Wawancara Khusus Kamga Mo: Pergolakan Bermusik dan Menemukan Diri
“Asik kan kayak di Bali?,” kata Kamga menyapa saya yang sudah hadir lebih dulu di sebuah tempat makan di daerah BSD City, Tangerang (18/11). Kami bertemu di lokasi yang memang tak jauh dari kediamannya. Tentu sapaan Kamga itu memastikan, bahwa perbincangan kami nanti akan santai dan lama.
Mohammed Kamga atau dikenal sebagai Kamga Mo, saya ingat pertama kali berkomunikasi dengannya melalui WhatsApp atas kebutuhan wawancara “Tak Kemana Mana”, lagu perpisahan Tangga yang rilis di tahun 2014. Di tahun yang sama, ia langsung memperkenalkan proyek bermusik barunya, yaitu Dekat.
Saat bersama Tangga, Kamga sudah menghasilkan total empat album penuh. Di antaranya album self-titled (2005), Cinta Begini (2007), Lost In Love (2008), dan Utuh (2012). Ia juga meluncurkan dua mini album bareng Dekat, yaitu Lahir Kembali (2014) dan Meranggas (2016), disusul album penuh mereka berjudul Numbers (2018). Kemudian tiga single terakhir yang pernah beredar meliputi “John Cena”, “Comedy”, dan terakhir “Machete” (2020).
Perjalanan bermusik Kamga cukup panjang hingga terbitlah artikel ini. Sangat disayangkan, ketika orang-orang masih hanya mengenalnya sebagai personel Tangga. Kamga adalah musisi hari ini, bagaimana ia memulai dan memilih untuk tidak berhenti mencoba. Sesuatu yang sudah ditakdirkan, pilihannya tetap musik.
Setelah meninggalkan grup vokal yang tak dapat dipungkiri telah membesarkan namanya, lalu membentuk Dekat dan Hondo, Kamga yang dulunya juga pernah belajar vokal, tiga tahun belakangan ini dipercaya untuk mengarahkan vokal sederet pernyanyi. Simak wawancara khusus kami bersamanya di bawah ini.
Bagaimana perjalanan karier bermusik loe?
Gue start nyanyi kelas 5 SD. Gara-gara waktu itu ada, jadi sekolah gue sekolah Islam gitu. Terus ada lomba nyanyi lagu Islami. Terus di satu kelas gue enggak ada yang mau. Terus karena gue anak culun kan waktu itu. Jadi “Sudah si Kamga saja”. Gue juga enggak berani nolak kan kalau digituin. Ya sudah akhirnya gue nyanyi lah, “Surga di Telapak Kaki Ibu”-nya Dhea Ananda. Terus habis itu, ternyata gue juara 1. Ternyata gue bisa nyanyi. Gue baru tau saat itu kalau gue bisa nyanyi. Jadi, gue enggak pernah menggunakan suara gue sebelumnya. Gue suka nge-rap, gue suka tap dance gitu waktu gue kecil. Pokoknya gue besar sama Pesta Rap 2, satu album gue hafal. Gue suka nge-rap, gue suka nulis lirik rap. Tapi, gue enggak pernah nyanyi. Sampai saat itu gue tau gue nyanyi dan di situ tiba-tiba status gue di sekolah tuh berubah dari yang anak item culun, jadi anak item yang bisa nyanyi. Akhirnya gue kayak mikir, nih kayaknya bisa gue manfaatkan nih.
Akhirnya ya sudahlah, dari kelas 6 SD gue minta ke nyokap gue. Orang rumah gue tuh, kakek gue bilang bakat gue tuh di tap dance karena katanya gue kalau tap dance cepat banget. Akhirnya gue jadi bilang sama nyokap, “Mam ini Kamga kayaknya mau serius nyanyi deh”. Tapi kan gue di Bogor, SD kelas 5. Gue di Bogor dimasukkin les sama dia. Tapi di tempat les gue tuh lesnya sendiri-sendiri. Jadi, gue enggak ada contoh. Gue bilang sama nyokap, gue pengin liat contoh, gue pengin lihat orang yang beneran bisa nyanyi kayak apa. Tolong cariin gue tempat les di Jakarta. Terus bilang, “Ya sudah tapi kamu belajar naik bus ya”. “Iya”. Akhirnya gue les lah di Bina Seni Suara. Di mana di situ waktu itu pentolannya Angga Puradiredja. Angga jadi punya satu kelompok vokal namanya Biss Four. Gue tuh ketemu Angga kelas 6 SD. Terus dan di situ pas gue benar-benar masuk ke kandang macan. Sudah kayak “Gila ternyata semua orang bisa nyanyi, ternyata nyanyi kayak gini”.
Dan itu yang bikin gue makin semangat untuk kayak ngejar. Akhirnya, gue di Bina Seni Suara itu, ya gue ikut choir. Gue segala macam. Gue belajar nyanyi, gue sempat punya band. Gue punya band namanya Fourte dan D’acoustic sama anak-anak Bogor, sambil gue latihan nyanyi. Jadi, gue latihan nyanyinya di tempat les gue di Jakarta, latihan performance-nya sama teman-teman gue di Bogor bikin band dan band gue waktu itu lumayan lah. Sampai akhirnya gue kelas 1 SMA, gue ditemuin kayak talent scouter. Dia ini mencari penyanyi untuk dibikinin nih grup vokal. Dia nemuin gue sama Tata, sama Nerra, sama Desty. Ternyata mereka mau bikin Tangga nih, maksudnya mau bikin kelompok vokal yang waktu itu namanya belum ada. Terus kita ditemuin sama produsernya, namanya Harry Budiman.
Sudahlah dari tahun 2003 sampai 2005 kita bikin album, terus di-signed sama Sony Music. Terus akhirnya di umur 17 tahun gue jadi penyanyi ‘profesional’. Di situ gue ngira, “Wah cita-cita gue tercapai nih” karena kan maksudnya waktu kecilkan cita-cita gue cuma kayak mau jadi penyanyi, lagunya ada di radio. Sudah itu doang, dan itu tercapai di umur 17 tahun dan gue kayak “Terus gue mau ngapain lagi ya”.
Pada saat itu sebenarnya gue memang sudah nulis-nulis lagu dari awal karena yang tadi gue bilang, gue sebenarnya nulis duluan baru tau gue bisa menyanyikan. Jadi gue sudah mulai nulis-nulis lagu. Ada satu lagu di albumnya Tangga yang pertama judulnya “Salah” yang gue tulis bareng sama gitarisnya band gue dulu, gitarisnya Fourte namanya Dionaldy Iqbal. Gue nulis lagu itu berdua sama dia. Gue kasih ke Mas Harry, Mas Harry suka, kasih dengan anak-anak Tangga, mereka suka. Akhirnya gue taruhlah satu lagu. Di situ tiba-tiba ada satu perasaan yang nagih. Kayak setiap gue manggung Tangga, tiap bawain “Salah” kok happy banget ya. Ternyata beda ya, bawain lagu sendiri, bawain cerita sendiri dan perasaan itu yang terus berusaha gue kejar.
Di album kedua Tangga, 2007 kalau enggak salah, itu Desty keluar digantiin sama Chev. Habis itu album kedua, gue nulis beberapa lagu lagi yang dimasukkin sama Mas Harry ke album dan sama perasaannya, “Wah gila ya ternyata seru ya” segala macam. Di situ gue sudah mulai ada perasaan kayak, “OK nih gue kayaknya sama Tata berdua waktu itu, kayaknya kita tau nih arah si Tangga mau ke mana”, karena memang mostly dari anak-anak Tangga, gue sama Tata dan si yang talent scouter yang nemuin kita. Tapi memang entah kenapa, mungkin juga karena dari awal memang image-nya Tangga sudah diarahin ke satu titik. Jadi akhirnya arah yang gue sama Tata mau tuh memang enggak bisa terlaksanalah.
Kasarnya gini, kita senang nih bikin lagu. Tapi kan lagu yang dikasih ke kita, kayak “OK nih sudah ada lirik, sudah ada notasi, sudah ada musiknya, coba tulis liriknya”, jadi kita taruh cerita. Tapi kadang kan ketika loe bikin lagu, loe punya gambaran besarnya kan. “OK gue mau musiknya kayak gini, notasinya kayak gini karena liriknya kayak gini segala macam”. Itu ternyata yang enggak bisa dan di situ kayak kita selalu ada obrolan yang kayak “OK mungkin nanti next album, mungkin next album”, gitu terus. Dan mungkin next album tuh kita omongin dari tahun 2007 sampai akhirnya 2014 dan tetap enggak kejadian.
Dan di situ akhirnya, gue pokoknya mulai tahun 2009 lah gue sudah mulai kayak auto pilot gitu. Jadi kayak jalanin Tangga kayak gue jalanin pekerjaan. Itu hal yang gue paling enggak mau sebenarnya. Maksudnya kayak musik kan gue suka banget ya. Maksudnya gue senang dapat uang dari situ tapi gue enggak mau nganggep itu pekerjaan. Tapi lima tahun terakhir Tangga tuh buat gue kayak kerja saja sudah. Kayak loe ke kantor, dan loe tau “Ah gue mau ngapa-ngapain juga enggak bakal ada perubahan”. Gitulah kasarnya ya kan.
Akhirnya 2014, kita curhat, kita dikasih sama produser kita, Mas Harry Budiman dikasih nih, “OK nih yuk kita bikin lagu yang sesuai loe dari awal sampai akhir kayak apa”. Akhirnya sudah kita bikinlah lagu. Waktu itu kita punya dua lagu, satu judulnya “Tak Kemana Mana”, satu judulnya “Siapa Namanya”. Dan itu kita kayak, “Wah gila kita senang banget nih” gitu. Maksudnya tetap ballad, tetap arahnya Tangga tapi memang arah yang kita mau di dua lagu itu. Terus lagu itu kita bawa ke kelompok yang lebih besar, ternyata banyak yang enggak cocoklah. Tangga harusnya enggak kayak gini segala macam. Jadi kasarnya, yang support kita cuma Mas Harry ini. Gitu. Dan di situ kita yang kayak, “Ah ya sudah memang enggak bisa sih”.
Maksudnya, memang kita sudah bekerja sama satu roda yang besar banget yang sudah punya bayangan terhadap entitas ini, si IP ini harus kayak apa. Jadi, kayak loe sudah enggak bisa berubah gitu. Mungkin kayak gambarannya ibaratnya gini. Ibaratnya mungkin kalau kayak, kalau gue taruh MALIQ di situ. Ibaratnya gini, ketika MALIQ keluar “Untitled”, loe enggak mungkin bikin “Setapak Sriwedari” karena “Setapak Sriwedari” sudah terlalu jauh dari MALIQ yang sebelumnya. Tapi MALIQ enggak ketemu remnya tuh, enggak ketemu temboknya. Dan si Tangga di zaman itu, kita ketemu temboknya. Dan temboknya kita, kasarnya temboknya orang-orang tualah, kita anak kecillah, enggak bisa kita dobrak. Jadi satu-satunya cara buat dobrak, sudah deh mending kita sudahan saja.
Akhirnya kita minta izin ke si talent scouter-nya kita, Johandi Yahya sama Mas Harry Budiman juga, untuk kita mau sudahan tapi kita enggak mau ambil Tangga-nya jadi silakan nih pegang Tangga di kalian. Jadi kalau kalian mau bikin the next Tangga, empat orang beda, enggak apa-apa. Tapi mereka cukup berbesar hati untuk enggak mau ambil juga. “OK nih Tangga buat kalian, terserah loe mau apain, terserah mau diapain”, kita senang banget. Kita bubarin. Sudahlah akhirnya kita bubar, kita putus kontrak sama Sony Music. Waktu itu kita masih ada sisa kontrak tiga album. Akhirnya kita putus kontrak sama Sony Music pakai adendum yang sudah beres sekarang.
Kita start Dekat di tahun 2014. Start Dekat di tahun 2014, orang-orang sering nanya sama gue sekarang gitu. Kayak, “Gila ya album Dekat album satu tuh rock banget ya, kok loe enggak gitu lagi sih?”, gitu. Gue tuh ingat banget, jadi waktu pas Dekat rilis si album itu pertama. Ya gue banyak banget kayak pengamat-pengamat musik yang suka musik rock, tiba-tiba suka sama kita. “Wah gila gue suka banget deh perubahan Tangga ke Dekat” dan segala macam. Tapi pas kita sudah rilis album kedua, album ketiga, mereka mulai narik diri lagi karena enggak kayak album pertama. Terus pertanyaan yang sering gue dapat, “Kenapa sih enggak bikin kayak album satu lagi?” gitu. Dan gue sama anak-anak selalu bilang kayak, “Ya karena kita enggak suka rock!”
Itu kayak loe ibaratnya gini, loe disuruh bikin lagu ballad cinta selama sebelas tahun hidup loe. Itu ibaratnya dikasih kebebasan, “OK loe bisa bikin album yang loe mau”. Pasti loe kan cari hal yang paling ekstrim. Hal paling ekstrim, oh distorsi. Jauh banget gitu kan. Distorsi. Jadi waktu pas kita bikin EP pertama, benar-benar kayak “Wah, pokoknya kita harus kencang nih supaya beda banget sama Tangga”.
Pas EP pertama sudah keluar. Kita sampai sekarang happy sama hasilnya, suka gitu. Tapi memang kalau kita lihat balik ya. Iya ini bukan gue sih. Ini cuma kayak memang orang lagi marah-marah saja kemarin. Itu kayak satu eksplorasi yang kita kayak flirting with that idea gitu kayak kita suka musik itu. Tapi kita enggak ngebayangin musik itu, dan kita ngerasa perasaan kita di tahun itu tersalurkan. Tapi apakah itu musiknya Dekat? Enggak tau. Kayaknya sih enggak. Gitu. Dan mungkin ini juga kayak kelebihan dan kekurangannya ketika loe enggak pernah dikasih kebebasan 100% ya. Saking bebasnya loe sampai enggak tau mau bikin apa kan.
Terus kita bikin EP kedua 2017. Itu EP-nya bisa dibilang elektronik banget gitu. Pas kita keluarin si Numbers di tahun 2018, itu juga orang nanya, kayak “Wah gila EP kedua loe eksperimental banget ya. Kok Numbers loe enggak kayak EP kedua loe”. Terus kita kayak “Iya karena itu juga bukan kita. Maksudnya kita benar-benar lagi nyari-nyari banget nih. Kita enggak tau mau bikin apa gitu”. Oke kita enggak rock deh, kayaknya kita elektronik mampus gitu. Akhirnya kita bikinlah. Pas kita bikin, seru sih tapi bukan itu juga ya.
Sampai akhirnya di tahun 2018 itu pertemuannya adalah justru jadi setiap kita manggung, kita tuh karena lagu kita sedikit kan, maksudnya kita cuma punya sepuluh lagu. Jadi kayak kita suka bawain cover, dan cover yang kita bawain based-nya Major Lazer, M.I.A, antara dua itu lah, lagu-lagu mereka. Dan kita kayak cari tau kenapa ya tiap kita bawain lagu ini kok kita happy banget ya. Terus akhirnya sudah, kita ngobrol nih kayak “OK, Tata loe suka apa?”. Tata suka rock banget. “Gue suka apa?”. Gue suka R&B. “Chev, suka apa?”. Chev anak pop banget. OK kerucutin lagi, “Loe suka house enggak?”, “Ya suka sih tapi biasa saja”. “OK, loe suka elektronik enggak?”, “Suka sih tapi biasa saja sih gitu”. Chev, “Gue sih dangdut banget ya”. “Kalau gue sih, gue memang senang musik Afrika gitu”. Terus habis itu, si Tata “Oh kalau gue suka banget dub-nya UK”. Kita kayak, “Kok kita dance hall ya”. Gitu. Maksudnya kita ternyata enggak ketemu namanya. Apa nih musik yang kita bertiga, kita ngerasa terwakili banget tanpa harus kayak “Oh gue link in ke Tata, atau gue link in ke Chev gitu”. Ternyata jawabannya dance hall.
Dan pas kita nemu itu, semua jadi mudah saja gitu. Makanya, akhirnya kita bikin si album Numbers kita tahun 2018. Kita produksi semuanya sendiri. Kita bikin musik semampu kita, tapi benar-benar ke arah yang kita mau. Dan sejak itu memang kita enggak pernah berubah lagi. Kayak “Oh memang ini ternyata”. Kita suka etnik. Mungkin orang dengarnya jadi kayak, “Oh kayak ada world music-nya tapi beat atau apalah enggak tau namanya ya”. Tapi kita ngerasa “Oh iya sih kayaknya kita dance hall sih”. Dan sejak itu sudah, akhirnya jalan terus.
Setelah Tangga bubar, ada personel yang enggak masuk formasi Dekat. Ke mana Nerra?
Nah, jadi pas gue mau keluar dari Tangga itu sebenarnya yang mau keluar itu gue sama Chev. Gini, sebenarnya Chev yang mau keluar. Habis itu dia ngomong sama gue. Dia bilang, “Gue minta maaf ya. Tapi gue kayaknya sudah enggak bisa, gue mau cabut”. Terus gue yang kayak, gue juga pengin cabut tapi gue enggak punya keberaniannya. Jadi kalau loe berani, gue mau nebeng loe nih, berani nih. Enggak apa-apa deh, gue jadi mukanya yang ngomong kita mau cabut. Tapi gue tau, keberaniannya dari loe nih sebenarnya. Sudah akhirnya dia mau. Terus akhirnya gue, waktu itu kayaknya kita mau manggung ke mana gitu di kereta. Gue bilang sama Tata, “Man gue sorry banget nih. Kayaknya gue mau cabut nih”. Gitu. Gue enggak ngajak-ngajak ya karena gue nggak mau mengubah trajectory hidup orang dari sembilan tahun ngelakuin hal yang bisa dibilang cukup menghasilkan gitu lah. Terus dia kayak, “Oh enggak-enggak, gue mau ikut. Gue juga enggak kuat kali. Dari semua yang paling enggak kuat tuh gue”. Terus habis itu sudah.
Waktu itu kita yakin Nerra enggak mau. Maksudnya, Nerra pasti mau stay. Gitu. Akhirnya gue bilang sama Nerra. “Ner, gue sorry banget nih kita bertiga mau cabut”. Nerra kayak, “Jangan tinggalin gue sendirian dong, gue juga mau cabut”. Terus gue bilang sama Nerra, “Tapi gue mau bikin band sama Tata sama Chev. Tapi bertiga bikinnya. Kenapa gue enggak ngajak loe? Karena ini tuh enggak jelas masa depannya. Pertama, kita harus berantem sama Sony. Berantem sama Sony berarti kan berantem hukum karena kita ada si kontrak yang belum beres segala macam. Terus habis itu, ke depannya enggak tau. Musiknya kita belum tau bakal kayak apa. Cari uangnya enggak tau kayak apa”. Dan dia pada saat itu dia baru dilamar orang di 2014. “Dan loe mau nikah, menurut gue it wouldn’t be wise kalau loe ikut. Sementara gue sama Chev sama Tata enggak punya baggage. Kita cuma pengin main musik doang.”
Terus akhirnya waktu itu dia ngomongnya kayak, “Gue support apapun yang loe mau lakuin, kalau gue bisa bantu apa saja silakan tapi gue ikut keluar karena gue enggak mau ditinggal sendiri”. Akhirnya kita keluar. Terus habis itu kita ngurus ke Sony, dan alot waktu itu. Sempat ada obrolan tentang hukum segala macam. Gue bilang sama Nerra, “Ini gue sudah ngobrol hukum segala macam, gue takut loe keseret-seret karena kan yang mau nge-band lagi gue, bukan loe. Jadi loe gimana?” Akhirnya mungkin dia ngobrol sama suaminya, terus mereka came up sama ide “Ya sudah gini deh. Memang kan kalian mau bubarin Tangga, tapi gini saja supaya Nerranya aman kalau Tangganya kenapa-kenapa, kita bakal bikin surat kalau Nerra resmi keluar dari Tangga.”
Jadi Nerra ngasih surat nih ke kita. Kita kasih ke Sony kalau dia resmi keluar dari Tangga. Jadi kalau tiba-tiba Tangga keseret-seret dia enggak perlu kena apa-apa karena, memang sudah ada omongan hukum waktu itu kan, ada denda pinalti segala macam. Akhirnya, kita submit lah gitu. Nerra berarti keluar dari Tangga walaupun Tangganya juga mau bubar sebenarnya. Tapi pokoknya dia keluar dari Tangga secara tertulis. Terus habis itu beberapa bulan kemudian, akhirnya kita beres nih sama Sony. Berhasil tanpa harus kena pinalti segala macam lah. Cuma kita dapat adendum enggak boleh kerjasama sama major label lainnya selama dua tahun. Which kita juga enggak mau lakuin gitu. Jadi kayak ya sudah nih win-win. Ya sudah akhirnya gue bertiga nge-band.
Tapi ternyata along the way, kan kita enggak tau hati orang ya. Mungkin ada kepahitan yang dia rasain ketika gue bilang sama dia kalau kita mau nge-band bertiga enggak ngajak dia. Mungkin waktu pas awal dengar kayak hal yang gue omongin ke dia, terdengar senseable supaya nggak bermasalah segala macam, tapi ketika lama-lama mungkin ada perasaan kayak, “Gila gue sebelas tahun lho sama kalian. Kenapa kalian enggak ada usaha, at least kayak nanya gue dulu kek gue mau ikut apa enggak. Kenapa harus motong langsung, kalau kalian pengin bertiga”. Dan akhirnya hubungannya jadi enggak baik.
Kenapa loe enggak ngajak Nerra?
Karena memang gue merasa, secara kecocokan bermusik, memang gue, Chev sama Tata yang cocok. Kasarnya gini, kita nih family gitu. Berlima bahkan sama Desty. Kita nih family. Dan family harusnya support each other. Tapi menurut gue dalam satu keluarga pun pasti orang-orangnya punya mimpi yang beda-beda masing-masing. Memang sialnya di kasusnya Tangga, yang mungkin akhirnya bikin Nerra sakit hati sama kita karena ini empat orang dan yang cocok tiga. Kalau yang cocok dua mungkin enggak apa-apa, “Oh dua-dua”. Kalau ini kan tiga. Jadi dia benar-benar ngerasa left out. Tapi gue juga enggak mau kayak memaksakan ayo ikut, just for the sake karena kita keluarga. Tapi nanti ke depannya gimana, yang mau bikin lagu siapa, yang nulis lirik siapa, ke depannya gimana. Nih kita harus kayak kasarnya, gue percaya banget sama Chev sama Tata sampai akhirnya kita ngerasain jatuh banget di band dan belum naik lagi sekarang dan enggak ada kepahitan apapun. Kayak gue bisa bilang ke Tata, kalau gue sama Chev mau bikin Hondo dan gue tau walaupun mungkin dia sedih, tapi dia enggak akan kenapa-kenapa sama gue karena gue percaya dia orangnya kayak apa. Karena memang mindset mungkin Chev agak beda ya. Tapi, kayak mindset gue sama Tata tuh benar-benar sama karena kita cuma pengin main musik. Kita kayak anak goblok umur 27 tahun yang belum tau kalau uang tuh penting. Jadi kita kayak, main musik. Sudah gitu. Jadi kayak mau ini nyemplung juga kita, kita enggak apa-apa. Yang penting kita nyoba. Makanya di situ kita ngambil keputusan itu. Cuma memang ternyata, ya sekali lagi yang gue bilang. Kita enggak ada yang tau hati orang. Maksudnya kayak, gue sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti hatinya Nerra tapi ketika along the way ternyata dia merasa tersakiti, akhirnya mau melepas hubungan dia sama kita sama sekali, ya gue juga enggak bisa ngapa-ngapain.
Sejak itu enggak ada kontakan sama Nerra?
Enggak ada. Sejak itu bahkan lucunya, gue terakhir kontak dia tuh ngomongin tentang pokoknya surat dia sudah aman di Sony. Pokoknya dia sudah keluar segala macam. Jadi enggak bakal kenapa-kenapa segala macam.
Jadi sudah beberapa tahun yang lalu?
Jadi benar-benar 2014. Jadi itu sudah enggak kenapa-kenapa. Terus tiba-tiba kita dengar ceritalah dari teman kita, kalau dia ternyata sakit hati sama kita dan banyak ngebuka luka-luka lama. Dan sejak itu nomor gue di-block, nomor Chev, nomor Tata di-block. Kita juga enggak tau. “Kenapa?”. Jadi akhirnya dia yang kayak bikin tembok untuk enggak mau berurusan sama kita lagi. Dan kita kayak ya sudah fair, maksudnya kalau memang loe merasa sakit sama apa yang kita lakukan dan enggak mau berhubungan lagi sama kita, ya sudah enggak apa-apa. Kita juga enggak mau maksain juga. Ngerti saja.
Setelah Numbers rilis pada saat itu, gimana perjalanan Dekat?
Numbers tuh enggak ada satu pun lagu ballad di album Numbers karena waktu itu kita pernah punya lagu ballad yang sebenarnya cukup sukses ya di Dekat judulnya “Pulang”. Tapi kayak tiap manggung tuh kita bawainnya enggak semangat. Gara-gara kayak, ini kayaknya bukan Dekat deh. Maksudnya ini ada lagunya Chev yang kita paksakan masuk ke dalam padahal beda sama entitas Dekat seharusnya seperti apa. Dan Tata juga enggak suka ballad. Kasihan juga dia, dia kayak. Tapi gue sama Chev, ya karena kita penyanyi, maksudnya kita senang musik Dekat tapi kita juga senang nyanyi gitu. Jadi ada kayak perasaan nyanyi yang kita enggak bisa dapatin di Dekat.
Awalnya cuma ada satu lagu, Chev bikin “Thirty”. Terus kita punya lagu, dan karena satu lagu kita masih yang kayak “Ah satu lagu doang. Mungkin cuma apa”. Tiba-tiba ada dua lagu, “River”. Chev bikin “River”. Tiba-tiba gue bikin “Soldier”. Terus tiba-tiba kita punya empat lagu nih. Mendadak kita punya empat lagu, dan gue sudah yang kayak, “Kayaknya ini harus di-band-in sih”. Maksudnya enggak bisa, ngapain nih kita bikin lagu, tapi enggak bisa di-band-in. Dan kita tau dari awal lagu itu jadi, ini bukan Dekat karena beda banget rasanya.
Sampai akhirnya sudah deh rilis saja iseng satu lagu atas nama Hondo. Gue bilang sama Tata, “Eh man gue kayaknya ada beberapa lagu nih tapi ballad gue sama Chev mau keluarin deh. Namanya Hondo, nyobain”. Oh ya sudah. Akhirnya kita rilis “Thirty”. Eh pas kita rilis “Thirty” ternyata receptionnya baik.
Hondo itu nama dari mana?
Hondo itu gue sama Chev tuh punya cita-cita. Cita-cita kita itu melihara french bulldog. Tapi French bulldog tuh mahal dan dia anjing yang sering sakit kan. Jadi mahal dan biaya rumah sakitnya gede dan kita belum punya rumah. Kita masih ngontrak, jadi kan harus pindah-pindah. Jadi kita ngerasa bukan hal yang wise, kalau kita maksain untuk punya french bulldog sekarang. Jadi akhirnya kita mikir, “OK kita bisa punya french bulldog kapan? Pas kita punya rumah”. Logikanya kalau punya rumah, sukses kan. Akhirnya kita kasih nama band kita, Hondo sebagai nama imagine-nya references yang belum kita punya karena biar jadi doa. Supaya suatu hari nanti kita bisa punya Hondo, kalau kita bisa Hondo berarti kita sudah sukses. Gitu.
Sudah punya?
Belum karena kita masih ngontrak. By the time kita punya rumah, kita punya Hondo dan habis itu kita enggak tau bandnya mau dijalanin terus apa enggak karena goal-nya sudah tercapai [tertawa].
Saat loe buat Hondo, Dekat vakum?
Sebenarnya enggak. Jadi 2019 itu, Dekat rilis lagu sama Andien judulnya “Somewhere in Tajikistan”. 2020 Dekat rilis single judulnya “Machete”, bulan Februari, sebulan sebelum Covid. Terus akhir 2020 Dekat menang AMI karena si “Somewhere in Tajikistan”. Jadi sebenarnya Dekat lagi jalan tapi memang jalannya Dekat bukan jalan manggung. Dan 2019 itu kita sempat akhir tahun manggung di Azerbaijan, di Baku. Jadi memang waktu itu kita sempat jalan bareng tuh. Bahkan pas Dekat rilis “Machete”, Hondo rilis “River” bareng di bulan Februari. Tapi memang Hondo yang manggung. Gitu. Jadi Dekat lagunya jalan segala macam, tapi yang manggung Hondo. Jadi seolah-olah kayak Hondo yang jalan. Eh tapi pas baru jalan pun tiba-tiba Covid kan. Terus habis itu, enggak jalan lagi.
Dekat lagi menyiapkan album. Ada yang bisa dibocorkan?
Belum ada yang bisa dibocorin. Paling yang bisa dibocorin pokoknya tahun depan akan ada beberapa lagu Dekat yang rilis.
Kalau Hondo?
Gue bilang tahun depan Hondo akan ada rilisan baru, benar. Tapi gue juga enggak berani bilang karena belum bikin. Jadi masih ngawang-ngawang. Beda sama Dekat yang sudah mulai. Hondo kita sama sekali belum mulai. Gue akan tetap jalani dua-duanya.
Kalau loe lagi jenuh, kegiatan loe yang loe lakukan di luar musik?
Main game. Gue cuma musik dan game sih. Gue enggak ada yang lain.
Dan menghasilkan duit dari game?
Kalau gue mau. Tapi so far setiap ada ide buat “Ah kayaknya pengin nih menghasilkan uang dari game”. Terus itu ketutup lagi sama kayak, “Aduh tapi ini kan kayak tempat gue senang-senang kenapa gue jadi harus mikirin uangnya lagi sih”. Jadi kayak bolak-balik mikir di situ saja terus. Jadi gue punya podcast game, namanya Upah Minimum Gamer. Itu sama beberapa teman main game gue, yang juga teman kerja sebenarnya. Dan kita bikin itu memang enggak mikirin uang. Jadi memang benar-benar cuma kayak podcast-podcast doang gitu. Tapi memang along the way, ya pasti bakal kepikir, “Kenapa kita enggak bikin stream main game saja ya. Kenapa kita enggak ini saja ya”.
Tapi gue selalu punya teori, kalau gue punya sesuatu yang gue inginkan banget tapi belum gue lakuin, berarti gue belum pengin-pengin banget karena kalau gue sudah pengin banget pasti sudah gue lakuin. Jadi sampai sekarang itu semua masih angan-angan. Cita-cita gue tuh jadi YouTuber. Itu tuh cita-cita nomor satu gue. Orang-orang tuh kayak “Wah gue pengin jadi apa”. Enggak, gue mau jadi YouTuber karena gue nonton YouTube setiap hari. Gue pengin berkontribusi. Tapi memang ya sampai sekarang masih belum dikasih semangatnya.
Loe nonton YouTube setiap hari, loe pengin berkontribusi. Ada enggak yang loe belum lakuin tapi sudah loe pikirin?
Banyak. YouTube ya. Jadi YouTube itu, cita-cita nomor satu gue adalah, gue tuh pengin punya YouTube game, tapi enggak main game. Jadi kalau di YouTube tuh memang ada beberapa spesifikasi konten game-lah. Ada namanya Let’s Play, itu orang yang main game streaming ditonton sama orang. Ada yang nge-review game. “OK game ini bla, bla, bla”. Tapi ada juga yang suka bikin, namanya. Jadi kayak loe bikin essay tentang sebuah game yang loe suka atau yang loe enggak suka. Dan itu tuh tipe konten yang gue paling suka. Jadi misalkan kayak loe main satu game apa, loe kayak bikin satu essay tentang kenapa game ini working buat loe. Apa yang loe rasain ketika loe main game ini. Jadi kalau ditanya review, bukan juga. Tapi lebih ke perasaan loe ke game itu.
Gue tuh pengin banget bikin itu. Jadi kayak ngumpulin footage game play. Terus gue bikin monolognya. Ya gue rilis seminggu sekali setelah gue beres main game. Itu gue pengin banget. Gue sudah punya gameplay footage-nya, gue sudah punya script-nya. Gue cuma belum lakuin dan itu yang gue bilang tadi. Ya kenapa gue belum lakuin ya. Maksudnya gue belum lakuin karena gue belum pengin-pengin banget nih. Tapi gue pengin. Jadi kayak bingung gitu.
Dari perjalanan loe, gue mau tau tentang stand up comedy?
Stand up comedy saved my carrier. Menurut gue 2012 kayaknya. Jadi gue ketemu stand up comedy tuh pas gue lagi bosan-bosannya banget sama musik. Di situ musik Tangga spesifik karena kan pada saat itu Tangga bukan tipe yang ketika loe ada di Tangga loe bisa ngelakuin hal lain. Memang sudah Tangga doang. Gue kayak jenuh banget, gue kayak anjir gue sudah enggak mau musik dan yang gue suka memang gue suka banget nonton stand up. Terus tiba-tiba di Indonesia, stand up mendadak besar.
Gue waktu itu sebenarnya enggak sengaja, gue sama Chev ikut kelasnya Pandji, kelas PR gitu. Terus tugas akhir kelasnya tuh naik stand up, bikin set nih 5 menit. Ya sudahlah kita nulis segala macam. Dan gue sama Chev memang suka stand up gitu. Ketika kita dikasih kesempatan itu, kita senang. Cuma Chevnya santai, guenya yang keterusan karena gue kayak dapetin euforianya karena “Anjir ternyata seru juga ya di atas panggung tapi enggak nyanyi”, ya gitu.
Sudahlah, akhirnya gue serius tuh. Gue serius tekuni stand up, gue ketemu sama teman-teman. Waktu itu ada Adriano Qalbi, Pangeran Siahaan sama Kukuh Adi. Mereka bikin band stand up nih namanya We Are Not Alright. Tapi mereka bertiga ini paling enggak mau naik pertama. Jadi mereka kayak, anjir gue harus satu orang yang mau naik pertama nih. Terus akhirnya mereka liat gue open mic. Habis itu, Adri ngajak gue. “Kam, loe mau enggak gabung di We Are Not Alright tapi loe naik pertama?”. Ayo, gue cuma pengin stand up. Sudah, akhirnya kita bikin We Are Not Alright tuh. Itu jalan dua tahun lah, 2012-2014. Kita bikin tur ke kayak tempat-tempat minum gitu, café to café.
Dan We Are Not Alright tuh sintingnya, bukan yang kayak, kan kalau misalnya loe stand up misalkan sekarang kan loe ketika bikin acara yang datang kan fans. Kalau We Are Not Alright enggak. Jadi kita bikin acara yang datang ya kayak orang pengin mabuk saja. Jadi mereka bahkan enggak tau kita siapa. Jadi memang benar-benar kayak, wah itu kejam-kejam banget. Kalau loe enggak lucu, habis. Enggak ada fans. Jadi benar-benar yang kayak. Jadi kalau lucu, lucu. Kalau enggak, ngapain sih nih.
Akhirnya ya mental ketempa segala macam. Terus akhirnya jadi mulai serius. Akhirnya gue sempat jadi opener-nya Soleh Solihun segala macam. Gue dapat serunya, sampai akhirnya Tangga bubar, kita bikin Dekat. Dan pas gue ngerasain bikin Dekat. Gue yang kayak, “iya ternyata gue enggak stand up sih”. Memang itu satu fase lah. Satu fase akhirnya waktu itu gue sempat sih, maksudnya masih kayak 2014-2016 tuh gue masih ada kayak, masih suka manggung stand up gitu. Kayak acara-acara stand up yang besar. Tapi habis itu, sudah.
Maksudnya gue enggak full time lagi. Terus gue ingat banget 2020, MLI (Majelis Lucu Indonesia) bikin acara ngajakin gue. Dua kali ngajakin gue. Bikin acara di dua tempat, yang pertama OK lah. Yang kedua gue nge-bom habis-habisan benar-benar enggak lucu sama sekali. Benar-benar enggak ada yang ketawa sedikit pun, gue 10 menit tuh enggak ada yang ketawa. Gue yang kayak “Anjing nih, habis nih”. Dan di saat itu gue baru sadar kalau ternyata stand up itu bukan kerjaan part time. Loe enggak bisa stop, kalau loe stop ya ini kejadiannya. Orang-orang ada yang pergi, ada yang marah. Kalau loe enggak lucu kan, orang jadi tersinggung kan. Terus gue kayak “Anjir nih gue salah banget nih. Enggak beres-beres lagi, masih panjang”.
Stand up melatih mental banget enggak sih?
Stand up itu boxing match menurut gue. Stand up itu boxing match di mana loe tinju sama penonton dan penontonnya banyak. Jadi kayak kasarnya gini, loe bisa nih nulis kayak tiga kalimat lucu yang loe dengarnya loe ketawa. Tapi semua kan tentang tempo ya. Kayak kadang loe tuh ketawa gara-gara loe enggak siap dengar itu. Jadi kayak OK kalau gue ngomongnya gini, orang biasa saja. Tapi kalau gue ngomong gini, terus gue ngomong gini, orang kayak “Wooo”.
Jadi loe kayak tinju sama orang-orang banyak lewat komedi. Tapi jahatnya stand up adalah, kalau musik tuh sakit hatinya karena enggak diperhatiin. Tapi orang tuh bisa fake tepuk tangan. Misalnya kayak “Wah gila nih band, aduh enggak enak, tepuk tangan”. Tapi orang enggak bisa fake ketawa. Jadi enggak mungkin. Jadi karena orang enggak bisa fake ketawa, ya mereka tinggal enggak merhatiin atau marah.
Jadi efeknya langsung. Jadi loe bisa down ketika loe masih main. “Anjir kok gagal ya”. Bukan kayak, kalau manggung kan pas habis turun panggung. “Kita hari ini jelek ya”. Kalau stand up tuh langsung berasa, “Anjing jelek ya”. Langsung berasa. Jadi itunya, maksudnya gue sih sanksi gue akan serius lagi. Tapi itu momen yang gue cherish banget. Maksudnya gue happy banget gue pernah ada momen jadi stand up comedian di hidup gue tuh gue happy banget sih. Ngajarin gue banyak hal.
Bagaimana loe akhirnya menjadi vocal director?
Kayaknya sih 2018 ya. Jadi gue dapat satu pekerjaan. Ketika gue lagi enggak punya kerjaan. Gue waktu pas jalanin Dekat tuh. Gue benar-benar yang kayak gue enggak mau ngelakuin apapun selain Dekat. Jadi kayak bahkan ketika gue ditawarin nyanyi sendiri pun gue enggak mau karena sekali lagi yang tadi gue bilang, gue masih ngerasa enggak perlu uang gitu lho. Apa sih duit. Kayak masih gitu. Terus tiba-tiba gue ditawarin jadi vocal director buat Rising Star Indonesia, di mana waktu itu Rising Star-nya yang juara Andmesh Kamaleng. Jadi gue jadi vocal director tuh. Dari masih orangnya 40 atau berapa sampai akhirnya jadi si tiga besar terakhir gitu. Gue awalnya takut ngambilnya.
Loe ditawarin siapa jadi vocal director saat itu?
Ditawarin orang RCTI gara-gara kayaknya ada siapa yang enggak bisa lah.
Kenapa kira-kira mereka nawarin loe?
Karena gue hitam. Gue kalau dapat tawaran nyanyi. Gue tuh sering banget gitu. Kayak misalnya, “Mau enggak Mas jadi juri ini?”. “Oh, emang siapa yang enggak bisa?”. Gue selalu nanya gitu kan, karena kok ke gue. “Memang siapa enggak bisa?”, “Iya Mas Glenn enggak bisa”. “Wah cari yang hitam”. Terus mungkin kalau pas di zaman itu, kayak ada Mas Rayen Pono atau Mas Bowo Soulmate. Pokoknya hitam-hitam. Orang hitam. Gue selalu bayangin gitu. Terus habis itu, sudah gue terima. Tapi gue punya ketakutan karena dulu gue tuh selalu mikir, kalau ada satu kalimat yang gue selalu pikirin adalah kayak those who can’t do, teach. Jadi kayak, guru itu pasti orang yang dulunya pengin jadi penyanyi tapi gagal.
Misalkan, Mas Indra Aziz. Gue tuh enggak bisa ngebayangin kalau Mas Indra Aziz benar-benar pengin jadi guru karena dia senang saja. Gue pun ternyata pas gue ketemu Mas Indra Aziz, ternyata dia memang beneran senang ngajar. Tapi gue tuh selalu, dari dulu mikir. “Ya loe pasti jadi guru kan ya gara-gara loe gagal. Jadi, ya sudah deh gue jadi guru”. Gitu. Jadi pas gue di 2018, dan gue lagi ngerasa karier gue gagal, tiba-tiba gue dapat tawaran jadi guru, gue yang kayak “Anjir, nih jadi guru banget nih”. “Gue sekarang nih, di umur 30 gue jadi guru gitu lho”. Kayak ada gitunya. Tapi karena pas ditaruh budget-nya, gue kayak “Waduh tapi kalau nolak sayang juga karena ini kayak episodenya belasan kan”.
Terus akhirnya, gue ya sudah deh cobain. Dan di hari gue nyobain, ternyata gue happy banget karena hobi gue tuh dengerin orang nyanyi dan apa yang bisa diperbaiki ya. “Yuk kita bisa bawa lagu ini ke mana ya”. Itu ibaratnya kayak bikin aransemen, dan itu hal yang gue lakukan. Hal yang gue lakukan lama di Tangga, hal yang gue lakukan lama di Dekat, tapi gue enggak tau nama pekerjaannya apa.
Akhirnya itu jalan, acaranya beres. Ketidaksukaan gue sama acara itu, enggak ada hubungannya sama direct vocal. Kayak “Oh capek” atau jam kerjanya enggak jelas atau apalah atau kayak hasil akhirnya enggak sesuai apapun, tapi di momen kerjanya gue happy banget dan di saat itu gue masih belum kayak mutusin “Oh ya sudah deh gue bilang kalau gue vocal director”, enggak. Tapi tiba-tiba saja, jadi kayak mulut ke mulut. Kayak client gue pertama adalah salah satu anak yang eliminasi dari si acara itu. Dia mau bikin lagu rohani, minta gue yang direct.
Akhirnya, gue direct. Terus habis itu, si produsernya dia ternyata produsernya Angel Pieters di rohani. Akhirnya, Angel Pieters bikin lagu, ngajak gue. Terus Angel Pieters waktu itu jalan sama Anka. Anka punya artis ngajak gue. Gitu banget. Seingat gue, gue enggak pernah sekalipun di social media gue atau apapun bilang kalau gue vocal director. Gue enggak pernah ngomong itu. Tapi ya mulut ke mulut saja. Mungkin karena ya mereka nyaman ketika mereka rekaman ditemani sama gue. Dan tiba-tiba ini jadi pekerjaan utama gue.
Loe independen?
Independen.
Apa saja sih sebenarnya tugas loe sebagai vocal director?
Vocal director tuh gini, ketika band biasanya punya produser dan gue dulu nanya apa sih fungsi produser. Misalkan contoh ya, misalnya kayak MALIQ diproduseri sama Mang Eky (Humania) dan gue bingung kenapa? Karena Mas Widi kan bisa produksi. Soulvibe diproduksi sama Mas Widi. Kenapa? Kan Soulvibe kan bisa produksi atau bahkan yang paling gilanya deh. Misalnya kayak Steve Lilywhite produksi U2, kenapa? Gitu kan.
Ini kan anak band, mereka enggak perlu produser. Tapi ternyata untuk mencapai ke, banyak banget dari musisi dan juga penyanyi yang tau dia mau apa, ini yang normalnya ya, dia tau mau apa, tau cara buat mencapai ke sana, tapi cuma 60% taunya, dan dia perlu 40% orang untuk bikin hal yang dia pengin jadi kenyataan. Akhirnya di situlah ada pekerjaan orang jadi produser musik. Vocal director adalah pekerjaan itu untuk penyanyi.
Jadi kayak si penyanyi ini tau dia mau nyanyi kayak apa. Dia tau cara mencapainya gimana. Tapi dia cuma tau 40% atau 50% atau bahkan 90% tapi dia perlu 10%-nya. Akhirnya dia mencari orang untuk ngebantu brainstorming untuk dapatin apa yang dia mau. Dan permasalahannya lagi, biasanya vokal itu afterthought.
Bayangin ya, ini gue kasih gambaran kasarnya banget. Loe kalau liat gitaris, gitaris datang manggung itu bawa efek sendiri. Bahkan ada beberapa band yang bawa ampli sendiri. Bassist bawa efek sendiri, drummer bawa drumnya sendiri kadang kalau repot. Vokalis masih banyak yang enggak bawa mic sendiri lho dan vokalis cuma bawa mic. Vokalis yang bagus, orang tuh suka bilang “Gila ya dia bawa mic sendiri”. Tapi enggak ada lho, orang yang ngomong “Gitarisnya keren bawa gitar sendiri”.
Orang kalau ngeliat gitaris bawa gitar, ya memang tugas loe. Tapi kalau vokalis bawa mic, “Gila dia serius, pasti bagus nih soalnya bawa mic sendiri”. Jadi vokal tuh jadi afterthought. Padahal kalau dipikirin, volume terbesar di hampir setiap lagu yang ada sekarang itu pasti vokalnya yang paling gede. Jadi vokalnya harus dipikirin banget. Dan tugas vocal director adalah memastikan hasil si vokal tersebut secara teknik rekaman ya. Maksudnya, bukan secara hasil mixing atau apa karena itu ada pekerjaannya lagi yang lain. Tapi, supaya memastikan vokalnya bisa direkam seprima mungkin supaya hasilnya memuaskan.
Siapa saja yang pernah bekerja sama dengan loe?
Artis yang pertama gue direct, Angel Pieters. Gue enggak akan lupa itu, karena itu salah satu kerjaan pertama gue. Terus habis itu, Wizzie, Adrian Khalif, Nadin Amizah, Kunto Aji, Krisdayanti, Sandhy Sandoro, Hanin Dhiya, Raisa.
Salah satu yang berkesan dari sisi tantangannya mengasah keahlian loe?
Ada beberapa ya yang sangat memorable di gue karena caranya beda. Misalnya, salah satu memorable-nya mirip-mirip. Itu gue direct Wizzie, Nadin Amizah, Hanin Dhiya sama Kunto Aji. Kenapa? Karena mereka itu sudah tau percis mereka mau nyanyinya gimana. Dan gue bilang sama mereka dari awal kayak “Loe kalau mau ngajak gue. Gue dengan senang hati. Tapi gue enggak tau, gue bisa bawa apa yang bisa bikin loe nyampe ke tempat yang loe mau karena menurut gue loe sudah sampai ke tempat yang loe mau tanpa harus pake gue gitu”.
Tapi ternyata, ada hal-hal yang ketika kita obrolin, yang kayak, “Oh iya ya ternyata bisa gini ya. Kenapa enggak gini ya. Kenapa gue ngeliatnya mau ceritainnya dengan cara ini ya”. Jadi gue kayak kasarnya, mereka orang yang sudah tau mau mereka apa dan mereka cuma perlu teman ngobrol untuk sampai ke tempat yang mereka mau. Ada yang kayak gitu.
Tapi ada tipe kayak Sandy Sandhoro dan Angel Pieters. Mereka yang tipe kayak, “Gue bisa nyanyi apapun tapi gue enggak punya idenya. Jadi gambarin”. Gitu. Jadi kayak “OK, loe mau gue nyanyiinnya kayak apa?”. Jadi kayak gue dikasih kertas kosong nih. Gue dikasih kertas kosong untuk terserah mau gue gambar apapun, pakai suara mereka. Jadi tipe pekerjaannya beda lagi. Jadi benar-benar mereka masuk ke bilik, ”OK, Kam. Loe mau gimana?”. Jadi akhirnya, kasarnya “gimana kalau gini, gimana kalau gini?”.
Ada juga yang kayak Adrian Khalif atau Cantika Abigail yang kayak “OK gue tau nih gue maunya kayak apa. Tapi gue cuma tau 50%, gue perlu 50%-nya lagi. Gimana ya, Kam?”. Jadi kayak kita ketemu di tengah nih. Gimana ya?. Terus kayak, “OK gue mau kayak gini. Tapi gue enggak punya bayangannya. Loe punya bayangan enggak?”. Jadi kalau ini, lebih kayak jadi bikin lagu bareng. Itu yang biasanya memorable yang kayak gitu sih.
Tapi mungkin bisa dibilang yang kayak salah dua pekerjaan gue paling memorable adalah gue direct vocal Baskara Putra untuk .Feast. Gue direct dia untuk Hindia pernah, tapi yang buat .Feast yang gue memorable. Untuk .Feast dan gue direct Agustin Oendari. Kenapa memorable banget waktu gue direct Baskara, gue bilang kenapa loe mau di-direct sama gue? Maksudnya kayak gue tuh suka banget .Feast dan gue suka gaya nyanyi loe. Tapi musik loe, bukan musik gue. Jadi loe ngerasa apa nih. Terus dia bilang kayak, “Ya kenceng tuh bumbu doang. Tapi gue pengin nyanyi benar dan gue pengin lagunya sampai ke tempat yang enggak cuma kayak ‘oh orangnya rock nih suka’. Tapi juga secara nyanyi menarik”, dan Baskara tipe orang yang buka banget. Maksudnya untuk orang yang sudah punya specific singing style gitu. Dia buka banget, “Oh iya Kam enaknya gimana ya? Ngapain ya?”. Dan tipe yang ketika dikasih challenge selalu mau. OK gimana, OK gimana gitu. Dan gue senang banget. Dan ketika gue dengar hasil akhirnya, gue yang kayak anjir bagus ya. Ternyata bisa ya.
Kalau Agustin Oendari, rekamannya karena waktu dia rekaman lagunya itu agak-agak klenik karena dia dapat liriknya dari, ya ini gampangnya lah, dari mimpi. Dia ketemu sama satu orang yang sudah enggak ada dan minta dibikinin lagu. Jadi hasilnya magis banget karena malam itu juga ngeri. Awalnya enggak enak ya bikinnya. “Loe tuh di dalam sendiri kan?”. Terus dia kayak, “Loe mau gue kasih tau di dalam sendiri atau enggak?”. Gue enggak mau tau. Kayak gitu-gitu. Jadi tuh memorable banget dan itu berasa ketika rekamannya ya.
Oh, iya satu lagi yang kertas kosong juga Afgan. Gue pernah direct Afgan, pas dia masuk di bilik, gue bilang kayak, “Loe ajak gue ngomong ketika loe perlu ngajak gue ngomong ya karena gue enggak mau ngasih tau cara loe nyanyi karena loe bagus banget”. Gue enggak ngerasa loe perlu gue. Ternyata dia yang kayak “OK loe mau gue nyanyi kayak apa?”. Dan di situ gue kayak wah gila ya happy banget sih karena yang nyuruh. Dia pasti bisa apapun. Jadi kayak hayuk.
Apakah setiap penyanyi saat rekaman butuh vocal director menurut loe?
Menurut gue, itu cuma penyanyi yang bisa jawab sih. Dia ngerasa hasil rekaman vokal dia sudah sesuai yang dia mau apa enggak? Sama kayak pertanyaan, “Apakah band perlu produser?”. Gitu. Mereka ngerasa produksinya sudah sesuai 100% mereka mau apa enggak. Kalau misalkan, mereka ngerasa gue sudah 90% sih perlu 10%-nya harga vocal director perlukah untuk loe keluarkan untuk dapatin 10%-nya. Cuma si penyanyi yang bisa jawab. Tapi kalau belum pernah coba, saran gue sih coba karena enggak ada salahnya kayak pengin tau saja. “OK gue yang gue dapatin biasanya segini. Kalau gue kerja sama orang lain bisa dapat segimana ya?”. Kalau ternyata hasilnya menurut loe sama saja. Ya, berarti next loe tau kalau loe enggak perlu. Tapi kalau ternyata loe dapatin satu hasil yang enggak loe bisa dapatin sendiri, berarti itu hal yang loe butuh.
Apa kiat khusus buat penyanyi saat loe mengarahkan mereka untuk tetap menjaga mood sebuah lagu?
Biasanya yang gue jagain ya. Maksudnya, gini. Biasanya orang ketika kerja sama vocal director, teknis banget ngomongnya. “OK gue mau nyanyi kayak gini, gue mau gini. Menurut loe nih di sini harus tinggi atau enggak?”, “Menurut loe ngambilnya gimana atau apanya gitu”, segala macam. Which itu obrolan yang gue suka ya gitu karena ya gue senang banget ngomongin vokal kan.
Cuma kadang yang mereka suka lupa adalah ketika loe rekaman, loe tuh enggak cuma taruh suara. Tapi loe taruh rasa, loe taruh mood-nya dan mood itu enggak bisa diajarin. Mood itu cuma perlu dirasain. Jadi gue kadang suka ngajak mereka untuk,
“Ini kita obrolin semuanya sebelum kita rekaman ya”. Kayak kita mau ngapain segala macam. Plannya segala macam. Pas loe masuk ke bilik, plan-nya dibuang karena ya hati loe ngajak loe ke mana ketika loe dengar musiknya. Kadang orang suka ngerasa, kalau musik sama nyanyi dua hal yang beda. Padahal sebenarnya dua-dua tuh call and response.
Kayak kadang misalkan, loe misalkan suka dengar kalau loe pernah wawancara produser gitu ya. Ketika nanya gimana cara bikin lagu ke penyanyi solo dan biasanya produser suka bilang, “Ya gue dengerin nih nyanyi dia apa dan liriknya apa. Dan gue bikin musik sesuai sama apa yang dia mau sampein”. Dan itu tuh berjalan beriringan, karena ketika loe dengar musiknya, musiknya minta loe ngapain? Musiknya minta loe nyanyi pelan kah? Musiknya minta loe nyanyi kencang kah? Musiknya minta suara loe cempreng kah? Minta suara loe tebal kah? Banyak banget hal, musiknya minta loe buat ngomong kah?
Bahkan ada lagu yang kayak, “Iya lagu ini enggak minta loe nyanyi, lagu ini minta loe ngomong. Loe kalau ngomong gimana tapi pakai nada”, misalkan. Itu kayak hal yang beda-beda. Jadi semua plan memang harus dibuang keluar jendela karena kadang suka ada gini juga nih. Permasalahan penyanyi adalah gini, suka terlalu aware sama suara sendiri. Misalkan suka terlalu aware gini, mereka tiba-tiba narik tinggi, “Eee”. Tiba-tiba cempreng narik tinggi. Terus dia kayak, “Aduh suara gue cempreng di sini gue enggak suka”. Gue nanya, “Kenapa loe enggak suka?”, “Karena harusnya suara gue enggak cempreng”. Iya, tapi tadi pas loe nyanyi loe tiba-tiba cempreng. Mungkin enggak si musiknya, minta suara loe cempreng?
Karena orang tuh enggak ada lagi misalkan kayak, misalkan kayak loe dengar Afgan deh. Ini hal paling simple, loe kalau dengar suara Afgan loe pasti punya bayangan. OK Afgan suaranya berat, suaranya banyak nafasnya, “Hemmm”. Beda sama kalau loe dengar, suara Tompi. Kalau Tompi kan enggak ada nafasnya, “Ewww” suaranya. Tapi bahkan kalau loe perhatiin ketika Afgan narik tinggi, itu enggak chesty. Jadi dia tuh, misalkan kalau gue contohin ya.
Dia misalnya nyanyi, “Cintaku bukanlah cinta biasa”. Tapi dia pas nada tinggi, “Ohhh, cintaku”. Kenapa? Karena mungkin lagunya minta dia kayak gitu tanpa dia sadar. Tapi kadang penyanyi suka kayak. Dia sama kayak gitaris sama tone gitar. “Anjir bukan tone gitar gue nih”. Enggak penting lagi. Yang penting adalah, tone gitarnya cocok enggak buat musiknya. Gitu. Itu yang kadang harus diingetin terus. Once lagu ini keluar, ini bukan lagu loe lagi. Lagu ini sudah punya nyawanya sendiri. Ini bukan kayak, misalnya kayak “Untitled”-nya MALIQ. Ini “Untitled” memorinya Pohan. Ini “Untitled” memorinya gue. Ini “Untitled” memorinya Mbak itu ketika dia dengar “Untitled” pertama kali. Sudah bukan “Untitled”-nya Angga Puradiredja. Kita cuma wadah. Ketika lagu itu keluar, sudah bukan milik loe lagi. Itu yang kadang gue sering banget ketemu penyanyi terlalu aware. Jadi akhirnya dia mengotak-otakkan. Kayak, “OK gue nyanyi harus kayak gini”. Padahal enggak ada aturannya sama sekali loe mau nyanyi kayak gimana pun. Gitu.
Lalu, bagaimana untuk berkolaborasi dengan loe sebagai vocal director. Cara loe menetukan budget loe?
Harga gue sih selalu sama. Maksudnya kayak gue mau kerja sama siapa pun gitu. Harga gue based on per lagu dan per jam kerja gitu. Jadi kayak gue punya maksimal jam kerja yang ketika kalau jam kerja maksimalnya sudah beres, ya itu hitungannya lagu baru. Walaupun dari mungkin gue ratusan kali nemenin orang rekaman, kejadiannya paling cuma dua kali. Kayak yang lewat gitu ya karena memang jarang orang juga nyanyi capek lagi. Enggak mungkin orang nyanyi delapan jam, terus-terusan.
Pernah enggak loe diajak kerjasama dan menolak?
Nolak sih enggak ya. Mungkin nolak kerja kedua kali iya karena ada yang kayak, gue enggak ngerasa cocok nih. Maksudnya kayak mungkin lebih cocok sama orang lain gitu. Kalau nolak dari awal, enggak. Cuma itu, gue selalu ada pertanyaan sama penyanyi yang menurut gue sudah enggak perlu (jasa) gue. Tapi ketika mereka akhirnya balik ngajak gue lagi. Ya gue kayak “Oh iya berarti mungkin gue enggak bisa ngeliat value yang gue kasih ke dia, tapi dia bisa melihat value yang gue kasih ke dia”. Jadi ya kalau dia ngerasa kehadiran gue di sini membantu. Ya, who am I to judge? Gue dengan senang hati banget kerja buat loe. Kalau untuk direct vocal enggak, kalau untuk produksi musik mungkin iya. Gue sangat picky. Tapi untuk direct vocal enggak sih karena segala jenis nyanyi selama penyanyinya merasa bisa diuntungkan dari kehadiran gue di situ, gue dengan senang hati bantu.
Loe mengarahkan penyanyi. Loe sendiri belajar dari mana?
Gue belajar teknik vokal tuh, ada guru gue namanya Bang Alfian Masambe, almarhum, itu guru gue nyanyi dari gue kelas 1 SMP kali ya sampai kelas 2 SMA. Gue di Biss gitu. Sebenarnya ada dua sih, sama ada Ceni namanya. Gue enggak tau tapi Ceni apa kabar tuh. Dia guru gue di Biss dari gue SMP juga. Jadi Bang Alfin guru choir. Kalau Ceni guru gue kayak pribadi. Terus Ceni pindah ke Elfa’s Musik Bogor. Jadi gue sempat pindah ke Bogor tuh pas gue sudah mulai Tangga. Jadi gue sempat kayak ada sama Ceni, 2005-2007 kali ya gitu masih les. Mereka sih ngajarin gue teknik. Tapi momen gue belajar nyanyi tuh, ketemu Doddy Katamsi.
Jadi ada teman gue namanya Maharasyi, dia mau les sama Doddy Katamsi. Tapi dia telat datang, ngajak gue nemenin. Gue datang duluan. Mas Doddy sambil nunggu bilang gini sama gue, “Loe ada keluhan enggak nyanyi?”, Terus gue yang kayak. “Suara saya cempreng, Mas.” Gitu. “Pengin deh suaranya tuh yang kayak chesty gitu.” Terus habis itu dia bilang, “Loe pernah dengar enggak loe ngomong suaranya kayak apa?”. “Enggak pernah, Mas”. “Loe kalau ngomong cempreng. Terus kalau loe ngomong cempreng, kenapa loe nyanyi pengin enggak cempreng?”. Terus dia kayak, “Nyanyi tuh harus kayak ngomong, karena suara orang beda-beda.”
Di situ gue kayak, “Wah ini nih”. Kayaknya ini doang nih ternyata nih problem nyanyi gue dan sejak itu kayak nyanyi jadi gampang saja. Maksudnya, gue selalu berusaha, kayak “OK, gue mau nyanyi nih di tempat yang gue nyaman dan suara gue kayak gini. Gue harus nyaman sama suara gue”. Sejak itu kayak awalnya gue mikirin teknik harus gimana segala macam, akhirnya sudah jadi enggak terlalu mikirin sih. Lebih ke mindset saja.
Menurut loe apa yang diutamakan saat loe bekerja sama dengan Sound Engineer dalam menyeleksi hasil take vocal?
Buat gue, rasa sih. Kayak kadang orang suka terlalu fokus sama kayak, “Aduh suara gue di sini kayak enggak prima. Aduh gue agak serak ya atau gue” segala macam. Sementara kalau gue, gue lebih nyari apa yang berasa. Dan kadang berasa pun di gue enggak harus kayak spesifik ya. Enggak harus kayak, rasanya sendu, gembira, happy, terang, apalah. Bahasa-bahasa abstraknya seni ya.
Kalau gue lebih ke rasa, gue ngejar rasa. Rasa apapun. Kalau gue tiba-tiba dengar, “Hii”. Aduh, berasa ya hiii-nya. Ambil. Gitu. Walaupun orang kan loe suka mikir, kayak, “Ya terus kalau digabung-gabung memang jadi make sense apa?”. Kadang soalnya ada juga, Engineer yang pengin gue mau nyanyi dari awal sampai akhir.
Sementara kan enggak semua penyanyi fokusnya bisa prima dari awal sampai akhir kan. Jadi gue lebih kayak, sistemnya namanya comping. Jadi kayak loe ngambil hal-hal terbaik kayak, beat and pieces dari vokalnya tuh selalu susut kayak main puzzle. Kadang ada Sound Engineer yang memang terbiasa kerja kayak gue. Jadi langsung, tapi ada juga Engineer yang kayak “Loe yakin nih Kam suku kata diambil?”. Gue kayak, iya enggak apa-apa kok sudah ambil saja dulu. Kalau semakin Sound Engineer-nya santai pasti semakin enak kerjanya. Tapi ada juga Sound Engineer yang sudah saklek. “OK gue maunya gini ya”. Gue juga ngikut lah. Harus sama-sama happy.
Bagaimana sih mengatur vokal yang baik untuk bernyanyi?
Menurut gue enggak ada sih. Fokus soal rekaman tuh cuma kayak rasanya nyampe enggak. Sudah. Maksudnya, kita bisa planning nyanyinya mau kayak apa. “OK notasinya kayak gini ya. Di sini loe ngambil tinggi. Di sini loe bla, bla, bla. Di sini mulut loe lebih terbuka, mulut loe lebih enggak terbuka”. Segala macam. Tapi once sudah masuk bilik, rasain saja karena cuma itu kok yang penting.
Maksudnya kayak, loe pasti pernah lah dengerin lagu Korea. Terus loe kayak, “Gila dalam ya ini lagu”. Padahal enggak ngerti liriknya. Menurut gue itu karena, sekali lagi ini sotoy-sotoyan. Tapi menurut gue itu karena pas dia rekaman, rasanya benar. Mungkin lagunya tentang rindu, nah pas rekaman dia dapat tuh rindunya. Jadi tanpa harus loe ngerti liriknya apa, rindunya sampai. Iyalah kita zaman SD dengerin lagu bahasa Inggris juga enggak ngerti apa. Tapi wah nyanyi sampe ke hati banget. Tapi rasanya nyampe. Jadi menurut gue itu doang yang penting.
Lalu, menentukan lagu yang tepat untuk belajar nyanyi?
Menurut gue pilih lagu yang loe paling suka sih karena menurut gue enggak ada tuh satu lagu yang one song fits all tuh enggak ada gitu ya. Karena lagu susah buat orang sama lagu susah buat loe tuh kadang beda karena kita kan datang dari tempat yang beda ya.
Kayak gue biasa dengarin R&B. Jadi buat gue dengerin R&B gampang, nyanyi R&B gampang. Tapi ketika gue dikasih lagu Yovie Widianto buat gue susah banget karena kayak notasinya jadi, notasinya saklek notasi piano. Tapi banyak orang yang belajar pakai lagu Yovie Widianto. Kalau misalnya loe kayak main ke tempat les gitu ya. Pasti banyak banget lagu-lagu Mas Yovie yang dipakai buat orang latihan. Sementara buat gue lagu-lagu Yovie Widianto susah banget. Jadi paling gampang belajar pakai lagu yang loe suka dan loe nyaman.
Kadang kan loe suka kayak dengar lagu, kayak “Ih, gue suka deh nyanyiin ini”. Kadang gue suka nyanyin ini tuh sebenarnya maksudnya tuh gue gampang nyanyiin ini. Dari yang gampang, nanti kalau loe sudah terbiasa nyanyi kayak gitu dan loe sudah bisa. Loe mau nyoba ke yang lain ya tinggal dicoba. Tapi kalau langsung nyoba ke yang susah, nanti malah jadi enggak mau nyanyi.
Alat musik yang bisa loe mainkan?
Enggak ada. Gue enggak spesifik bisa main alat musik. Gue baru belajar alat musik pas Covid, belajar piano. Belajar chord itu apa, gimana cara nyarinya. Gue baru pas Covid dan itu pun ya karena baru setahun dan gue juga enggak kayak intens setiap hari. Gue enggak bisa bilang, kalau gue bisa main alat musik. Cuma gue sudah lebih mengerti lah untuk tau kalau “Oh chord tuh cara kerjanya kayak gini. Oh kalau gue kayak gini, bisa ke sini”. Untuk bantu bahasa saja sih. Membantu membahasakan gue produksi supaya bisa lebih cepat dan ngobrol sama musisi-musisi jadi bisa lebih nyambung. Cuma kalau bisa, sampai sekarang sih belum. Pengin banget bisa, cuma enggak tau kapan.
Loe juga kan menjadi backing vocal untuk band. Silakan ceritakan!
Jadi, kalau enggak salah Juli 2019. Gue ditelfon sama Rizma, manajernya KPR (Kelompok Penerbang Roket). Dia bilang sama gue, “Kam, si Widi (Puradiredja) lagi nyari backing nih. Soalnya si Menuk keluar”. Mbak Menuk mau bikin solo waktu itu. Terus dia kebayang, “mau punya backing cowok pengin ngajak loe. Tapi enggak enak ngomongnya, karena dia enggak tau loe mau atau enggak nge-backing”. Terus gue kayak, “Ya sudah ngobrol saja dulu. Bilang saja ke si Mas Wid, kalau mau ngobrol hayuk.”
Akhirnya, minggu itu juga ketemu sama Mas Widi sama Mbak Indah. Mas Widi, Mbak Indah, Mbak Menuk. Bertiga tuh. Mbak Menuk pisahan. Si Mas Widi bilang, “Iya nih gue pengin supaya sekalian ada warna baru lah karena MALIQ belum pernah punya backing vocal cowok sebelumnya. Tapi, gue enggak tau nih loe mau atau enggak”.
Ya, gue pas saat ketemu Mas Widi pun gue masih belum tau kalau gue mau atau enggak karena gue belum pernah kan. Jadi gue kayak agak takut. Gue bilang sama Mas Widi, “Mas, gue sih tertarik banget ngambil. Cuma gue takut, gue enggak tau nih gue suka atau enggak karena gue belum pernah ngelakuin. Gue belum pernah jadi penyanyi yang bukan berdiri paling depan di panggung gitu”. Terus sudah, si Mas Widi akhirnya dia bilang, jadi si MALIQ bakal manggung Soundrenaline. Mereka ada Road to Soundrenaline. “Loe main saja nih, ikut kita di Road to sampai ke Soundrenaline. Kalau sudah beres Soundrenaline, loe ngerasa enggak nyaman sudahan aja enggak apa-apa”.
Sudah, akhirnya gue jalan. Jalan, manggung di Bandung. Panggung ketiga gue sudah happy banget. Gue kayak, “Gila ya ini gue pengin sih”, maksudnya kayak. MALIQ band favorit gue. Gue bisa nonton mereka di bawah. Sekarang gue manggung bareng sama mereka, bawain lagu-lagu yang gue suka. Kenapa gue harus mikir gitu. Kayak enggak ada penolakan sama sekali di badan gue ternyata, semua berasa natural saja.
Sudah, akhirnya panggung kedua kita, kita manggung ke satu kota lagi. Lupa. Gue bilang ke Mas Widi, “Mas, yuk gue mau jalan sama MALIQ lanjut. Sampai loe enggak mau gue lagi”. Habis gue manggung pertama sama MALIQ yang gue ngerasa nyaman. Gue nge-post kita manggung bawain “Himalaya”. Pokoknya gue nge-post lah manggung pertama gue sama MALIQ. Pokoknya either gue awalnya takut segala macam. Akhirnya ujung-ujungnya gue happy main sama band favorit gue.
Gue senang jadi bagian kecil dari band ini. Terus kita lagi jalan ke panggung yang kedua. Panggung Soundrenaline kedua. Tiba-tiba si Angga ngomong gini, “Eh Kam gue liat postingan loe”. “Kenapa Ngga?”. Oh ini sorry, gue tuh enggak pernah bisa jelasin, kenapa gue bilang Mas Widi, Mas Widi dan Angga, Angga. Enggak masuk logika padahal itu abangnya. Tapi karena gue kenal Angga waktu gue kecil dan gue manggilnya Angga. Jadi kayak Mas tuh, jadi kayak. Tiap gue ngomong Mas ke Angga gue pengin ketawa.
Jadi, gue bilang “Kenapa Ngga?”. Terus dia, “Iya, gue liat postingan loe dan loe di caption bilang kalau loe senang bisa jadi bagian kecil dari MALIQ dan gue enggak setuju. Menurut gue, loe tuh bagian dari MALIQ. Enggak kecil dan enggak gede. Pokoknya loe bagian dari MALIQ. Kenapa? Karena mungkin loe merasa loe bagian kecil karena loe merasa loe cuma backing vocal-nya MALIQ. Tapi loe tuh enggak bisa membayangkan betapa loe sebagai backing vocal MALIQ memberikan MALIQ value karena ya orang ngeliat, gila ya si Kamga tuh backing vocal MALIQ. Dan itu ngasih MALIQ value. Jadi loe bukan bagian kecil dari kita, loe bagian dari kita”.
Gue terharu, nangislah gue. Nangisnya enggak depan Angga ya. Pas gue masuk kamar, sedih. Habis itu gue baru bilang sama Mas Widi, “Mas, gue pokoknya selama loe mau gue jalan di MALIQ, gue jalan deh”, di panggung kedua gue.
Siapakah sosok penting dalam karier loe selama ini?
Yang pertama, nyokap karena nyokap nurutin gue pas gue kelas 5 SD minta mau les di Jakarta. Ngajarin gue naik bus pulang pergi karena kalau gue enggak ngelakuin itu gue enggak akan ketemu contoh, karena gue orangnya contoh banget. Jadi kayak, ketika gue liat orang yang nyanyi lebih bagus dari gue, gue pengin sebagus itu. Sementara di Bogor, waktu itu enggak ada contoh. Gue kayak nyanyi sendiri saja. Enggak tau sudah sampai mana gitu kan. Jadi ya, nyokap. Thank you banget.
Ada teman gue namanya, Dionaldy Iqbal. Dia keyboardist-nya RAN, sekarang. Jadi Dion ini gitarisnya band gue dulu kelas 6 SD. Bandnya namanya Fourte. Kita punya dua band, Fourte sama D’acoustic. Dion itu orang paling musically gifted yang gue kenal waktu gue kecil. Jadi, gue belajar banget musik ke dia gitu. Gue bikin lagu harus sama dia, karena gue enggak punya bayangan. Dia ngasih dengar gue sama musik-musik yang gue mungkin enggak punya akses sebelumnya. Dan dia bahkan sampai bantuin gue pas sama Tangga gitu.
Kita bikin “Salah” bareng, lagu pertama gue di industri tuh bareng sama dia. Dan walaupun sekarang akhirnya pisah, maksudnya kita punya karier masing-masing. Tapi gue ngerasa pertemuan gue sama dia, dari gue kecil sampai beres kuliah tuh shaping gue ke gue sekarang. Jadi, gue makasih banget sama dia.
Habis itu, Marcell. Marcell tuh produsernya Dekat dulu. Sebenarnya produser Dekat dua. Marcell sama Uga. Tapi memang Uga lebih teknis. Teknis gue banyak belajar dari Uga. Tapi Marcell tuh lebih ke, jadi gue tuh suka banget R&B tapi gue enggak punya temannya sebenarnya. Jadi kayak, band gue dulu tuh sukanya jazz karena R&B sama jazz agak mirip. Jadi gue kayak, gue bisa kok nyanyinya. Tapi yang gue dengerin pribadi tuh enggak ada yang dengar.
Sampai akhirnya, pokoknya gue ingat banget gue ketemu Marcell pertama kali. Dia bikinin beat buat Dekat lagu “Bila Aku”. Terus gue kayak, “Cell, ini sempurna sih. Maksudnya ini sesuai ada yang di kepala gue banget”. Terus habis itu, si Marcell “Oh iya berarti kita cocok”. Terus habis itu, Marcell suka banget Diplo. Dia kayak, “Iya gue suka banget Diplo”. Terus gue kayak, “Gue enggak tau Diplo sama sekali”. Terus Marcell kayak, “Masak sih loe enggak suka Diplo? Harusnya loe suka Diplo deh”.
Terus dia ngomong gini sama gue, “Loe suka Usher?”. Iya, gue suka Usher banget. “Loe tau ‘Climax’ enggak?”. “Climax” lagu favorit gue. “Itu Diplo”. Oh, itu Diplo. Terus habis itu kayak, “Loe suka SIA?”. Iya. “Yang mana?”. Gue suka banget “Elastic Heart”. “Itu Diplo”. Anjir berarti banyak banget. Kayak gue tau Diplo, tapi enggak tau karena gue enggak pernah ngecek produsernya siapa kan. Berarti kita cocok lah. Terus dia banyak banget ngajarin gue tentang produksi. Dia enggak ngajarin gue. Gue lebih nyontek sih. Jadi gue merhatiin dia lagi kerja. Akhirnya produksi. Makanya setelah 2018, kita pisah kan. Gue mulai produce Dekat sendiri, Marcell ngejar kerjaan lain. Tapi ya gue enggak akan bisa jadi produser kalau enggak merhatiin dia kerja. Dia berjasa banget, sadar atau enggak sadar ke gue.
Terus ada Mas Nabil Husein dia itu sempat jadi Engineer-nya Stars and Rabbit. Waktu itu pokoknya Dekat dapat manggung di Soundsation. Dekat tuh pengin banget manggung Soundsation. Tapi enggak dapat-dapat. Gara-gara ya memang kita enggak terkenal lah. Sampai akhirnya ada satu band enggak jadi, kita yang gantiin. Sudah. Happy banget, latihan segala macam. Tiba-tiba di hari H, salah satu alat yang kita pakai buat kita manggung mati. Salah satu bagian dari mixer kita mati dan tanpa alat itu enggak bisa manggung. Maksudnya, kayak gue emang sudah rely banget sama alat itu. Sudah. Wah, panik segala macam parah. “Wah gila ini akhirnya dapat kesempatan kok jadi malah kayak gini. Jadi gagal”. Terus, kita cek ternyata kita manggung sama Stars & Rabbit. Katanya Stars & Rabbit punya sistem yang mirip. Akhirnya ngeberaniin diri lah nelfon Mas Nabil waktu itu. Nelfon Mas Nabil, terus bilang sama Mas Nabil. Si Mas Nabil bilang, “OK ya sudah loe pakai alat gue saja. Alat gue lagi dipakai sama Riva. Loe hubungi Riva”.
Akhirnya gue hubungi Mas Riva, manajernya Stars & Rabbit. Dipinjemin. Ini band (Dekat) bukan band siapa-siapa, mereka (Stars & Rabbit) lagi gede-gedenya. Tiba-tiba mereka minjemin alat. Maksud gue kayak, gue belum tentu mau ngelakuin hal yang sama lho karena kan kayak takut tiba-tiba nanti setting-an berubah atau apa. Tapi mereka minjemin, akhirnya kita pakai. Aman banget manggung. Abis itu sudah lah, gue ucapin terima kasih segala macam. Gue pikir beres sampai situ. Tapi ternyata pertemanan sama Mas Nabil, jalan sampai sekarang. Sampai akhirnya gue, kayak alat-alat teknis set panggungnya Dekat sama Hondo tuh banyak banget gue dapetin dari Mas Nabil.
Bahkan, ada alat-alat yang specifically dibikinin sama Mas Nabil buat kita gitu. Gue enggak pernah kerja sama dengan Mas Nabil sampai sekarang secara profesional. Dia enggak pernah mixing-in Hondo, enggak pernah mixing-in Dekat. Enggak pernah kerja bareng. Tapi jasanya gede banget di gue. Kayak benar-benar ngebukain banyak hal banget. Bisa dibilang ya gue akhirnya bisa mengerti produksi sampai sekarang tuh gara-gara dia. Jadi dia jasanya cukup gila sih ke gue.
Mas Widi, ngajakin gue masuk MALIQ di masa gue lagi hancur-hancurnya banget. Bahasanya kayak gue lagi jatuh di selokan lah. Tiba-tiba diangkat nih sama satu orang, ayo sini ikut. Dan itu nyelamatin gue sampai sekarang. Tapi enggak itu doang. Mas Widi salah satu orang yang dengerin lagu Hondo pertama kali dan percaya sama lagu Hondo. Nyuruh kita masuk GAC. Kita ikut GAC, kita menang. Kita manggung di Jepang. Ini band baru manggung dua kali. Tiba-tiba manggung ketiga di Tokyo. Apaan sih nih. Bisa manggung saja sudah senang. Tiba-tiba manggungnya jauh. Terus di-budget-in buat kita bisa invest alat. Dapat titik manggung, kita dari Medan sampai Makassar sama Soundsation. Akhirnya dilirik sama Darlin’ Records, di-signed sama Darlin’. Semua gara-gara Mas Widi. Terlepas dia sadar atau enggak ya. Gila sih. Dia bantuin gue dan Chev banyak banget. Dan gue yakin gue enggak bisa bayar, cuma ya selama dia perlu apapun dari gue, gue dengan senang hati bawa badan buat dia.
Sama Damo, jadi ada satu orang namanya Daniel Adisumarta. Pokoknya si Damo ini orang yang, Damo tuh percaya banget sama gue dan Chev. Kayak, “Kalian bagus gitu”. Damo orang yang nyuruh Mas Widi dengerin lagu Hondo. Jadi Damo lagi ada di situ, gue enggak tau Damo di situ ngapain. Gue bahkan enggak tau. Kayak “Kenapa meeting sama Mas Widi, ada Damo ya?”. Pokoknya ada dia di situ, tiba-tiba gue ngasih dengar Hondo ke dia. “Eh, Mo loe mau dengar lagu kita enggak”. Gue bukan tipe orang yang berani dengerin lagu ke orang. Jadi Damo yang minta, “Eh Kam gue dengar dong lagu loe”. Pas sudah kasih dengar Damo. Tiba-tiba si Damo langsung gini, “Wid, coba loe dengar deh nih lagu si Kamga”. Tiba-tiba Mas Widi dengar, ya sudah the rest is history. Terus dia bawa Hondo ke mana-mana. Ngajakin gue ke banyak banget project, yang gue enggak yakin bisa nailed tapi dia percaya. Sampai akhirnya gue gabung sama Batavia Collective, kita bikin EP. Gabung sama R&S label, label Jerman. Enggak tau kita tahun depan bisa jalan ke mana saja. Gara-gara dia. Jadi, iya kayaknya mereka sih. Pasti ada yang kelewat. Cuma at least, gue ngerasa mereka.
Menurut loe piala penghargaan itu tolok ukur kesuksesan karier bermusik apa enggak?
Menurut gue enggak. Jadi Dekat menang AMI. Gue sudah ngerasain. Dari dulu gue selalu membayangkan, “Wah gila megang piala nanti ngomong apa ya, segala macam di podium”. Dekat menang AMI, lagu bareng sama Andien. Gue bangga banget sama lagu itu. Kayak setiap gue dengarin “Somewhere in Tajikistan”, gue yang kayak, “Ini memang lagu award sih”. Kayak ada gitunya. Salah satu pencapaian tertinggi jadi produser lah.
Cuma pas kita dapat si AMI tuh, kita gini, “Gila nih kita dapat AMI nih. OK kita lihat setelah dapat AMI, apa yang berubah di karier kita”. Dan seinget gue, habis gue dapat AMI, gue enggak manggung lagi. Jadi ternyata enggak bikin gue jadi terkenal, sukses atau apa. Itu hanya bentuk apresiasi.
Gue berterima kasih sama orang-orang yang punya pasar. Gitu lah kasarnya. Orang-orang yang punya pasar ini untuk memberikan apresiasinya terhadap kita, pemusik. Tapi, menurut gue ketika pemusik merasa kalau apresiasi yang diberikan dari orang-orang pemilik pasar kepada kita adalah pencapaian tertinggi, menurut gue salah, karena kita bikin lagu bukan buat mereka. Kita bikin lagu buat pendengar.
Audiens tuh posisinya lebih tinggi daripada pemilik pasar, karena pemilik pasar jualan ke audiens. Jadi menurut gue, loe dapat award dari awarding ceremony itu enggak lebih tinggi daripada orang nyamperin loe dan bilang your song changed my life karena itu gila banget sih nilainya. Itu enggak ada nilainya. Kalau itu kayak, harusnya ya, kalau ada orang nyamperin ke gue, terus dia jujur genuinely bilang, your songs changed my life. Itu baru ada pialanya. Your song changed my life. Itu baru.
Jadi menurut gue, gue menghargai acara penghargaan tapi gue yakin sebenarnya kita enggak perlu validasi kok. Kita tahu kok lagu kita sebagus apa. Kayak gue tau kalau misalnya gue ada di satu kategori sama satu penyanyi yang gue lebih suka lagunya daripada gue, gue bisa bilang, kayaknya harusnya dia yang menang.
Kayak kasus gue ingat banget waktu Grammy, Adele album 25 menang. Dia dapat award, orang-orang pada standing ovation. Terus dia bilang kayak, “gue bingung gue dapat award ini kenapa, karena harusnya Beyonce yang dapat award”. Adele ngomong gitu dan gue di rumah kayak, “Iya benar memang bagusan albumnya Beyonce daripada Adele”. Cuma Adele lebih terkenal saat itu ketimbang Lemonade. Jadi enggak penting sih (piala penghargaan) menurut gue.
Jadi, ada dua pertemuan yang gue ingat banget sampai sekarang. Pertemuan pertama, ada bapak-bapak bawa anaknya nonton kita manggung di Gandaria City. Kita bawain “Lahir Kembali”. Dia hafal sampai rap-nya Tata. Dan dia taruh anaknya di pundak. Pokoknya berdua, hafal semua. Gila, kita baru rilis dua bulan. Ada yang kayak gini. Keren juga. Habis itu dia kita ajak ke backstage. “Wah gila thank you ya. Gue enggak nyangka lho”. Maksudnya kan kita punya target demografis ya pas kita bikin lagu. Bukan dia target demografisnya. Gue enggak nyangka nih. Terus dia bilang, “Makasih ya, loe udah bikin ‘Lahir Kembali’. Gara-gara ‘Lahir Kembali’, gue berani bilang fuck you ke bos gue dan gue keluar buat nentuin karier gue sendiri. Gue jadi supir Gojek dan gue bangga banget ketimbang gue kerja di kantor.” Terus gue kayak, “Loe keluar dari kerjaan loe gara-gara lagu gue?”. Gue enggak kebayang. Apaan nih.
Terus yang kedua, ada satu orang dari Jogja. Dia datang naik kereta ke Bandung. Kita lagi ada bikin tur, salah satu kotanya Bandung. Terus dia bilang, “Gue tuh sebenarnya enggak punya uang. Ini uang terakhir gue yang gue pakai buat naik kereta ke sini. Tapi gue harus bilang ke loe langsung, gue makasih karena loe udah nulis ‘Penjahat’”. Gue kayak thank you tapi kenapa? Terus dia bilang, kalau dia di kantor, dia dituduh menggelapkan uang. Padahal dia tau banget satu kantor dia itu complicit terhadap satu kejadian ini dan dia enggak mau ikutan. Jadi karena dia enggak mau ikutan, jadi dia yang dijatuhin.
Dia pokoknya marah banget saat itu. Akhirnya dia memutuskan buat resign. Tapi di hari dia resign, dia tetap kerja dulu. Dia resign-nya pas dia mau pulang. Tapi sepanjang kerja, dia muter lagu “Penjahat” kenceng banget. Dan orang-orang kayak, “Loe ngapain sih muter lagu ini?”. “Enggak, gue cuma pengin loe tau, lagu ini buat loe”. “Makasih loe nulis lagu ini”. Terus gue kayak, “Anjing gagah juga ya ini band. Ini band perasaan kagak terkenal”. Tapi ternyata efeknya ke orang-orang efeknya segini gitu dan buat gue ya itu enggak bisa dikalahkan sama awarding apapun sih. Not even Grammy sih menurut gue.
Apa keresahan loe terhadap industri musik Indonesia saat ini?
Gue cuma berharap gini. Buat gue musisi sebagai produsen dan pendengar sebagai konsumen sangat tidak memiliki masalah sama sekali. Gue enggak setuju kalau musik Indonesia dibilang kayak, “Iya musik Indonesia gini-gini aja”. Kayak enggak, musik Indonesia lagi gila banget nih sekarang. Kayak loe mau jenis musik apapun, ada pendengar. Cuma, gue cuma mengharapkan semoga hak kekayaan intelektual musisi sebagai pemilik lagu itu bisa dihargai lebih gitu karena kayak, gue tuh kadang suka ngerasa sedih gitu, musisi tuh kayak dianggap freelancer sama negara.
Bikin KPR (Kredit Pemilikan Rumah) saja susah gara-gara enggak ada kasarnya, kayak enggak ada slip gaji atau misalkan kayak enggak ada jaminan. Sementara kayak kita punya dua puluh lagu gitu. Dua puluh lagu ini enggak bisa jadi jaminan apa? Dua puluh lagu ini yang bikin orang nyanyi. Kayak kasarnya, musisi tuh bisa ngumpulin ratusan orang untuk nonton mereka di satu lapangan cuma karena lagu ini. Masak ini enggak bisa dijadiin jaminan, masak gue kalah sama jaminan orang punya gaji tetap dua tahun gitu lho. Karena gue ngerasa lagu sebagai kekayaan intelektual, di Indonesia masih belum ada harganya. Dan ini sudah ketinggalan banget sama di luar gitu.
Kayak loe ingat Gotye kan? “Somebody That I Used To Know”. Gotye kan akhirnya beneran jadi somebody that we used to know kan gitu maksudnya sudah hilang, cuma punya satu lagu. Tapi loe coba cek Instagram-nya deh. Gotye tuh happy banget lho, Gotye tuh kayak di alam. Nanti rekaman, alat apa segala macam. Enggak miskin karena satu lagu. Dan menurut gue kayak ya itu sih goal-nya gitu. Gue sudah punya “Somebody That I Used To Know”, gue mau buktiin apa lagi.
Dulu gue takut banget. Dulu tuh gue paling enggak mau cita-cita jadi one hit wonder, gue enggak mau. Gue mau jadi artis yang long last. Sekarang gue kayak, kalau misalnya kekayaan intelektual lagu itu sudah benar. Gue mau jadi one hit wonder karena gue cuma perlu satu lagu untuk bisa jadi Gotye. Kita semua musisi Indonesia punya hak buat jadi Gotye. Jadi tolong lah berikan hak kita kepada kita. Benerin nih publishing lagu, benerin nih pembagian royalti, supaya kita bisa tenang walaupun kita tidak bisa manggung lagi. Kita tetap punya hal yang kita bisa menjadi jaminan kita di masa tua nanti.
Ada momen atau kejadian di masa pandemi yang menyadarkan loe akan sesuatu tentang hidup?
Momen masa pandemi yang menyadarkan gue sesuatu adalah, gue pertama takut banget karena itu (pandemi) dia. Gue berjalan sama MALIQ dari bulan Juli sampai bulan Februari. Gue ngerasain punya tabungan. Gue enggak pernah punya tabungan seumur hidup gue. Tiba-tiba gue punya tabungan gara-gara MALIQ. Gue kayak, “Wah gila ya. Kita bisa ini, bisa itu”. Gue sama Chev sudah kayak, “coba kita KPR rumah”. Apalah segala macam. Tiba-tiba hancur kan. Jebret, hilang tuh Maret. Semua panggung hilang. Gue ingat waktu itu MALIQ mau tur tuh waktu itu. Tiba-tiba semua panggung hilang. Dari bulan Maret sampai bulan Juli enggak ada kerjaan sama sekali. Gue yang kayak sama Chev cuma ngitungin, “OK dari uang kita yang tersisa, kita bisa hidup sampai bulan apa ya?”. Tiba-tiba, kerjaan gue sebagai vocal director yang gue sudah mulai dari tahun 2018, tiba-tiba malah makin menjadi pas tahun 2020.
Akhirnya, itu jadi pekerjaan utama gue gitu karena banyak banget orang yang rekaman kan karena mereka enggak bisa manggung kan. Jadi fokus pada bikin lagu semua. Tiba-tiba gue dapat kerjaan apa. Kerjaan yang enggak tau. Pekerjaan produksi buat siapa, segala macam. Uang datang dari mana saja ternyata. Dan di situ gue yang kayak, “Gila ya, selamat ya gue”.
Dan gue pernah bahas ini, jadi gue waktu itu lagi di Makassar kalau enggak salah ya sama si Jordy (Jordy Waelauruw). Kita satu kamar kan kalau MALIQ. Kita lagi nunggu, lagi di kamar gitu. Terus kita lagi ngobrol lah gitu tentang apa segala macam. Terus Jordy ngomong, “Gue tuh sebel lho sama teman-teman musisi gue”. Gitu. Terus gue kayak, “Kenapa Jor?”, “Iya, soalnya loe liat deh di Instagram. Sekarang orang-orang lagi pada ngeluh. Ayo pemerintah mana nih, kok enggak sayang sama musisi nih. Pekerjaan kita hilang segala macam. Mana pedulinya? Gue kayak bingung, karena gue sebel mereka karena gini lho. Iya gue ngerti kita semua susah, tapi loe jangan menuhankan musiknya karena logikanya gini. Kita semua nih main musik di awal, bukan buat cari uang. Enggak ada satu pun loe belajar main gitar, belajar main bass, atau main drum gara-gara loe pengin punya uang tuh enggak ada karena kita suka musik, sudah. Kebetulan kita dapat uang dari musik. Jadi ketika tiba-tiba musiknya ditarik jadi enggak bisa ngasilin uang. Ya, jangan marah karena kan juga dari awal kita juga enggak pengin cari uang lewat musik dan uang akan datang dari mana aja karena rezeki datangnya bukan dari musik, rezeki datangnya dari Tuhan. Dari sebelum loe bisa main musik dan dapat uang dari musik. Tuhan udah ngasih loe rezeki, makanya loe bisa beli alat musik. Makanya loe bisa segala macam gitu. Jadi tenang saja. Tuhan tuh sayang sama loe”.
Jordy memang anak Tuhan banget. “Tuhan tuh sayang sama loe”. Gue di situ gue yang kayak, “Anjing Jor, kena nih gue nih. Iya benar juga ya. Uang ternyata datang dari mana saja ya segala macam”. Akhirnya yang gue tangkap adalah, sebenarnya rezeki datang dari mana pun. Tapi kadang mungkin pintu rezekinya bukan pintu yang kita mau. Jadi, ketika rezeki itu datang, kita nolak karena kita kayak “Wah ini bukan pintu gue, pintu gue ini”. Misalnya kayak loe pemusik, tiba-tiba loe dapat rezeki dari apa deh, dari hal lain. Tiba-tiba kayak loe ditawarin buat bikin iklan, misalkan. Dan loe kayak, “Oh, gue anak band gue enggak bikin iklan”. Akhirnya loe tutup pintu rezekinya. Padahal itu rezeki buat loe.
Padahal goal-nya kan bukan dapat uang dari musik. Goal-nya main musik. Tapi bisa punya uang. Sebenarnya jadi uangnya dari mana saja ya enggak ada masalah. Di situ akhirnya, mindset gue berubah sih. Mindset gue dulunya gue sempat berpikir kalau, gue pengin punya karya yang hidupin gue. Dulu gue mindset-nya gitu banget. Sekarang gue berubah. Sekarang gue kayak, gue pengin kerja supaya gue bisa hidupin karya gue, karena karya gue yang harus dikasih makan karena karya gue belum ngasih gue makan dan enggak apa-apa. Yang gue pengin kan berkarya doang. Kalau suatu hari ini dia bisa ngasih gue makan, ya gue senang banget. Tapi kalau enggak pun, enggak apa-apa. Selama gue tetap bisa punya uang, gue tetap bisa bikin dia terus.
Hubungan percintaan loe dan Chev itu memengaruhi pekerjaan loe enggak sih atau loe bisa profesional untuk hal itu?
Memengaruhi positif dan negatif. Memengaruhi negatifnya jelas lah. Permasalahan di rumah kebawa di kerjaan. Yang itu sudah jauh banget berkurang dari pas awal-awal pacaran dulu. Kalau awal-awal kayak ada saja yang berantem. Kalau sekarang kan, apa yang mau diberantemin sih? Enggak ada juga gitu. Jadi kayak santai-santai saja. Negatifnya itu doang menurut gue karena kalau positifnya banyak sih.
Positifnya gini lho, semua cerita yang loe dapatin tuh cerita di rumah. Dan ketika loe mau bikin lagu, yang selalu gue inginkan. Ini bukan cara bikin lagu yang benar, tapi cara yang gue inginkan adalah, gue selalu mau bikin lagu tentang gue. Tentang kehidupan gue, karena itu yang gue ngerti. Gue enggak mau bikin lagu tentang kehidupan orang karena gue enggak ngerti dan rekan band mana yang lebih baik untuk menyampaikan kehidupan gue di rumah selain orangnya ada di rumah?
Jadi kayak gue sama Chev, ya kerja sama enggak kerja ya sama. Ketika enggak kerja, kita ngomongin kerjaan. Ketika kerja, kita ngomongin enggak kerja. Jadi kayak ceritanya enggak usah di-filter karena loe tau percis gue kayak apa. Gue tau percis loe kayak apa. Yuk kita bisa nulis apapun di sini.
Bukan yang kayak, bandnya tuh bukan pelarian. Bukan yang kayak, “Aduh gue enggak nyaman di rumah gue mau nge-band ah supaya gue bisa”. Bukan gitu tapi band ini rumah. Kebetulan kita pun pas nge-band bertiga pun sama Tata, yang kita sudah kenal belasan tahun gitu, yang kita enggak ada ketakutan untuk ngebuka cerita kita yang buruk-buruk ke Tata dan Tata enggak punya ketakutan untuk ngebuka cerita buruk dia ke kita.
Jadi kayak enggak ada yang harus dipura-purain di sini dan untuk nulis lirik menurut gue nyaman banget sih. Gue enggak perlu ngerasa takut, gue enggak perlu ngerasa teman gue nge-judge gue kalau gue ngomong gini. Gue enggak perlu ngerasa apa gitu secara berkarya malah jadi lebih bebas. Tapi mungkin orang beda-beda ya.
Loe sudah menikah dengan Chev?
Belum. Kita nyebutnya pasangan.
Kenapa belum?
Jadi, kita tuh punya pernikahan yang ideal buat kita. Dia Kristen, gue Islam kan. Kita enggak mau nikah agama. Kita maunya nikah sipil. Jadi sipil saja sudah. Pokoknya, kita pergi ke KUA, “I pronounce you husband and wife”. Permasalahannya, di Indonesia enggak bisa. Kalau di kita kan, sipil kita di KUA. Jadi kayak tetap harus ada, ya kasarnya gini. Loe kalau datang sipil, loe bisa. Tapi loe enggak bisa kalau beda agama, gitu. Jadi akhirnya, goal kita adalah either Singapore, Jepang, London, Jerman.
Singapore harusnya paling murah. Tapi permasalahan Singapore, Singapore itu kalau loe mau nikah di sana, loe harus jadi temporary citizen, loe harus tinggal di sana 14 hari. Which is mahal berarti kan. Gue hampir Jepang tuh kemarin. Yang kita manggung di Jepang, gue sudah bilang sama Mas Widi. “Mas, loe jadi wali ya”.
Maksudnya, kayak sekalian saja nih. Mumpung dibayarin. Tapi, ternyata karena waktunya mepet. Kita ada urusan surat yang harus diurus satu bulan. Sementara kita harus pergi kayak dalam 8-9 hari. Inggris, hampir banget. Harusnya Desember ini gue nikah, ke Inggris karena teman gue kerja di sana, balik Januari 2022 jadi pas banget.
Terus gue sama Chev sudah vaksin, dan kita di sana bisa langsung masuk saja, enggak harus karantina. Tapi kita lupa, ke Inggrisnya murah, pulangnya kan karantina. Nah, di Indonesianya mahal. Sudah, kita sekarang harapannya tahun depan. Kita kan rilis EP sama Batavia Collective kan, sama R&S. Kemungkinan kita akan ke Jerman. Kalau ke Jerman, gue tinggal bayarin Chev tiket aja sudah. Jadi sekalian kita manggung, kita cari tempat nikah sipil di situ.
Terakhir, menutup artikel ini. Apa hal terbaik yang loe rasakan selama ini saat bersama Chev?
Gue bisa jadi diri sendiri. Dia memberikan gue keberanian untuk jadi diri sendiri, baik itu positif maupun negatif, dan bikin gue belajar buat menerima kekurangan-kekurangan gue. Kalau enggak ada dia, mungkin gue akan terus jadi orang yang denial dan enggak maju-maju.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …
I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan
Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11). I’m Kidding terbentuk …