Laporan Surabaya di 2022: Kian Berkembang, Tetap Harus Berbenah
Satu setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ada proses besar yang bisa terjadi dalam kurun waktu tersebut. Mari kita contohkan saja seorang anak kecil yang baru saja dilahirkan. Ketika memasuki waktu satu tahun dan masuk dalam fase balita, anak yang sebelumnya tidak bisa melakukan apa-apa menjadi dapat merangkak bahkan berbicara.
Proses perubahan drastis macam ini turut dialami oleh skena musik Surabaya. Dalam kurun waktu satu setengah tahun pasca penulisan artikel Bising Kota, ada sejumlah perubahan besar yang terjadi di sini. Perubahan-perubahan ini ada kalanya sepenuhnya disadari oleh pelaku skena musik, tetapi tak jarang pula luput dari mata mereka.
Sebagai contoh, saat ini hampir 90 persen gigs yang terjadi di kota Jawa Timur ini telah bertiket. Harga tiketnya pun terbilang cukup memenuhi standar kebutuhan produksi acara, yaitu di angka 35 ribu hingga 50 ribu. Bahkan ada yang berada di atasnya.
Dalam kurun waktu satu setengah tahun pasca penulisan artikel Bising Kota, ada sejumlah perubahan besar yang terjadi di Surabaya.
Hebatnya, dengan angka tersebut tiket yang terjual bisa mendekati jumlah target yang ditentukan dan bahkan bisa melampauinya. Ini hampir tidak mungkin terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Di tahun sebelumnya, jika bergerak menjadi penggagas gigs di kota ini, besar kemungkinan kamu akan sering mengeluhkan serta mencaci maki jumlah pembeli tiket, seperti yang tertulis pada artikel Bising Kota.
Urusan tiket hanyalah satu dari sekian masalah yang akhirnya teratasi di 2022. Masalah lain yang turut mendapatkan solusi adalah permasalahan produksi lagu hingga video. Dengan bermunculan studio-studio rekaman baru dan berisikan anak-anak yang paham akan produksi suara serta adanya alat yang proper, kualitas rekaman audio anak-anak Surabaya menjadi lebih baik.
Urusan tiket hanyalah satu dari sekian masalah yang akhirnya teratasi di 2022. Masalah lain yang turut mendapatkan solusi adalah permasalahan produksi lagu hingga video.
Masih terkesan raw, tapi setidaknya suara lagu yang dihasilkan sudah detail dan jernih. Tengok saja lagu-lagu yang digarap Thee Marloes dan Enola serta kawan-kawan mereka yang menggarap pada studio yang sama. Aku tidak akan menyebutkan nama studionya. Silakan menggali sendiri siapa yang ada di baliknya.
Video musik? Hmm, hasil jelasnya bisa tampak dari video musiknya Perunggu – “Pastikan Riuh Akhiri Malammu”. Iya, mereka bukan band Surabaya, tetapi produksi video tersebut sepenuhnya digarap di kota ini dan oleh anak-anak sini. Kualitasnya bisa kamu tentukan sendiri.
Ah, hampir lupa disebutkan. Pada akhirnya di Surabaya ada label yang menaungi produksi vinyl record atau piringan hitam, yaitu Portside. Sebagai penggemar vinyl, jelas ini sesuatu spesial dan yang pasti bakal ada lebih banyak lagi band lain yang dicetak vinyl-nya di sini. Silampukau menjadi proyek pertama Portside dan sepertinya akan dicetak ulang. Entah selanjutnya siapa. Enola, mungkin?
Pada akhirnya di Surabaya ada label yang menaungi produksi vinyl record atau piringan hitam, yaitu Portside.
Tidak salah jika ada yang berkomentar membuat karya musik di Surabaya saat ini sangat enak dan lebih mudah ketimbang jaman dulu. Studio rekaman berkualitas, sudah jelas dan punya beberapa opsi. Mau mencetak merchandise dalam bentuk apa pun, bisa dilakukan.
Sayang, dunia itu imbang dan tidak pernah benar-benar sempurna. Walaupun ada pencapaian, skena musik Surabaya masih tetap punya banyak PR yang harus dibenahi. Banyak masalah yang tercipta dan mungkin sudah kalian dengar dalam bentuk gosip underground yang terpampang di media sosial dan juga drama-drama di baliknya.
Jadi, seperti Bising Kota yang lalu, mari kita membuat daftar hal-hal kontroversial yang harus dibenahi di kota Pahlawan ini:
1. Peningkatan kemampuan manajemen. Manajemen ini dimaksudkan untuk segala ranah. Bisa manajemen keuangan (cara mengatur modal), (ketepatan) waktu, ataupun personal (keprofesionalan dan tata cara komunikasi), dan menurut pandangan subjektif penulis, mayoritas pelaku di sini masih punya manajemen yang amburadul.
2. Pola pikir kritis yang belum terbentuk dengan baik. Bukan tidak ada, tapi pola pikir kritis yang selalu mempertanyakan hal dan isu ini perlu ditingkatkan. Ini cukup krusial karena erat kaitannya dengan pembentukan ruang yang aman dan nyaman.
3. Memperbanyak dokumen dan narasi. Sempat meredup, pembuatan tulisan dan fanzine di skena Surabaya perlu diupayakan lebih banyak. Akan jauh lebih menarik juga jika terbentuk dengan berbagai sudut pandangan.
Walaupun ada pencapaian, skena musik Surabaya masih tetap punya banyak PR yang harus dibenahi.
Permasalahan-permasalahan ini bukanlah sesuatu yang WAJIB dibenahi. Kamu bisa menghiraukan semua ini dan itu tidak bakal banyak mengubah kehidupanmu. Suatu hari kamu tetap harus mencari uang, kamu tetap harus bertahan hidup. Akan tetapi, dengan menyelesaikan masalah tersebut kamu setidaknya bisa mendapatkan makna kehidupan yang berlebih. Makna kehidupan apa? Ya nggak tahu. Kan kehidupanmu…
Pada akhirnya daftar isu tersebut bukan hadir untuk diselesaikan, tetapi untuk menyadarkan bahwa akan selalu ada masalah dalam suatu skena, di mana pun dan kapan pun. Maka dari itu alangkah baiknya juga bila masalah-masalah skena musik ini diselesaikan terlebih dahulu dengan cara berpikir individual, bukan berkelompok. Setidaknya dengan memulai dari memperbaiki AKU atau KAMU, nantinya itu akan berimbas positif kepada KITA atau KAMI mengingat elemen terkecil dalam pembentukan ekosistem datang dari tiap individu.
Penulis: Abraham.
Menghabiskan 30 tahun hidupnya untuk tinggal di Surabaya dan masih ingin tahu skena kota lain. Selera musik yang aneh dan pemikiran yang tidak populer menjebaknya untuk sering overthinking.
IG: @bapaabraham
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian
Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW. …
Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024
Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11). Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …
Memang banyak yang berkembang dari segi teknis produksi bahkan (sedikit) di bagian manajemen. Namun ada satu hal yang menjadi sebuah core dari musik itu sendiri yang malah terkikis. Adalah tanggung jawab personal sebagai musisi itu sendiri. Tanggung jawab yang saya maksud adalah teknis secara personal dari pelakunya. Entah itu dalam penulisan lagu maupun kemampuan dalam disiplin yang diemban musisi itu (gitaris, vokalis, drumer, dsb). Terutama tersorot di nama-nama baru. Di nama-nama pelaku yang sudah berpengalaman (atau nama projek baru namun pelakunya orang lama) hal ini tidak terlalu mencolok. Tapi pada nama-nama baru yang benar-benar diisi oleh pelaku-pelaku yang nama-namanya masih fresh, ini membuat harga tiket yang disajikan jadi kurang berarti. Sebagai penonton, ekspektasi subjektif seperti menonton sebuah pertunjukan musik yang menarik dan enak ditonton tentunya menjadi pertimbangan. Kenyataannya namun tidak sebaik itu.