Unjuk Identitas Budaya Asia di Lily Pad Joyland Bali
Memasuki tahun ketiga, Joyland Bali yang diadakan Plainsong Live masih menyuguhkan barisan penampil musik lokal maupun luar yang begitu beragam untuk mengisi panggung-panggungnya.
Di antara barisan lokal yang sudah sering berseliweran di festival musik Indonesia sebut saja Nadin Amizah, The Adams, Stars & Rabbit, The SIGIT, White Shoes & The Couples Company, Mantra Vutura, Dialog Dini Hari, Hindia, dan Isyana Sarasvati. Kemudian musisi-musisi luar yang ikut berpartisipasi berasal dari Britania Raya, Norwegia, Amerika Serikat, dan Jepang.
Menariknya, Joyland Bali dengan masih menghadirkan panggung Lily Pad kini juga berfokus kepada musisi-musisi Asia khususnya Asia Tenggara dan Asia Barat, serta musisi lokal Bali dengan memercayai Wok the Rock dan Kasimyn sebagai kurator.
Bagi saya, kedua seniman ini valid karena memiliki latar belakang yang cukup dekat dengan bentuk seni kontemporer termasuk musik. Jam terbang mereka tidak diragukan lagi dalam pergerakan musik berbasis eksperimental yang memang tidak sedang bergerak pesat hanya di Indonesia.
Wok dan Kasimyn membangun jaringan lintas dunia untuk membentuk lingkaran industri musik untuk saling mengenal. Mereka juga selalu membawa unsur budaya Indonesia tetapi tidak klise hingga bisa mempresentasikan keberagaman budaya dari berbagai negara seperti yang dikurasi oleh Wok.
Siapa Wok the Rock? Pemilik nama asli Woto Wibowo ini merupakan seniman dan kurator yang aktif di bidang seni kontemporer, desain, dan musik. Selain menjadi anggota kolektif seniman Ruang MES 56 di Yogyakarta, ia juga menjalankan label musik Yes No Wave Music, melakukan kurasi rangkaian konser musik eksperimen Yes No Klub, serta inisiator forum pertemuan dan pertukaran ilmu antara para penggagas netlabel lokal bernama Indonesia Netaudio Forum.
Wok turut memberikan andil dalam perjalanan band lokal seperti Senyawa, kolektif seni musik Punkasila, dan sebuah paduan suara perempuan yang terdiri dari para penyintas politik, Dialita. Ia juga pernah mengikuti kegiatan untuk Jakarta Biennale 2013, Tokyo Performing Arts Market, Delfina Foundation, Casco Art Institute, 4A Centre for Contemporary Asian Art, Stedelijk Museum Bureau Amsterdam, serta menjadi kurator Biennale Jogja XIII di tahun 2015 berkolaborasi dengan seniman Indonesia dan Nigeria.
Nama-nama pilihan Wok untuk panggung Lily Pad adalah LnHD, Rempit Godde$$, Mong Tong, Praed, dan Rắn Cạp Đuôi. Berbicara mengapa, ia menjelaskan kepada saya bahwa panduannya dalam memilih yaitu memiliki karakter yang kuat dan menunjukkan sisi eksperimental. Selain itu penampil juga harus pas dengan suasana Joyland yang santai di tepi pantai dan tidak berasal dari kota atau negara internasional di luar Eropa, Inggris, Australia, Jepang, dan Amerika.
Ia memilih yang tak hanya cerdas dalam menciptakan karya musik, namun juga punya sikap dan pemikiran kritis terhadap seni dan ketidakadilan sosial.
“Masing-masing musisi atau band punya spirit dan karakter lokal dari tempat mereka berasal tanpa menjadi etnik yang klise. Hal ini penting di tengah pemahaman penggemar dan pelaku musik populer di Indonesia yang masih sangat Barat,” kata Wok melalui pesan teks (23/02).
Mengenal kurator yang selanjutnya adalah Kasimyn seorang disjoki, periset amatir, musisi elektronik otodidak yang berkelindan di antara identitas musik dansa eksperimental Gabber Modus Operandi dan proyek musik solo yang ia sebut proyek imajinasi, Hulubalang.
Pria bernama asli Aditya Surya Taruna ini pernah melakukan riset bersama festival seni dan budaya digital asal Berlin, Transmediale dalam tema Joget-X a speculative history of Dance Music in Indonesia di tahun 2021. Joget-X menceritakan sejarah fiksi andai kata kolonial tidak masuk ke Indonesia dan musik Indonesia tidak terpengaruh aturan 12 not.
Catatan perjalanan Kasimyn yang lain, ia pernah menuliskan lagu untuk film Tiger Stripes arahan sutradara Malaysia, Amanda Ne Lue yang berhasil memenangkan Semaine de la critique 2023.
Setelah merilis album BUNYI BUNYI TUMBAL atas nama Hulubalang di Bandcamp, Kasimyn manggung perdana di Unsound Festival 2023, Kraków, Polandia untuk melakukan kolaborasi langsung dengan Björk memainkan 3 track album Fossora yang ia sebut keabsurdan yang paling menyenangkan.
Nama-nama pilihan Kasiymn untuk panggung Lily Pad adalah Gangsar, Graung, Gumatat Gumitit Gospell, Kadapat, Putu Septa & Nata Swara, dan Rule Kabatram.
Saya akan membahasnya dimulai dari pengalaman pernah menyaksikan beberapa nama yang ada. Mereka semua musisi eksperimental atau berfokus kepada eksplorasi bunyi yang memadukan musik tradisional Bali dengan musik yang dianggap kekinian.
Latar belakang mereka sebagai anak muda Bali merasakan sendiri bagaimana gesekan kesenian hari ini berlangsung antara memainkan gamelan untuk tradisi ngayah di pura saat pagi hari, kemudian malamnya mungkin saja pergi ke klub malam, gigs punk ataupun bermain skate di Canggu.
Realitas ini terbukti sedang berlangsung dalam praktik kehidupan mereka di Bali hari ini. Maka lahirlah musisi-musisi seperti daftar yang akan pentas di panggung Lily Pad.
Di Bali sendiri kita tidak bisa memisahkan antara sesuatu yang tradisi dan modern, bahkan banyak dalam kegiatan sehari-hari dua hal itu saling berkaitan. Contoh yang saya bisa berikan upacara Nganyut atau menghanyut.
Nganyut adalah sebuah rangkaian ritual dari upacara Ngaben (Upacara bakar mayat), Nganyut yaitu menghanyutkan abu jenazah ke pantai yang diikuti serangkaian upacara lainnya yang juga dilakukan di pantai. Tapi di Bali hari ini, pemandangan sakral itu bisa saja menjadi visual yang unik karena berdampingan dengan bule yang bermain surfing dan berjemur di pinggir pantai.
Fenomena lintas kebudayaan yang sedang terjadi di Bali hari ini tersebut dijadikan praktik artistik oleh teman-teman musisi Bali untuk membedah kemungkinan musik gamelan Bali itu sendiri.
Berbekal kebiasaan mereka memainkan alat musik gamelan dan elektronik, mereka mencoba mengeksplorasi setiap kemungkinan yang ada. Bahkan mereka juga sering membuka ruang-ruang diskusi kecil untuk membicarakan sejauh mana musik gamelan Bali bisa berkembang.
Gangsar, Kadapat, Graung, Putu Septa & Nata Swara, dan Rule Kabatram sempat membuat pertunjukan sendiri bertajuk Kepus Pungsed. Semua barisan penampil lokal Bali yang siap beraksi di Lily Pad tergabung dalam perhelatan ini untuk menunjukkan bahwa musik gamelan itu cukup luas untuk dieksplorasi karena bisa memainkannya dengan cara berbeda-beda.
Ada yang mengeksplorasi gamelan dengan musik techno ala klub malam, ada yang mengeksplorasinya dengan memakai alat yang lebih sederhana, dan ada pula yang memainkan alat musik gamelan dengan cara tidak seperti biasanya.
Gamelan menjadi instrumen yang selalu ada saat upacara adat dan keagamaan di Bali. Selain sebagai instrumen, gamelan lalu menjadi sakral, bersifat politis, kultus, penuh cerita mitos, dan wacana-wacana perlombaan. Para musisi Kepus Pungsed pun mengalami hal ini, setidaknya Graung, Kadapat, Putu Septa & Nata Swara, dan Rule Kabatram.
Mereka dari kecil sudah belajar megambel di bawah inisiasi banjar atau sanggar. Mulanya belajar kemudian masuk ke perguruan tinggi yang linear. Setelah mendapat berbagai macam variasi, jenis musik, sudut pandang, tentu gamelan memiliki perspektif yang berbeda ketika mereka berkarya sekarang. Ditambah lagi akses musik elektronik yang mudah dipelajari dari internet. Aksesnya sangat terbuka lebar, hanya perlu diolah dan diperkaya sesuai gagasan setiap musisi.
Itu seperti membuka wawasan saya soal musik gamelan Bali, timbul banyak pertanyaan, timbul banyak ketidak kesepakatan di antara sesama musisi gamelan, dan banyak lagi intrik yang lahir dari hasil praktik artistik yang mereka lakukan.
Kemudian yang menjadi menarik ketika mereka mendapatkan ruang sendiri untuk terus menawarkan gagasan di bidang musik yang mungkin disebut noise dan eksperimental.
Setelah banyaknya intrik yang lahir dari penyilangan musik gamelan dan musik elektronik modern yang dilakukan teman-teman Kepus Pungsed, saya menghubungi Kasimyn via telepon untuk menanyakan kenapa Kepus Pungsed yang menjadi pilihan kurasinya dalam panggung Lily Pad stage.
“Mereka adalah kawan-kawan yang datang dari sebagian penjuru Bali (Jembrana, Karangasem, Tabanan dan Ubud) lalu berseberangan dengan wacana gamelan pada umumnya. Sangat menarik ketika menghadirkan mereka (Kepus Pungsed) pada ruang yang lebih luas untuk melihat bahwa musik gamelan Bali juga bisa di-eksperimentasi. Dan ini juga sekaligus menjadi ruang bahwa suatu hari nanti musik seperti ini (eksperimental) akan menjadi sesuatu bagi musik gamelan Bali di masa yang akan datang,” ungkap Kasimyn melalui telepon (18/02).
Akhirnya banyak kawan-kawan kolektif di Bali yang mengajak mereka untuk main dalam acaranya. Meski awalnya akan terdengar asing, lambat laun musik yang mereka mainkan mulai mendapat penikmatnya termasuk saya.
Saya merasa ketika mendengar Kadapat misalnya, seolah sedang berada dalam sebuah kemacetan di sebelah sisi kiri jalanan ibu kota Denpasar, tapi di samping sisi kanan jalan sedang ada iring-iringan upacara keagamaan yang dalam iringan tersebut ada musik gamelan Bali.
Maka sangat menarik untuk disaksikan Lily Pad hasil kurasi Wok dan Kasiymn. Simak berikut ini profil barisan penampil panggung ini satu per satu.
LnHD B2B Rempit Godde$$
Kolaborasi musisi eksperimental Yangon, Myanmar, LnHD bersama musisi yang banyak menghabiskan waktunya di Kuala Lumpur dan Singapura, Rempit Godde$$.
Berbicara perjalanan LnHD, ia sudah merilis album perdana Jamadevi hasil dari meneliti instrumen tradisi Burma dengan ritme elektronik kontemporer di bawah label musik eksperimental Yes No Wave berbasis di Yogyakarta.
Rempit Godde$$ adalah produser sekaligus disjoki yang mengeksplorasi reses terjauh, tergelap dari dunia klub industri, dan banyak bergerak dalam ranah underground.
Mong Tong
Hadir dengan suara yang menggugah “pulau hantu” tropis Taiwan yang misterius, Mong Tong lucunya memanfaatkan estetika kitsch dari kepercayaan supernatural dan new age yang populer di tahun 90-an dan 00-an. Diwakili secara publik oleh dua bersaudara Hom Yu dan Jiun Chi, Mong Tong, mereka lebih dari sekedar duo, memproduksi video musik dan merancang sampul album sendiri, serta menyajikan musik dalam bentuk yang tidak konvensional.
Praed
Praed didirikan oleh Raed Yassin dan Paed Conca pada tahun 2006. Sebuah band yang karya musiknya dapat digambarkan sebagai campuran musik populer Arab, free jazz, dan elektronik. Sejak awal, mereka telah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap musik ini sebagai media yang mencerminkan masyarakat Mesir yang rumit. Melalui penelitian yang dilakukan, band mulai menemukan hubungan budaya yang kuat antara “Shaabi” dan musik “Mouled” dimainkan dalam upacara kesurupan keagamaan.
Rắn Cạp Đuôi
Rắn Cạp Đuôi merupakan kolektif musik eksperimental satu-satunya di kota Ho Chi Minh, Vietnam. Para anggota sempat mengundang musisi untuk datang ke kota mereka dan berimprovisasi bersama selama 48 jam nonstop di tahun 2018 sebagai cara untuk terhubung dengan orang lain dan menciptakan musik baru. Secara historis, Vietnam tidak pernah memiliki banyak musisi avant-garde yang aktif dan internet mampu memperkenalkan musisi-musisi yang memproklamirkan diri sebagai “klub meme” yaitu Rắn Cạp Đuôi.
Putu Septa & Nata Swara
Putu Septa adalah seorang komposer muda, musisi, dan pendiri serta pemimpin Nata Swara yang berasal dari Desa Padangtegal, Ubud, Bali. Hingga saat ini ia aktif menciptakan berbagai karya musik, berkolaborasi dengan para seniman baik luar maupun dalam negeri, sebagai musisi, sebagai pengajar gamelan, dan sebagai direktur musik serta anggota dari berbagai komunitas kesenian. Karya-karyanya sangat beraneka ragam baik untuk musik instrumental, musik tari, musik film, dan lain sebagainya.
Nata Swara adalah sebuah komunitas yang fokus memainkan karya-karya musik gamelan tradisi Bali maupun memproduksi karya-karya baru untuk musik dan seni pertunjukan, serta mencetak generasi baru sebagai pemain gamelan Bali. Nata Swara berdiri pada tahun 2011 di Desa Padangtegal, Ubud, Bali. Hingga saat ini Nata Swara aktif dalam berproses untuk memproduksi karya baru, menggali karya-karya musik gamelan klasik, turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, serta menanamkan, menggalang, dan meningkatkan kerja sama dari berbagai relasi Internasional.
Kadapat
Proyek musik berbasis di Bali ini menggunakan bahasa Bali ilmu putih atau hitam sebagai roh dalam percobaan musik gamelan elektronik dengan tujuan menyampaikan tradisi dan legenda urban yang dibentuk oleh Yogi dan Barga. Mengenal Kadapat berarti bertemu pemuda milenial asal pinggiran Bali yang diajarkan gamelan dan tradisinya pada usia muda. Tidak hanya terampil secara teknis, mereka juga menampilkan gamelan untuk tradisi dan religi upacara di Banjar, sebuah lingkungan resmi mengatur dan mengurus masyarakat berdasarkan tradisi dan tata krama setempat. Mereka sangat intens berurusan dengan norma-norma konservatif dan norma-normanya kosmologi transendental. Sebagai entitas milenial pun ikut tersemat dalam budaya perkotaan, teknologi, dan Bali kosmopolitanisme. Identitas hibrid ini menjadi semakin kompleks ketika mereka mengalaminya dimensi pendidikan seni formal dengan sistem pedagogi barat.
Gumatat Gumitit Gospell
Gumatat Gumitit Gospell atau Agha Praditya mengambil inspirasi dari fenomena Kerauhan atau kerasukan dalam bahasa Indonesia (roh kepemilikan), dan konsep Bali tentang Bhuana Alit (alam semesta kecil) dan Buana Agung (Alam Semesta Lebih Besar). Tentang masuk ke dalam, ke dalam Bhuana Alit, memanggil/melepaskan apapun yang ditekan, untuk dirangkul dan diubah.
Rule Kabatram
Semenjak tahun 2018, dengan tanggal, hari, bulan yang masih dicari tau kepastiannya sampai saat ini, sekian lama pula Rule Kabatram duduk melingkar membahas perkembangan musik karena mereka memang memiliki latar belakang kecintaan terhadap musik walaupun dengan selera musik berbeda. Semakin sering bertemu, semakin banyak pula rencana yang berakhir sampai di wacana saja, tanpa ada satu pun karya yang dilahirkan sampai akhirnya Rule Kabatram lahir secara paksa di tahun 2022. Semenjak itu band memutuskan untuk berani berkarya hingga percobaan terakhir, mereka belum menemukan titik terang. Terang-terangan band mengaku ingin gelap-gelapan, gak pakai konsep, cuma pakai arak Bali saja untuk menstimulasi mereka dalam bermusik.
Graung
Duo musisi Gamelan Bali beranggota Baguk (Denpasar) dan Caca (Gianyar) mengeksplorasi musik yang dipengaruhi oleh tradisi musikal gamelan sebagai latar belakang mereka sebagai pemusik tradisional Bali sejak muda. Caca membangun alat musiknya sendiri dengan fokus pada Bumbung (resonansi) pada instrumen gamelan Bali dan Baguk berfokus pada bunyi elektronik. Mereka memadukan tradisi dan cara pembuatan yang modern musik daripada menghasilkan musik gamelan kontemporer.
Gangsar
Setelah 12 tahun eksplorasi musik di tengah dinamika yang berkembang, perubahan transformatif memaksa Rollfast untuk mempertimbangkan kembali identitasnya. Rollfast yang terasa dipilih dengan tergesa-gesa menjadi Gangsar yang berarti ‘berlayar mulus, langkah demi langkah’. Nama ini dipilih dengan cermat untuk mencerminkan hal tersebut adalah keyakinan baru band dalam ekspresi musik.
Dengan adanya barisan penampil yang dipilih oleh Wok the Rock dan Kasimyn, pengunjung akan menyaksikan bagaimana bebunyian yang beragam itu bisa menggambarkan keadaan suatu laku budaya hari ini. Salam.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian
Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW. …
Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024
Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11). Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …