“Anomali yang Familiar: Perhelatan Musik Era Peralihan Pandemi” oleh Noni

Jun 9, 2022

Sabtu lalu (21/5), aku diundang sebagai bintang tamu untuk tampil di acara musik yang diselenggarakan oleh salah satu fakultas dari sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Gig itu adalah pertama kalinya aku akan tampil diiringi oleh band. Sebagai musisi yang sebelumnya terbiasa tampil hanya dengan seorang gitaris-sequencer, tentu hari itu terasa lebih gaduh dan menggelisahkan.

Selagi menunggu, panitia memperbolehkan kami untuk menonton .Feast yang sedang tampil tepat sebelum giliranku saat itu. “Gue enggak dengerin .Feast sih, tapi senang aja karena akhirnya ngerasain lagi konser offline” ucap temanku yang membantu aku sebagai kru dan kawan-kawan personil band di acara hari itu.  Kalimat itu menarik perhatianku sampai membekas di benakku untuk beberapa hari ke depan.

Di tahun 2022 ini, bulan Mei bisa dikatakan bulan yang cukup sibuk bagi para musisi.  Satu per satu pengumuman perhelatan festival dan acara musik mulai bermunculan, baik yang diselenggarakan di bulan itu maupun di bulan-bulan yang akan datang.  Untuk sebagian orang, setelah dua tahun lamanya menunggu, hari itu bisa jadi kali pertama bagi mereka untuk hadir ke sebuah perhelatan musik secara langsung.

Mei 2022 bulan yang cukup sibuk bagi para musisi.  Satu per satu pengumuman perhelatan festival dan acara musik mulai bermunculan, baik di bulan itu maupun di bulan-bulan yang akan datang

Saat virus Covid sedang ganas-ganasnya menyebar, beberapa kali aku diundang untuk tampil secara daring, beberapa kali pula dihadapi dengan pertanyaan mengenai pendapatku tentang adanya acara musik daring tersebut. Kali ini, pertanyaan yang disuguhkan berbeda dengan sebelumnya; bagaimana rasanya, setelah sekian lama, berdiri lagi di atas panggung langsung di depan penonton?

Dari perspektif penampil, aku tidak bisa berkomentar banyak karena menurutku rutinitas musisi di panggung itu sama saja.  Semua personil memegang peran yang sama dengan instrumennya masing-masing dan selalu ingin menampilkan yang terbaik.  Aku yakin, sebelum absen selama dua tahun, setiap musisi pasti sudah berpengalaman tampil di depan penonton secara langsung.

Bagaimana rasanya, setelah sekian lama, berdiri lagi di atas panggung langsung di depan penonton?

Perbedaan yang signifikan itu baru bisa dirasakan ketika kita menempatkan diri kita sebagai penonton. Menurutku, sebuah pertunjukan musik itu akan menjadi tidak berarti bila tidak ada interaksi dan atau pertukaran energi antara penampil dengan penonton.  Ketika pertunjukan sedang berlangsung, keduanya (penampil dan penonton) itu saling mengontrol dan bertanggung jawab atas energi satu sama lain.  Energi penampil di atas panggung sangat terpengaruh oleh penonton dan berpengaruh pula terhadap energi penonton, sebaliknya pun begitu. Hal ini pula yang kemudian paling mampu memantik elemen kejutan dalam suatu pertunjukan. Pertukaran energi antara penampil dan penonton adalah esensi, hadir hanya ketika terjadi secara langsung dan justru menjadi salah satu hal yang paling dirindukan selama ini.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by We Are Vurplay (@vurplay)

Salah satu gig yang sangat berkesan dan tak terlupakan sensasinya bagiku adalah sesi live Kenny Gabriel & The Playground yang diadakan di akhir bulan Desember tahun 2021, di sebuah restoran di daerah Senopati, Jakarta Selatan. Gig ini adalah gig pertama yang aku datangi setelah setahun lebih menghabiskan sebagian besar waktuku isolasi mandiri dan menetap di rumah, juga kali pertama aku datang sebagai salah satu penonton Kenny dan para musisi pemain The Playground, setelah sebelumnya beberapa kali turut terlibat bersama mereka sebagai penampil.

Sebuah pertunjukan musik akan menjadi tidak berarti bila tidak ada interaksi dan atau pertukaran energi antara penampil dengan penonton. Hal ini pula yang kemudian paling mampu memantik elemen kejutan dalam suatu pertunjukan.

Format panggung yang dibawakan seperti busking, para musisi bermain di tengah venue, sejajar dengan penonton yang berdiri mengelilingi di sekitar mereka.  Nyaris tidak ada sekat yang memisahkan penampil dengan penonton. Urutan lagu yang dibawakan tidak jauh berbeda seperti biasanya, begitu pula dengan penampil yang datang meramaikan acara tersebut.  Aku banyak bertemu wajah-wajah familiar malam itu.

Yang paling berkesan bagiku adalah improvisasi di setiap lagu dan keterlibatan penonton dalam pertunjukan tersebut.  Sesekali ketika membawakan sebuah lagu, durasinya sengaja diperpanjang untuk mengajak penonton dan atau siapa pun yang ingin untuk melakukan sesi freestyle.  Sungguh meriah, sampai-sampai aku selalu menolak setiap temanku mengajak untuk membeli minum, takut terlewatkan kejutan-kejutan yang lain.

Pertukaran energi antara musisi penampil dan penonton adalah esensi, hadir hanya ketika terjadi secara langsung dan justru menjadi salah satu hal yang paling dirindukan selama pandemi ini

Ketika acara itu selesai, muncul rasa lega dan keinginan untuk berteriak “HAH AKHIRNYA!!” yang tentu tidak langsung aku turuti untuk diluapkan.  Setelah berbincang dengan beberapa kolega dan teman-teman musisi, banyak yang merasakan hal yang sama pula.  Malam itu aku memang sengaja datang sebagai penonton, tapi aku tidak mengira akan berbagi perasaan spesifik yang sama dengan para penampil.

Seperti yang sudah ku katakan tadi, bahwa rutinitas musisi di atas panggung itu pada dasarnya sama saja.  Pada akhirnya, para musisi hanya melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya.  Tetapi ketika tahu bahwa si penghibur sama terhiburnya dengan yang dihibur, itu justru menjadi nilai plus dan menjadikan pertunjukan musik tersebut tidak terlupakan.

Di tengah ramainya kembalinya perhelatan musik, ramai pula diskursus bermunculan. Lokasi pertunjukan, keluhan soal calo dan pengecer tiket, pertukaran opini atau perdebatan tentang siapa pantas dan tidak mendapatkan panggung di acara-acara musik tertentu

Lalu, di tengah ramainya seruan akan kembalinya acara pertunjukan musik, ramai pula diskursus bermunculan yang berkaitan erat dengan itu.  Mulai dari amarah terhadap lokasi pertunjukan, keluhan soal calo dan pengecer tiket, pertukaran opini dan atau perdebatan tentang siapa yang pantas dan tidak pantas mendapatkan panggung di acara-acara musik tertentu.

Soal poin terakhir, aku setuju ketika sebuah acara musik tersegmentasi dan membawa satu genre spesifik dalam namanya, sudah seharusnya acara tersebut mampu menyajikan penampil-penampil terbaik yang memang membawakan genre tersebut. Namun, ujung-ujungnya perdebatan soal itu menjadi tidak begitu penting di saat-saat seperti ini.

Sebagai penikmat, mungkin perlu direfleksikan kembali; apa yang sebenarnya kita cari ketika datang ke sebuah pertunjukan atau festival musik?

Perlu diingat lagi bahwa industri hiburan sempat kehilangan kemeriahan dari perhelatan musik selama dua tahun lebih. Dari pekerja seni hingga penikmat, semuanya sempat merasa rugi dalam jangka waktu selama itu. Lalu, sebagai penikmat, mungkin perlu direfleksikan kembali; apa yang sebenarnya kita cari ketika datang ke sebuah pertunjukan atau festival musik?

Aku teringat lagi perkataan temanku yang ku tulis di awal paragraf dari tulisan ini.  Pada akhirnya, acara musik bukan hanya semata-mata acara yang menampilkan musik saja.  Penggemar musik tidak hanya datang ke acara musik untuk menonton sebuah pertunjukan, melainkan juga untuk merasakan atmosfer dan euforia yang mereka bagikan dengan si penampil dan sesama penggemar yang hadir di acara tersebut.

Saat ini, kita sedang berada di tahap peralihan.  Aku melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk merayakan ekosistem musik yang perlahan kembali hidup seperti semula.  Walaupun progresnya tidak secepat itu, aku takjub melihat antusiasme penggemar musik yang sempat padam namun tidak pernah sekali pun mati.  Setelah dua tahun terpaksa harus dianomalikan, kini pertunjukan musik mulai menjadi familiar lagi dan kita semua sangat amat berhak untuk bersulang atas itu.

 


*) Amaranggani atau yang akrab disapa Noni adalah solois R&B dari Jakarta yang siap untuk mengambil tempat di industri musik lokal saat ini. Sempat menjadi tiga terbaik dalam ajang Irama Kotak Suara-nya Pophariini, ia memiliki EP perdananya, BOYISH yang rilis di bulan November tahun 2020 lalu.

Eksplor konten lain Pophariini

Armand Maulana – Sarwa Renjana (EP)

Dengan EP berdosis pop dan unsur catchy sekuat ini, saya jadi berpikir, mungkinkah Armand Maulana berpotensi menjadi the next king of pop Indonesia?

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …