebijakan dan keputusan dirasa kurang berpihak pada masyarakat. Apalagi yang spesifik pada sektor-sektor tertentu. Seperti Hak Kekayaan Intelektual.
Upaya advokasi sering menempuh banyak rupa kendala. Lobi-lobi elit benar adanya. Diupayakan oleh seorang kawan seperjuangan yang sedang mendapat amanah di lingkungan istana dengan integritasnya berpuluh-puluh tahun di industri musik. Ia berkoordinasi intens dengan organisasi profesi, kementerian dan lembaga negara yang terkait, bahkan hingga perorangan. Dilakukan tanpa publikasi yang mengiringi. Militansinya patut diacungi jempol.
Maka, ikut mendukung dan menjadi bagian dalam support system adalah bentuk perjuangan juga. Barang tentu andil kecil-kecil sebagai pemantik tongkrongan bisa menular dan menjalar jadi gerakan yang lebih besar.
Selama ini seniman hanya bermain perasaan. Jangankan tertarik sama taktik elit, administrasi dan hukum saja belum tentu dilirik. Siapa yang mampu menembus kekuasaan kalau enggak punya kuasa atas pemikiran dan tujuan baik? Tidak ada.
Lika-liku itu terjadi. Bertahun-tahun. Saat ini, ada kawan-kawan yang berhasil tergabung dalam pemerintahan. Aksinya melesat. Namun tetap hati-hati dan mengedepankan etika. Ada juga yang main tabrak karena sudah terkenal, kelewat percaya diri untuk berkata dan bersikap apa pun. Bak nabi yang dijunjung. Tapi melahirkan beragam konflik dan drama non-substantif dari apa yang diperjuangkan. Dan masyarakat lebih mudah mencerna hal itu.
Tiap perjalanan dan perjuangan pasti ada hasil. Peristiwa-peristiwa penting mulai terjadi. Jumat (20/05) lalu di DPR, Razilu (Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum RI), Habiburokhman (Ketua Komisi III DPR RI), Inspektur Wilayah II Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, dan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024-2025 merumuskan 3 kesimpulan penting dalam jejak perjalanan industri musik tanah air:
Pertama, Komisi III DPR RI meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan Register No 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst (Agnez Mo dan Ari Bias), yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kedua, Komisi III DPR RI meminta kepada Mahkamah Agung untuk membuat Surat Edaran terkait panduan atau pedoman untuk penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan ketentuan terkait Hak Kekayaan Intelektual lainnya secara komprehensif, sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia.
Ketiga, Komisi III DPR RI meminta kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum RI untuk dapat mensosialisasikan secara luas terhadap semua pihak terkait dengan mekanisme perolehan lisensi, pengelolaan royalti dilakukan melalui LMK/LMKN, dan pemahaman terhadap filosofi dan tujuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan ketentuan perundang-undangan terkait, sehingga tidak ada lagi sengketa/gugatan/putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia seperti dalam perkara No 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kabar gembira tentu sudah pasti. FESMI, VISI, PAPPRI yang selama ini paling konsisten memperjuangkan keadilan adalah organisasi yang paling bungah perasaannya. Sebab, perjuangan kian membuahkan hasil.
FESMI bahkan mendorong semua pihak harus memiliki kesadaran agar tata kelola royalti berjalan dengan baik. Pihak yang menggunakan, mempunyai kesadaran untuk membayar. Pihak yang menghimpun dan mendistribusikan royalti harus mempunyai sistem yang transparan dan akuntabel. Pemerintah harus memfasilitasi sosialisasi ke masyarakat agar pemahaman dan tanggung jawab terhadap hak cipta semakin baik.
Dari peristiwa Agnez Mo dan Ari Bias, kita jadi paham, bahwa keputusan pengadilan bisa berdampak luas pada ekosistem. Bahwa hakim dapat memutuskan hal-hal yang tidak berpihak dengan musisi lantaran dalam proses persidangan tidak disuplai informasi yang berkualitas sehingga menimbulkan kekacauan penafsiran UU HC. Dan yang terpenting, ternyata ada metode duduk bersama antara DPR dan Pemerintah dalam mendengarkan keresahan masyarakat. Sehingga hal ini seharusnya menjadi prioritas agar permasalahan dapat diurai sesegera mungkin.
Berkat proses tersebut, melahirkan banyak perjuangan dari berbagai pihak, baik individu ataupun organisasi yang punya keinginan sama; untuk ekosistem musik Indonesia yang lebih sehat.
Barangkali tidak ada soal jika kita mengapresiasi tokoh-tokoh penggerak seperti Yovie Widianto dan Melly Goeslaw yang di tengah jabatan aktif di pemerintah berhasil memberikan pengaruh untuk para kolega mereka yang terkait. Tentu dengan gayanya masing-masing.
Menjalankan tata kelola yang baik masih menjadi tantangan. Berpuluh-puluh tahun lamanya, para musisi dan pencipta lagu “dikeruk” pihak-pihak yang berhasil mengkapitalisasi karya-karya mereka, hingga tak segan untuk membenturkan kepercayaan agar dapat menghasilkan solusi yang sudah diatur untuk tetap bisa “mengeruk” seperti sediakala dalam situasi dan platform terkini.
Selama para oknum masih bertengger, maka perjuangan belum usai. Pemain lama yang dulu menikmati ketidakjelasan aturan tentu tak tinggal diam. Regulasi bisa berganti rupa. Tapi regulasi bisa ditegakkan pula. Selalu ada cara untuk menggunakan kuasa agar dapat mengakali ceruk-ceruk yang potensial. Siapa yang mau kehilangan lahan bukan? Artinya, perjuangan belum usai! Maka, kerja kolaboratif, kewaspadaan kolektif, dan keberanian bersuara dengan tetap menjaga militansi adalah kunci untuk menjaga ekosistem musik tetap baik-baik saja di negeri ini.

Eksplor konten lain Pophariini
WYAT, The Skit, Teori, dan Barmy Blokes Turut Menyukseskan Latihan Pestapora Solo
Setelah rangkaian workshop dan talkshow berlangsung tanggal 12-14 Juni 2025, Latihan Pestapora Solo persembahan Boss Creator akhirnya terlaksana hari Minggu, 15 Juni 2025 di Pamedan Mangkunegaran. Latihan Pestapora Solo kali ini berhasil mengumpulkan sekitar …
Larkin Asal Karawang Lepas Single Perdana Term
Band alternatif asal Karawang, Larkin resmi melepas karya perdana dalam bentuk single bertajuk “Term” hari Jumat (13/06). Di single ini, mereka merepresentasikan perpaduan harmoni dream pop dan keliaran indie rock untuk musik yang dibawakan. …