Perjalanan Bising Kota Yogyakarta dalam Sebuah Catatan

Aug 15, 2024

Bising Kota kedelapan terselenggara hari Rabu (07/08) di JRNY Coffee & Records, Yogyakarta dengan mengangkat tema Masih Relevan Band Hijrah ke Jakarta Demi Karier?.

Telah hadir Wok The Rock (kurator, pendiri Yes No Wave Music), Kiki Pea (Program Director Cherrypop), dan Argha Mahendra (drumer Skandal, pendiri JRNY Records) untuk menjadi narasumber diskusi kali ini.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Pophariini (@pophariini)

 

Semenjak ke luar dari zona, Bising Kota tak hanya menghadirkan diskusi melainkan penampilan musik yang diisi Danesa dan The Kick asal Yogyakarta. Kami juga melakukan hal yang berbeda untuk kunjungan kali ini, lebih dulu menggelar diskusi baru sowan ke tokoh-tokoh musik.

Mari simak catatan perjalanannya dimulai hari Rabu, 7 Agustus hingga Jumat, 9 Agustus 2024 di bawah ini.

 

Hari penyelenggaraan Bising Kota Yogyakarta

Perhelatan Bising Kota dibuka aksi Danesa pukul 18.45 WIB. Sebelum unjuk gigi, kami menemui band indie rock Yogyakarta ini untuk berbincang seputar perjalanan bermusik mereka.

Danesa sebelum tampil di Bising Kota Yogyakarta / dok. Abykto

 

Danesa diwakili 3 personel mereka yaitu Regita (vokal), Rizky Surur (gitar), dan Tio Aldian (drum) menceritakan awal band terbentuk. Di mana Danesa ini merupakan proyek solo sang gitaris. 

“Kebetulan tahun kemarin dapat tawaran main. Dari situ jadi ngajakin teman-teman buat main. Akhirnya bikin lagu bareng, dan karena manggung itu juga jadi lanjut dan ngajak Regita buat ngisi vokal. Awal tahun ini, kami mulai planning sebagai band mau bikin apa. Dan sekarang kami sudah rilis maxi-single berisi 2 lagu,” kata Surur.

Saat topik mengarah kepada judul diskusi Bising Kota, suasana jadi menarik karena meski berasal dan terbentuk di Jogja, para personel Danesa kini sudah mencari mata pencaharian di Jakarta.

Para anggota band sepakat tidak harus pindah ke Jakarta untuk menjalani karier bermusik karena yang lebih utama bisa mengambil kesempatan di manapun berada.

“Dimulai dengan niat sih. Memang kalau awalnya mau ngeband, ya kami niatin. Setting priority lah. Kalau prioritasnya adalah ngeband, ya apa saja bisa (dilakukan),” tegas Tio.

Penampilan Danesa membuka Bising Kota Yogyakarta / dok. Abykto

 

Setelah adzan berkumandang, diksusi Bising Kota Jogja akhirnya dimulai dengan kata sambutan dari Deni Darmawan atau akrab disapa Denboi selaku Program Director dan moderator. Ia langsung mempersilakan tiga narasumber menempati kursi masing-masing.  

Wok The Rock, Kiki Pea, Argha Mahendra, Denboi / dok. Abykto

 

Poin pertama yang menarik dari diskusi ini datang dari Wok The Rock yang merasa musisi Jogja tidak harus pindah ke Jakarta untuk menjalani karier. Meski demikian, Wok mengaku di era lampau perasaan inferior para musisi Jogja terhadap nama-nama Jakarta sempat muncul, namun kini sudah tidak ada.

“Sekarang sudah gak ada kayak gitu. Misalnya kayak di Cherrypop, bisa dilihat lineup-nya, ukuran font-nya sama, lebih setara. Karakter bermusik para musisi Jogja pun, meski masih ada karakter musik yang mirip seperti band yang sedang ngetren, tapi mereka selalu punya karakter sendiri,” jelas Wok.

Anggota band Skandal, Argha yang sering main di Jakarta juga memberikan pandangan terkait topik diskusi. Sang drumer kurang lebih sepakat dengan poin yang disampaikan Wok dan menegaskan apa yang ia dapatkan bersama Skandal adalah berkat usaha berjejaring dan tidak diraih dalam waktu yang sebentar.

Argha mengaku apa yang sudah didapatkan Skandal berkat networking / dok. Abykto

 

“Kalau aku sih menganut prinsip bahwa ber-networking lah yang baik. Of course, musik nomor satu, tapi networking dan attitude itu harus kamu perhatikan. Apa lagi zaman sekarang ya, dengan saingan kamu banyak banget. Kalau merasa musik kamu bagus, tapi gak ngapa-ngapain, ya jangan protes,” tegas Argha.

Kiki Pea selaku Program Director Cherrypop menjelaskan, kehadiran nama-nama populer di festivalnya adalah salah satu strategi untuk memperkenalkan band dan musisi Jogja yang menarik kepada para pengunjung yang hadir.

Kiki Pea ingin memperkenalkan band-band ajaib di Cherrypop / dok. Abykto

 

“Kami selalu bilang, Cherrypop itu acara lokal dan kami mengundang band-band yang kami suka dari luar kota. Memang tidak dipungkiri sekian persennya itu memang band-band populer dari Jakarta. Itu memang strategi menarik penonton untuk datang. Kalian nonton band A, terus dapat bonus tau band-band ajaib lain karena memang mau melebarkan kolam itu tadi,” ucap Kiki.

Diskusi yang berlangsung panas ini diakhiri dengan pengumuman pemenang submission Bising Kota X Cherrypop melalui Irama Kotak Suara Pophariini. Dari 200 nama yang mengirimkan karya disaring menjadi 10. Kemudian yang terpilih hanya 3 untuk manggung di Cherrypop 2024 yakni Tama Yuri, Sychowayne, dan Marie Joe.

Para pemenang submission Bising Kota x Cherrypop / dok. Abykto

 

Bising Kota secara keseluruhan ditutup aksi band Jogja The Kick. Bukan omong kosong, ramainya penonton yang tiba-tiba masuk saat lagu pertama dibawakan membuktikan popularitas mereka.

Jiwe ‘The Kick’ meladeni penonton yang ingin ikut bernyanyi / dok. Abykto

 

Kami sangat menikmati penampilan The Kick dan perjalanan berlanjut keesokan harinya untuk menghampiri dan menyapa tokoh-tokoh musik di Kota Gudeg ini.

 

Sowan ke musisi-musisi Yogyakarta

Tidak lengkap rasanya datang ke Jogja tanpa menemui Farid Stevy, vokalis dari FSTVLST dan Jenny. Kami membuat janji dan disambut hangat oleh sang musisi yang juga seorang pelaku seni rupa ini. Kunjungan berlangsung di LIB Stud (Liberate Studio) milik Farid.

Usai memesan beberapa minuman dingin di kantin LIB Stud, kami membuka topik perbincangan dengan bagaimana dan kapan studionya mulai beroperasi. Ia mengungkapkan, studio ini ada berawal dari kamar kos Farid semasa kuliah tahun 2000-an, dan sudah memakai nama LIB Stud.

Suasana sore di LIB Stud milik Farid Stevy / dok. Syauqi Ibrahim

 

“Aku mahasiswa desain. Sudah mulai dapat kerjaan desain, cetak-cetak gitu. Ala-ala punya studio, terus aku menyebut nama kamar tidurku Liberate Studio. Akhirnya keterusan, lama-lama jadi studio kerja beneran. Yang tadinya sendiri, terus bersama teman-teman, akhirnya sampai sekarang. Aku mulainya dari tahun 2005 sampai hari ini sudah ruang ke-11,” kisah Farid.

Setelah melalui banyak perubahan format, LIB Stud kini menjadi ruang kerja bersama 13 orang di berbagai unit antara lain studio seni rupa, desain, toko merchandise, workshop sablon/silkscreen untuk merchandise, kantin, cuci sepatu, dan studio tato yang saat kami kunjungi masih dalam tahap pengembangan.

Workshop sablon jadi salah satu unit kerja di LIB Stud / dok. Syauqi Ibrahim

 

“Sejak awal, ini kan studio desain komersial. Lama-lama kegiatannya selain mengerjakan pekerjaan komersial, kami juga bikin gerakan, kejadian-kejadian kecil. Yang sering terjadi itu kelas-kelas kreatif. Kami punya platform namanya Lintas Kultura, sudah tiga tahun. Kemudian ada IST FESTIVAL, lalu Merchandise Festival. Selebihnya ketemu, ngobrol, dan ngomongin hal-hal yang dari dulu kami bicarakan,” ujar Farid.

Farid Stevy saat menandatangani merchandise Jenny milik pembeli / dok. Syauqi Ibrahim

 

Rasanya tepat membicarakan topik Masih Relevan Band Hijrah ke Jakarta Demi Karier? yang diusung diskusi Bising Kota Jogja bersama Farid yang bersama bandnya, baik itu FSTVLST maupun Jenny sudah berhasil mendapatkan rekognisi di Jakarta.

Sebelum menanyakan pendapat Farid mengenai hal tersebut, kami lebih dulu menanyakan bagaimana dulu ia bersama bandnya bisa menembus para pendengar musik di kota yang sudah tidak lagi menjadi ibukota.

Kejadiannya bermula saat Farid masih menjalani band bernama Jenny yang tahun lalu ‘hidup kembali’ di Cherrypop setelah sekian lama tidak aktif bermusik. Saat itu, Farid yang tidak memiliki harapan Jenny bakal berumur panjang, karena memang band ini terbentuk di malam keakraban saat kuliah, ia mendapatkan pertanyaan yang dirasa cukup menarik dari gitarisnya Roby Setiawan.

“Ada pertanyaan yang cukup menggelitik dari Mas Rob waktu itu, ‘Masak Jakarta gak dengar kita?’. Kami sudah sering show, belum ada media yang cover, terus kayaknya pendengar kami masih di lingkaran Jogja saja,” kisah Farid.

Pertanyaan Roby memicu Farid dan rekan-rekannya untuk melakukan riset kecil-kecilan yang berujung pada kesimpulan bahwa satu hal yang tak terjadi di Jogja masa itu adalah ekosistem media yang kurang memadai. Ia mengakui media di Jakarta saat itu lebih advance.

“Terus kami paham juga kenapa kemudian media Jakarta secara teknis lebih mudah menjangkau kawan-kawan atau talenta yang ada di sana. Ini bukan tentang keberpihakan kultural, karena memang secara practical memang begitu. Sangat dipahami ketika teman-teman di Jakarta dan sekitarnya bisa lebih dapat banyak coverage,” ujarnya.

Berangkat dari hasil riset tersebut, akhirnya Farid dan rekan-rekannya di Jenny menciptakan struktur kerja yang lebih solid. Struktur kerja ini akhirnya yang membuat Jenny ditengok oleh pemangku industri musik Jakarta dan membuat mereka merasa band ini memang cukup penting untuk diliput.

Farid Stevy di LIB Stud / dok. Syauqi Ibrahim

 

“Kebetulan kalau di struktur kerja kami, Mas Roby selain sebagai gitaris adalah manajer kekaryaan dan saya selain sebagai vokalis adalah manajer brand. Kerjaan saya sampai sekarang adalah bagaimana caranya Jenny/FSTVLST kemudian bisa didengarkan banyak orang. Dan aku mengoptimasi timku yang ada di sini,” ungkapnya.

Saat ditanya pendapat apakah musisi harus pindah ke Jakarta untuk berkarier, Farid mengatakan dalam ranah belajar mengenai bagaimana industri bekerja dalam memperkenalkan karya, musisi dari berbagai daerah memang perlu melihat ke Jakarta, seperti yang ia lakukan dulu.

Meski begitu, Farid menegaskan jika konteksnya pindah ke Jakarta untuk menjalani karier, ia merasa tidak perlu. Hal ini bisa ia yakini setelah mendapatkan informasi dari platform internet, bahwa setelah era internet maka akan datang sebuah masa bernama nonmetropolitan growth, di mana apa yang terjadi di kota-kota nonmetro bakal jadi penting dan signifikan. 

Keterbukaan informasi ini dirasa Farid bisa membuka kesempatan setiap daerah untuk belajar dan menyerap ilmu satu sama lain tentang bagaimana membangun ekosistem di kota masing-masing.

Farid dan rekan-rekannya di Jogja turut merespons isu kota metropolitan sentris ini dengan sebuah festival yang dinamai IST FESTIVAL. Pergelaran yang banyak memainkan band dan musisi di sekitar Jawa Tengah ini adalah caranya untuk menghindari sindrom pusat, di mana band dari daerah lain seakan harus sowan ke kota besar agar bisa mencuat.

Gerakan yang dinamai Jala Skena pun akhirnya berjalan, salah satunya dengan mengadakan IST FESTIVAL, yang terjun langsung mencari talenta dan permasalahan ekosistem di sana.

“Waktu itu pakai mobil kecil, bawa kamera. Terus ketemu sama teman-teman dan tanya, ‘Di sini lagi ada apa? Bandnya kayak gimana?’. Ternyata banyak sekali talent yang bagus, tapi masalahnya mereka kurang ruang, gak punya akses ke media, sama seperti yang aku alami bertahun-tahun lalu atas Jakarta. Yang bisa kami lakukan ya membentuk jaringan dan mengusahakan ekosistem yang membaik untuk kita bersama,” pungkas Farid.

Setelah pertemuan yang berlangsung cukup seru dengan Farid, kami harus segera berpisah karena ia harus bergegas ke Jakarta tampil di sebuah festival.

Sesi bincang dengan Jiwe ‘The Kick’ / dok. Syauqi Ibrahim

 

Malam itu juga, dari LIB Stud yang berlokasi di Jogja Utara, kami langsung bertolak ke daerah Selatan untuk menjumpai The Kick di kedai kopi tempat mereka biasa kongko, Westpash Coffee di bilangan Kotagede.

Dalam obrolan, kami mendapatkan poin menarik dari Jiwe ‘The Kick’. Jika dalam diskusi Bising Kota membahas apakah band harus pindah ke Jakarta untuk karier atau berbincang dengan Farid Stevy soal Jogja menjadi kota sentral di daerah Jawa Tengah. Saat berbincang dengan Jiwe, ia menjelaskan band-band Jogja Selatan mengalami hal serupa dalam lingkup yang lebih kecil yaitu harus belajar ke Jogja Utara yang dirasa lebih maju dalam hal menjalankan ekosistem musik.

“Kami tuh memang benar-benar band kampung kalau di Jogja. Kotagede kan daerah Jogja paling Selatan, masih kampung banget sebenarnya di sini. Jadi kami belajarnya bukan sama orang-orang gede. Karena Jogja masih terkotak-kotakkan antara Utara dan Selatan, kami di 2018 (2 tahun setelah The Kick terbentuk) tuh baru pede main ke Utara,” ucap Jiwe.

Jiwe dan rekan-rekan The Kick mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana menjalani sebuah band ketika mereka berkunjung ke area Jogja Utara. Proses-proses ini yang akhirnya membuat The Kick bisa merilis berbagai karya, berupa single hingga album penuh. Jiwe juga menceritakan bagaimana bandnya bisa melakukan tur perdana usai pandemi lalu.

“Turnya tanpa sponsor, cuma 5 kota di Jawa Tengah. Kami dapat titik karena kami berani main ke Jogja Utara. Akhirnya kami tur, kami merasa album perdana kami bisa dinikmati setelah 2 tahun, bahkan sampai sekarang nafasnya,” jelasnya.

Setuju dengan pendapat Farid Stevy, Jiwe mengatakan bahwa selain untuk belajar entitas musik tidak harus pindah ke daerah sentral dalam meniti karier bermusik.

“Setelah 7 tahun aku mengalami diskusi dan bertemu banyak orang. Pada akhirnya gini, kami tuh gak harus ke sentral, bikin ledakan di mana aja. Kalau ledakanmu itu pasti, mereka yang di sentral akan mendengarkan,” tegas Jiwe yang mengambil contoh perseteruan The Kick dan The Jeblogs sebagai contoh ledakan itu.

Usai berbincang dengan Jiwe di Westpash Coffee, sang vokalis mengajak kami untuk bergeser ke area depan Pasar Legi Kotagede, tempat Rizki (drumer The Kick) membuka usaha sate. Di tempat yang juga menjadi basecamp band ini, kami disambut hangat sambil mendengarkan kisah lucu yang dilakukan The Kick dan teman-teman mereka.

Usaha sate milik Rizki ‘The Kick’ berlokasi tepat di depan Pasar Legi Kotagede / dok. Syauqi Ibrahim

 

Pertemuan terakhir dengan tokoh musik di Jogja kami lakukan bersama Heruwa, vokalis Shaggydog di tempat usahanya, Warung Heru. Di tempat yang berlokasi di daerah Prawirotaman dan berkonsep rumahan ini, kami disambut oleh Heru dengan sangat baik dan dibuat nyaman oleh suasana ruang tersebut.

Warung Heru memiliki konsep rumah yang membuat pengunjung nyaman / dok. Syauqi Ibrahim

 

Heru bercerita awal mula terbentuknya Warung Heru tahun 2012 di daerah Bugisan. Saat itu, vokalis Shaggydog ini menjual makanan masakan sang Ibu kepada tetangga di area kecil yang hanya menggunakan etalase.

Ia menceritakan soal pemilihan nama Warung Heru sebagai nama usahanya. Ini adalah ide Heru sendiri agar lebih mudah dikenali orang.

“Dari situ buka, itu cuma teman-teman dan fans yang datang. Akhirnya suatu ketika ketemu kontrakan di jalan ini, cuma agak ke sana sedikit. Di situ baru buka Warung Heru yang cukup serius lah,” kisah Heru yang mengaku lokasi saat ini adalah lokasi ke-4.

Heru juga kerap mengundang teman-teman musisi untuk sekadar singgah sampai tampil spontan di warungnya. Band dan solois yang pernah tampil di Warung Heru antara lain Pamungkas, Sal Priadi, dan Coklat yang saat itu sempat mengadakan showcase kecil-kecilan di sana.

Heru berpose percis di depan warungnya / dok. Syauqi Ibrahim

 

Tentu kami juga membahas topik diskusi Bising Kota kepada Heru. Ia menegaskan, Shaggydog yang berhasil menembus pasar Jakarta adalah berkat komunitas yaitu para personel menjalin hubungan dengan para pelaku musik.

“Waktu zaman itu, nongkrong penting banget. Kami menjalin hubungan sama anak-anak Jakarta. Kenalan, nongkrong bareng gitu. Momen (tembus) nya waktu album Di Sayidan juga berpengaruh, karena waktu itu kami gabung major label untuk pertama kali. Di situlah di Jakarta orang makin aware,” kisah Heru.

Meskipun sudah dikenal luas di Jakarta, Heru dan semua personel Shaggydog tetap tinggal di kota asal mereka. Ia pun mengatakan, jika band-band baru di daerah luar Jakarta ingin cepat dikenal secara nasional, maka pindah ke Jakarta harus dilakukan. Namun, Heru menegaskan apa yang dicapai Shaggydog saat ini berkat usaha yang dilakukan selama bertahun-tahun.

“Cuma kalau kamu mau lebih sabar, bisa aja kamu stay di daerahmu. Toh sekarang semua sarana tuh kan enak banget, tinggal mau diisi apa nih. YouTube, Instagram, TikTok, dan segala macam. Musik bagus akan terjual dengan sendirinya menurutku,” tegas Heru.

Perbincangan berlanjut ke topik-topik ringan di mana kami banyak membahas band-band punk rock hingga ke pertemuan Heru dengan Mike D dari Beastie Boys di Jogja beberapa tahun lalu, sampai musisi yang juga memiliki proyek musik Dub Youth ini harus pamit pulang.

Kami sangat menikmati momen ke momen selama di Yogyakarta. Setelah Bising Kota Yogyakarta dilaksanakan hari Rabu, menemui sosok-sosok di hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan untuk hadir di perhelatan Cherrypop 2024.

Terima kasih semua pihak yang sudah terlibat untuk Bising Kota Yogyakarta. Sampai jumpa di kota selanjutnya!

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian

Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW.     …

Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024

Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11).  Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …