Sajama Cut dan Warna Musik Jepang di Kancah Independen

Apr 6, 2022

Rasanya tidak banyak genre musik populer dari negara-negara Asia yang akhirnya diadopsi band-band tanah air. Jika ada, J-Rock adalah salah satunya. Gaya musik ala negeri sakura tersebut sudah lama akrab di telinga penikmat musik Indonesia sebagai lagu latar bagi film-film Jepang. Di kancah musik independen sendiri ada satu band yang kerap diidentifikasikan sebagai pengusung japanese rock. Mereka adalah Sajama Cut, grup musik yang mencuri perhatian lewat album keduanya, The Osaka Journals (2005).

Ya, album tersebut juga lah yang akhirnya membuat publik semakin mantap dalam melihat Sajama Cut sebagai unit musik beraliran J-Rock.

Selain judul albumnya, lagu-lagu milik Sajama Cut juga memuat narasi dan analogi yang terdengar sangat Jepang. Seperti lagu “Fallen Japanese” misalnya. Atau lagu “It Was Kyoto, Where I Died” yang bertengger di album yang sama.

Lalu bagaimana dengan aransemen musiknya? Sajama Cut sendiri memang menawarkan musik berdistorsi dengan harmonisasi vokal khas band-band rock asal Jepang yang cukup populer. Cocoklogi makin menjadi-jadi.

Di sebuah sesi wawancara, Marcel Thee sang vokalis bercerita bahwa ia memang sempat membawa pulang beberapa album band Jepang saat kunjungannya ke sana di tahun 2000. “Gue sempet mampir ke satu toko buku dan musik second di sana, bawain oleh-oleh beberapa album lah buat temen-temen Sajama Cut,” ungkapnya. Namun ia menampik bahwa Sajama Cut merupakan band J-Rock / J-Pop atau bahkan terinspirasi dari gaya musik yang dianggapnya sebagai mainstream genre tersebut.

Marcel Thee sendiri mengerti mengapa citra Sajama Cut begitu lekat dengan Jepang. “Gue paham banget sih. Judul album kita aja udah Osaka, ada Kyoto juga kan judul lagunya,” ungkap musisi yang juga aktif sebagai penulis itu.

Selain itu, gaya berpakaian serta dandanan Sajama Cut di atas panggung juga dianggapnya sebagai faktor kuat mengapa mereka sering dicap terinpirasi budaya Jepang. “Gaya kita kan gitu, ya. Rambutnya dicat dan berantakan. Makin kayak Jepang deh,” ungkapnya.

Jepang memang diakuki Marcel Thee sebagai negara dengan budaya yang ia kagumi. “Gue suka Jepang bukan cuma culture-nya, tapi juga masyarakatnya. Jepang tuh rapih, teratur, dan itu yang bikin gue kagum,” katanya. Ia juga menjelaskan bahwa akhirnya hal tersebutlah yang sebenarnya menjadi elemen beraroma Jepang dalam album The Osaka Journals. “Jadi yang Jepang di lagu-lagu kita tuh sebenarnya aspek kultural, bukan musiknya.”

Hari ini, 17 tahun setelah album The Osaka Journals, Sajama Cut masih harus menerima kenyataan bahwa banyak yang menilai mereka sebagai band beraliran J-Rock. Meski jadi legacy yang sulit diamini, namun Sajama Cut telah memberikan warna berbeda pada generasi emas musik independen Indonesia. Suka tidak suka, mungkin saja akan lahir beberapa band bernuansa Jepang yang menyebut Sajama Cut sebagai inspirasinya.

Sama seperti Sajama Cut, mungkin lo tidak akan pernah tahu bagaimana karya lo akan diapresiasi. Tapi yang penting, pastiin lo yang mulai duluan. Caranya? Coba aja cek di sini!


 

Penulis
Advertorial

Eksplor konten lain Pophariini

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …