Perayaan 11 Tahun Prambanan Jazz 2025

Jul 9, 2025

Prambanan Jazz 2025 sukses terlaksana tanggal 4-6 Juli 2025 di Candi Prambanan. Festival besutan Rajawali Indonesia yang tahun ini berusia 11 tahun ini menampilkan beragam penampil lokal seperti Dewa 19 feat. Marcello Tahitoe, Kahitna, Vina Panduwinata, dan masih banyak lagi.

Selain nama-nama lokal, Prambanan Jazz juga mempersembahkan 2 penampil internasional untuk menghibur para penonton. Mereka adalah Kenny G, pemain saksofon terkemuka asal Amerika dan eaJ, solois asal Korea yang sedang naik daun di kalangan pendengar muda.

Datang di perhelatan Prambanan Jazz tahun lalu, kami menyadari nuansa berbeda di pergelaran tahun ini yaitu elemen visual. Tahun ini Prambanan Jazz terasa lebih berwarna dengan dekorasi yang dibuat oleh duet seniman asal Jogja, Indieguerillas.

 

Key visual Prambanan Jazz 2025 / Dok. Prambanan Jazz

 

Karya-karya dari duo ini membuat Prambanan Jazz terasa lebih segar di pandangan mata dengan warna-warna cerah dan elemen visual yang modern. Kami sempat berbincang dengan Santi Ariestyowanti, salah satu anggota Indieguerillas di hari ketiga Prambanan Jazz. Perbincangan selengkapnya bisa dibaca di penjelasan hari ketiga Prambanan Jazz.

Berikut adalah rangkuman cerita kegiatan kami di Prambanan Jazz 2025 per hari.


 

Hari pertama Prambanan Jazz 2025

Hari pertama berjalan cukup penuh tantangan. Pasalnya ada beberapa kesalahan teknis dari panitia yang mengurus media sehingga menimbulkan keterlambatan tim Pophariini memasuki area festival. Tiba di Prambanan sekitar pukul 14:30 WIB, tim kami baru bisa masuk di sekitar pukul 17:00 WIB.

Meski bisa teratasi, namun problem ini harusnya bisa menjadi catatan untuk tim internal Prambanan Jazz agar tidak terjadi lagi di perhelatan berikutnya. Namun, apa pun yang terjadi kami tetap berusaha untuk fokus melakukan peliputan di Prambanan Jazz dengan maksimal.

Penampil hari pertama yang sangat berkesan untuk disaksikan adalah Ebiet G. Ade. Meski masih cukup sering mewarnai panggung-panggung musik di Indonesia, namun itu adalah momen perdana saya pribadi menyaksikan musisi legenda yang sudah berkarier sejak tahun 70-an itu.

Ebiet merasa tampil di Jogja rasanya seperti pulang kampung, karena ia memang dibesarkan di sana. Kota tersebut juga jadi area pergaulannya dengan para seniman-seniman, di mana ia merasa momen itu lah yang membentuknya menjadi seperti hari ini.

 

Ebiet G. Ade merasa pulang kampung di Jogja / Dok. Prambanan Jazz

 

Obrolan-obrolan Ebiet di sela lagu juga tidak disangka sangat lucu. Mulai dari kagetnya beliau dengan usia penonton yang cukup muda, sampai senda guraunya tentang para penonton yang sudah pasti tau dengan lagu-lagunya.

“Kalau jenengan semua mau datang ke sini, pasti tau lagu saya. Ora kenal, ngapain [nonton]?” canda Ebiet yang langsung disambut gelak tawa penonton.

Tidak banyak yang kami simak di hari pertama Prambanan Jazz, karena kami sibuk mengatur strategi untuk hari kedua. Alasan dari hal tersebut adalah karena regulasi baru dari tim media Prambanan Jazz yang menutup akses wawancara dengan para penampil di sana, sehingga membuat kami harus merombak strategi liputan yang sudah kami susun sebelum berangkat.

 

Hari kedua Prambanan Jazz 2025

Tidak ingin pulang tanpa mewawancarai siapa pun di festival tersebut, kami pun langsung mewawancara Anas Syahrul Alimi, CEO Rajawali Indonesia yang kami temui di area F&B Prambanan Jazz.

Usia festival yang menginjak tahun ke-11 membuat kami penasaran apa yang menjadi titik balik Prambanan Jazz. Anas mengatakan kerja sama semua pihak adalah hal yang ia rasa jadi titik balik festival ini, terutama para pembeli tiket.

 

Anas Syahrul Alimi, CEO Rajawali Indonesia / Dok. Gerald Manuel

 

“Para pembeli tiket itulah yang membuat kami bersemangat bahwa kami dipercaya terus, diberikan kepercayaan untuk memberikan suguhan yang lebih berkualitas,” kata Anas.

Tema yang diambil tahun ini untuk merayakan usia 11 tahun Prambanan Jazz adalah Sebelas Selaras. Anas menjelaskan makna di balik kata ‘selaras’ yang menjadi tema tahun ini. Ia memaknai kata tersebut dengan penyelarasan festival ini dengan berbagai isu seperti iklim sampai perekonomian yang dirasa sedang tidak baik-baik saja.

“Nah, kebetulan backdrop kami ini kan Candi Prambanan, yang ini benar-benar peninggalan masa lalu. Jadi kami ingin menyelaraskan. Makanya secara konsep, kami membuat satu konsep bagaimana menyelaraskan antara masa lalu dan masa kini,” jelasnya.

Di akhir perbincangan, kami pun menanyakan kepada Anas tentang wishlist musisi yang ia ingin hadirkan di Prambanan Jazz, namun belum kesampaian. Ia menyebutkan bahwa ingin sekali mengundang Norah Jones dan Michael Bublé.

Penampil yang berkesan di hari kedua bagi kami adalah Letto. Malam itu, band asal Jogja ini berkolaborasi dengan Kiai Kanjeng yang memainkan musik dengan gamelan. Tentu perasaan nostalgia langsung memenuhi hati saat menyaksikan Letto. Noe, vokalis Letto bahkan sempat menyinggung hal tersebut saat hendak memainkan “Ruang Rindu”, di mana ia bilang bahwa pasti para penonton tau lagu tersebut saat dulu menyaksikan sinetron Intan di salah satu stasiun TV swasta.

Aksi berkesan lainnya adalah kolaborasi Raisa dan Bernadya di panggung utama. Meski sama-sama berasal dari Juni Records, namun Raisa mengaku Prambanan Jazz merupakan acara pertama yang mengundang mereka dengan format kolaborasi penuh.

Konsep penampilan mereka pun cukup sederhana, di mana Bernadya menyanyikan lagu-lagu Raisa, begitu pun sebaliknya. Raisa yang baru saja merilis album ambiVert pun turut membawakan nomor-nomor di album tersebut, seperti “Tetap Bukan Kamu” yang juga menghadirkan kolaboratornya, Rony Parulian di panggung. Itu juga momen perdana mereka membawakan lagu tersebut berdua di panggung.

 

Hari ketiga Prambanan Jazz 2025

Di hari ini kami membuka aktivitas dengan menyaksikan The Cottons yang tampil pukul 15:10 WIB. Meski sempat diwarnai hujan rintik-rintik yang agak deras, sehingga mengharuskan The Cottons tampil ditutupi tenda, tidak menghalangi mereka untuk menyelesaikan set. Keputusan yang luar biasa mengingat ini adalah Prambanan Jazz perdana mereka.

Seperti yang sudah kami sebutkan di paragraf pembuka, hari ketiga adalah momen pertemuan kami dengan Santi dari Indieguerillas. Perbincangan kami dengan Commision Artist Prambanan Jazz 2025 ini terjadi di area media center.

Santi yang saat itu berbincang dengan kami seorang diri tanpa ditemani sang suami, Dyatmiko “Miko” Bawono bercerita tentang bagaimana ia menerjemahkan tema Sebelas Selaras ke dalam karya yang dibuat untuk key visual Prambanan Jazz 2025.

 

Tema Prambanan Jazz 2025 dalam karya instalasi / Dok. Gerald Manuel

 

Santi mengangkat visual pohon hayat yang juga jadi salah satu relief di Candi Prambanan. Ciri khas dari candi ini pun dimaknainya dan Miko sebagai penggambaran pohon kehidupan, yang mewakili keselarasan hidup manusia dengan alam.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PRAMBANAN JAZZ (@prambananjazz)

 

“Kami penginnya Prambanan gak hanya menjadi background, kita harus kenal juga di dalam itu ada apa, dan kenapa sih itu masih berdiri. Itu harus di-decoding gitu,” ujarnya.

Tentunya berkarya di ruang Candi Prambanan yang sudah sangat ikonik memiliki tantangan sendiri bagi Indieguerillas. Menyikapi hal itu, Santi mengaku ia dan Miko mengombinasikan unsur tradisional dari Candi Prambanan dengan unsur modern.

“Kami percaya bahwa kalau tradisional ya hanya yang kita lihat di museum aja. Itu gak kita tarik ke kehidupan yang sekarang, tu tidak jadi milik kita sendiri, hanya jadi milik masa lalu gitu. Makanya kita combain beberapa part itu,” jelas Santi.

Santi juga merasa karya-karya instalasi yang dihadirkan di Prambanan Jazz cukup berhasil karena interaksi yang dihasilkan dengan penonton. Pendekatan ini memang sengaja ia lakukan agar semua yang hadir bisa merasa leluasa mengakses karya-karya ini.

“Kadang kalau karya tulisannya, ‘Jangan disentuh.’ Ini ternyata kalau satu orang suka, lama-lama satu keluarga duduk. Eh, gak cuma duduk, nyampirin jaket, lama-lama handuk, jadi jemuran ya [tertawa]. Tapi itu malah justru bagi kami keren, berarti mereka merasa, kalau istilah Jawanya ‘pomah’. ‘Pomah’ tuh nyaman, merasa kayak di rumah,” ungkapnya.

Usai berbincang dengan Santi dari Indieguerillas, kami langsung lanjut menemui Shaggydog untuk berbincang. Karena regulasi yang tidak memperbolehkan kami untuk menemui penampil, kami pun berinisiatif menghubungi Heruwa, vokalis Shaggydog untuk berbincang di balik panggung.

Setelah dijemput langsung oleh Heru, kami pun berbincang dengannya yang saat itu berdua dengan sang gitaris, Richard Bernado. Malam itu, Heru dan Richard membuka obrolan dengan bercerita kemacetan Jogja yang mereka lalui saat ke Prambanan Jazz. Mereka berdua curiga, musim libur sekolah yang membuat banyak pelancong datang ke kota mereka itu jadi alasan utama.

Shaggydog di Prambanan Jazz hari ketiga tampil dengan format yang sedikit berbeda, yaitu dengan menambahkan alat musik tiup yang lebih lengkap. Biasa tampil dengan pemain brass, hari itu Shaggydog menambah barisan musisi tiup yang membuat penampilan mereka dirasa lebih nge-jazz.

“Jumlahnya lebih banyak. Jadi ada bariton, saksofon (tenor, alto), trompet, dan trombon. Kalau sebelumnya kan biasanya trombon sama saksofon saja, nah kami banyakin, tambah 6 orang lagi. Jadi lebih apa ya? Luas, lebar, megah, dan lebih festive,” jelas Heru.

Richard pun menambahkan bahwa para personel tambahan ini merupakan mahasiswa musik Institut Seni Indonesia di Jogja, di mana mereka adalah teman-teman dari pemain trombon dan saksofon yang sering mengiringi Shaggydog di panggung lainnya.

Sebagai warga Jogja, kami pun bertanya pendapat Heru dan Richard soal kehadiran Prambanan Jazz di kota ini. Mereka berdua pun sepakat festival ini jadi salah satu acara wajib dihadiri di Jogja.

“Menambah devisa Jogja lah. Untuk pariwisata, orang-orang juga udah semakin mengenal Prambanan Jazz juga kan. Event tahunan yang mereka pasti udah (berpikir), ‘Wah, tahun berikutnya harus persiapan-persiapan ini itu.’ Kan biasanya kayak gitu,” ucap Richard.

Di perbincangan tersebut, kedua personel Shaggydog tersebut juga bercerita tentang usaha baru mereka berupa venue musik. Bangunan yang ada di Sayidan, sesuai judul lagu mereka tersebut juga difungsikan sebagai kantor dan pusat merchandise Shaggydog.

 

Shaggydog sedang mengelola usaha venue musik / Dok. Gerald Manuel

 

Tempat tersebut dinamai Milli yang dalam bahasa Jawa memiliki arti ‘mengalir’. Meski baru diresmikan bulan Juni lalu, namun venue ini sudah mulai beroperasi dengan beragam acara sejak awal tahun ini. Bahkan menurut Heru, di bulan Juni saja tercatat ada sekitar 11 event yang diadakan di sana.

“Orang tuh nunggu mungkin ya, nunggu venue yang proper. Terus yang punya juga anak band, jadi soal birokrasi gak terlalu sulit. Kan kalau kamu ke tempat (lain) mungkin ada manajer yang gak ngerti musik lah,” kata Heru.

Setelah mewawancara Shaggydog dan sempat kongko sebentar di balik panggung, kami lanjut menyaksikan beberapa penampil di Prambanan Jazz seperti Reality Club, Atiek CB, dan Ari Lasso.

Prambanan Jazz 2025 tentu memiliki beberapa catatan plus dan minus jika dibandingkan tahun lalu. Jika boleh jujur, kami cukup menyayangkan keputusan penyelenggara yang tidak memberikan akses media untuk menemui para musisi di backstage.

Meski begitu, kami cukup bisa menikmati hari-hari kami melakukan peliputan di Prambanan Jazz 2025. Atmosfer sejuk, penuh pohon-pohonan, sampai area festival yang tidak terlalu luas membuat kami bisa melakukan pekerjaan dengan cukup nyaman.

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Top 3 Irama Kotak Suara Juli 2025

Setelah memilih 3 musisi dari Top 10 Chart bulan lalu, kami kembali memilih nama-nama untuk masuk ke pilihan bulan Juli. Dari total 10 nama favorit yang masuk Top 10 Chart, berikut 3 nama yang masuk …

Flag Of Hate Hadirkan Lagu Romantis Bernuansa Gothic Metal

Unit gothic metal asal Tangerang Selatan, Flag Of Hate resmi merilis single terbaru bertajuk “Secret of the Ancient” hari Senin (30/07). Ini merupakan single bertema romantis, yang tetap mempertahankan atmosfer gelap ala musik gothic …