Siasat Kawan dan Arus Penolakan RUU Permusikan

Feb 14, 2019

Tak butuh berlama-lama untuk menyatukan suara, bulat dengan kata “Tolak RUU Permusikan” ketika akhir Januari lalu informasi soal isi Rancangan Undang Undang Permusikan (RUUP) dirasa tidak kredibel dan proses pembuatannya menimbulkan banyak tanda tanya, bahkan disinyalir sumber naskah akademik ada yang diambil dari blog dan tidak dibaca kembali draft-nya oleh yang mengusulkan sebelum akhirnya masuk Prolegnas. Seperti yang ditulis Tirto.id dalam tautan ini.

Ironisnya, dalam dalam waktu yang bersamaan, RUU Permusikan sudah masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2019 untuk disahkan dan berada dalam nomor urut 48 (via https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas).

Banyak praktisi musik melayangkan protesnya terhadap RUU dan naskah akademiknya, terutama praktisi musik independen ibu kota. Kenapa independen? Karena mereka sudah terbiasa mandiri membangun ekosistem dan bisnis musiknya. Ini pun bukan serta merta mengatas-namakan musik jalur independen yang diperjuangkan. Tapi industri musik Indonesia secara menyeluruh.

Sementara suara bulat untuk mendukung pun juga tak sedikit datang dari praktisi musik yang lebih berkawan dengan anggota parlemen, yang gaya diplomasinya sudah lebih jago dari diplomat, yang pekerjaannya sebagai praktisi musik hanya untuk menghibur kaum elit dan tak jarang jadi kendaraan kepentingannya. Dan terbiasa berbisnis dengan gaya kapitalis yang konvensional alias dikuasai yang punya kuasa untuk perusahaan rekaman hingga penyebaran musik.

Maka tak heran musisi pun terbagi dengan sendirinya, tercipta faksi menolak dan mendukung dengan revisi karena Anang Hermansyah (musisi/penyanyi, eks vokalis band rock 90an, Kidnap Katrina; di sini selaku anggota Komisi X DPR RI) dalam berita di media mengatakan “… perjalanan masih panjang, masih bisa direvisi, dan mari diskusi,” katanya, seolah RUU ini menjadi satu-satunya harapan menaikkan harkat praktisi musik.

Ironisnya, RUU Permusikan sudah masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2019 untuk disahkan dan berada dalam nomor urut 48.

Padahal kita semua tahu, sejak lama permasalahan soal hak cipta dan pembagian royalti karut-marut di negara ini. Tak jarang perusahaan rekaman dan artisnya seringkali terlibat konflik memperjuangkan apa yang dianggap hak bagi keduanya.

Gaya bisnis seperti ini sungguh-sungguh bergantung kepada peraturan dan sayangnya selalu mengorbankan hak pencipta karyanya sendiri. Seperti yang ditulis Kompas.com tahun 2014 dalam artiklel bertajuk Industri Musik, Antara Royalti dan Kripik.

Ranah hukum dan peraturan kerap jadi akal-akalan untuk “mengkebiri” hak musisi. Sementara praktisi musik independen lebih memilih move on dari karut-marut soal royalti dengan menjadi lebih kreatif, lebih memanfaatkan hal apa saja yang bisa dijadikan ceruk penghasilan tambahan dengan membangun unit usaha lain. Gaya progresif sudah terlihat dari di sini.

1
2
3
Penulis
Dzulfikri Putra Malawi
Jurnalis yang sudah tidak bekerja di media lagi dan sedang menikmati hari-hari menjadi Sr. Content pada salah satu agency digital. Menulis buku LOKANANTA bersama dua kawan dan masih aktif bermusik. Karyanya dapat dikunjungi di https://putramalawi.wordpress.com/ dan https://www.youtube.com/user/soulonsound

Eksplor konten lain Pophariini

Momen 15 Tahun Berkarya, Jevin Julian Luncurkan Album i will, i’m sure

Jevin Julian terakhir merilis karya musik tujuh bulan yang lalu berupa album mini berjudul 20 50. Belum sampai setahun, produser, penyanyi sekaligus penulis lagu satu ini memutuskan kembali lagi dengan membawa album penuh terbaru …

Traffic Jam Asal Solo Mengawali Album Mini dengan Single Untuk Apa?

Tidak memiliki materi baru selama 3 tahun, Traffic Jam asal Solo kembali dengan single anyar berjudul “Untuk Apa?” hari Jumat (03/05). Band beranggotakan Anisa (vokal), Bintang (vokal, gitar), Billy (bas), Ernest (gitar), dan Rovega …