Oslo Ibrahim – Head Head Head
Kita mungkin lupa kalau Oslo Ibrahim yang dikenal sebagai kreator konten “Top 5” di TikTok adalah singer/songwriter yang piawai membuat lagu pop enak. Suaranya berkarakter, permainan solo gitarnya menawan. Namun dalam album terbarunya, Head Head Head, Ia masih kekurangan satu hal penting yang membuat musisi menonjol: identitas diri yang kuat.
Dalam bio Instagram-nya yang memiliki follower 57 K, Oslo Ibrahim berkelakar menulis, “ternyata dia musisi”. Di TikTok dengan followers 459 K lebih, Ia lebih percaya diri menulis, “singer/songwriter”. Padahal di platform tersebut Oslo lebih dikenalkarena membuat konten-konten viral, “Top 5” yang menyindir gaya hidup anak muda. Ini mengapa Oslo berkelakar menulis bio Instagram-nya dengan nada bercanda. Sebagai kreator konten karakternya kuat dan menonjol, namun sayangnya keunikan itu tidak terwujud dalam musiknya.
Sebelumnya saya pernah menulis tentang potensi besar Oslo sebagai singer/songwriter/gitaris/produser saat merilis album mini perdana, The Lone Lovers (2019) yang menarik. Setelah album perdana, I Only Dance When I’m Sad, dengan tampilan dan statment fesyen barunya saya terjebak ekspektasi tinggi dengan album mini, Cantaloupe (2022). Lagi-lagi di album baru ini harapan saya benar-benar pupus. Kejeliannya mengangkat tema keseharian anak muda dalam konten “Top 5” serta gaya fesyen nyentriknya sama sekali tidak selaras muncul dalam eksplorasi musiknya.
Dalam Head Head Head yang berisi delapan lagu bertempo medium, problem yang sama seperti di album Cantaloupe kembali terjadi. Lagu-lagu nyaman bertaburan, tapi tidak meninggalkan kesan mendalam. Dari segi produksi pun, sound yang dihadirkan tidak konsisten dan terasa belang bontang. Cukup mengganggu pengalaman mendengarkan keseluruhan album ini.
Namun pengecualian untuk lagu yang diproduseri oleh Coki Bolmayer (NTRL) yang berjudul, “OSLO”. Dari komposisi musik, dan lirik, semuanya menunjukan identitas kuat Oslo Ibrahim. Meski pemilihan judul lagu menggunakan nama sendiri sudah pernah dilakukan lebih dulu oleh Nadin Amizah yang pernah merilis lagu berjudul sama dengan namanya, “Nadin Amizah” dalam album Untuk Dunia, Cinta dan Kotornya (2023).
Dari lagu-lagu enak yang kurang berkesan itu, dinamika album menjadi berbeda dengan kehadiran lagu nge-punk/rock, “Do I Care Too Much”. Namun sayangnya dalam arti negatif dan terlalu jomplang dibanding lagu lain, sehingga jadi hal yang paling mengganggu di album ini. Menyempurnakan ketidakkonsistenan Head Head Head.
Oslo menutup album dengan lagu penutup milik Dewi Sandra, “Tak Ingin Lagi”. Pemilihan lagu ini juga tak galah ganjil. Aransemennya terasa tumpang tindih, pemilihan lagunya juga dipertanyakan. Dari banyak pilihan lagu R&B Indonesia 90an, mengapa lagu ini?
Jika ingin menonjolkan kesan nyentrik, mengapa tidak sekalian memilih lagu R&B milik diva muda Agnes Monica? Terlebih, Yudis Widiatmoko, kolaborator Oslo yang juga penulis lagu “Tak Ingin Lagi” juga pernah menulis beberapa lagu Agnes Monica. Pilihan ini dirasa lebih cocok dengan kenyentrikan Oslo.
Meskipun begitu Oslo terdengar cocok menyanyikan lagu berbahasa Indonesia. Seperti yang pernah ia lakukan kala masih menyandang nama, Rio Riezky. Ini potensi yang agaknya tidak terlalu disadari olehnya. Terlebih hal itu tergambar jelas dalam lirik lagu “OSLO”. Lirik ini yang paling potensial darinya. Menggambarkan ekspektasi sosial, tekanan dan pencarian jati diri yang berujung pada tekad terus melangkah.
Saya juga menemukan beberapa video Youtube Oslo bernyanyi hanya dengan gitar akustik, dan di situ kehadirannya terasa lebih kuat dan utuh. Kekuatan sebagai singer/songwriter/gitaris terpancar kuat. Entah kenapa dalam album keduanya hal ia memilih bersembunyi dalam berlapis-lapis instrumen musik dengan lirik bahasa Inggris yang biasa saja.
Sangat disayangkan, Head Head Head tidak berhasil menampilkan identitas sosok Oslo Ibrahim yang kita kenal di media sosial. Jika di media sosial sosoknya tampil nyentrik dengan konten cerdas dan kritis, dalam album ini, Oslo tampak kebingungan dan kehilangan arah.
Album ini harusnya bisa jadi pembuktian bahwa Oslo adalah benar seorang musisi, seperti yang ia tuliskan dalam bio Instagram-nya. Namun, sayangnya, Head Head Head lebih terdengar seperti musisi yang kehilangan arah. Daripada ekspresi bermusik yang jujur dan jati diri seorang Oslo Ibrahim yang sesungguhnya.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …
I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan
Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11). I’m Kidding terbentuk …