Kampungan Versus Gedongan: Bagaimana Selera Musik Kelas Menengah di Indonesia Terbentuk?
Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan sang Raja Dangdut Rhoma Irama berbicara panjang lebar tentang musik yang membesarkan namanya, dangdut. Dalam sesi puncak Archipelago Festival 2018 (sebuah festival yang menampilkan talkshow seputar industri musik terkini di Indonesia), Rhoma Irama berkisah bagaimana perjuangannya menghadapi gelombang rockers yang mencibir dan mengejek musik dangdut. Tak jarang sekelompok rockers itu mengencingi panggung selepas Rhoma Irama tampil. Bukan sekali dua kali kerap terjadi kontak fisik antara Rhoma Irama dan sekelompok rockers tersebut. Rhoma Irama pernah dilempari hujan batu saat tampil di hadapan ribuan rockers di Lapangan Tegallega Bandung. Tapi dia tetap tak gentar membela dangdut.
Kejadian-kejadian yang dialami Rhoma di masa lalu ini jadi ironi tersendiri karena beberapa waktu lalu, saat Rhoma Irama tampil sebagai pemuncak acara di Festival Synchronize 2018, dia berhasil “menggoyang” penonton. Ribuan anak muda hip kelas menengah Ibukota yang notabene belum lahir saat Rhoma dilempari batu tampak begitu asyik mengapresiasi sang legenda di panggung. Anak-anak muda ini mungkin tumbuh dan besar bukan dengan musik dangdut di warung atau lapangan, tapi musik-musik pop dan rock yang berseliweran di tv, radio, majalah remaja, dan internet.
Tak hanya Rhoma Irama. Saya lihat di postingan Instagram seorang teman, ribuan anak muda yang hadir di Synchronize Festival ini juga sedang asyik bergoyang saat sebuah band “dangdut koplo” NDX AKA asal Yogyakarta menghibur mereka dengan lantunan-lantunan lagu dangdut berbahasa Jawa semisal, “Sayang”, “Kimcil Kepolen”, sampai “Terminal Giwangan”. Seolah-olah jokes yang dilantunkan Project Pop benar adanya, “Dangdut is the music of my country!”
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya saat penyanyi dangdut Via Vallen tampil di acara ulang tahun NET TV, banyak para netizen yang berkomentar bahwa kini dangdut “naik kelas”. Kita bisa lihat di YouTube penampilan Via Vallen yang jauh dari stigma penyanyi dangdut yang seronok dan vulgar. Dalam video yang sudah ditonton lebih dari dua puluh juta orang ini menjadi viral karena Via Vallen tampil elegan dengan balutan jas dan kemeja. Jauh dari pakaian-pakaian “terbuka” dan goyangan erotis nan sensual yang ada di penyanyi dangdut.
Musik, sebagai sebuah produk sosial, tentu memiliki medan sosialnya tersendiri. Ada hubungan yang cukup erat antara bagaimana musik dikonsumsi dan kelas sosial yang melingkupinya. Tentu, bukan serta merta kita nrimo apakah dangdut tersebut di-cap sudah “naik kelas” karena ada banyak sekian faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu identitas. Lantas, bagaimana sebetulnya selera kelas menengah itu terbentuk?
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …