Magis Synchronize Fest 2024: Aksi Kebal Bacok dan Tiupan Sangkakala Arrington De Dionyso
Musisi Amerika yang selalu menjadi perbincangan di skena musik kontemporer Indonesia akhirnya tampil di Synchronize Festival. Dialah, Arrington De Dionyso. Ia tampil dengan grup bernama Singo Sembrono dan paguyuban kesenian reak dari Bandung Timur. Arrington De Dionyso Cs menampilkan sebuah pertunjukan musik dengan suguhan aksi kebal bacok yang membuat ngeri. Pertunjukan musik eksperimental bercampur seni tradisi itu hadir seperti sebuah keajaiban. Sesuatu yang barangkali membuat Synchronize menjadi festival yang patut dinantikan setiap tahunnya.
Pertunjukan itu dibuka dengan lampu yang menyorot tengah panggung di mana Arrington De Dionyso sedang berdiri. Arrington hadir dengan kepala yang ditutupi ember bergambar menyerupai seekor singa dan tubuh yang tertutupi kain tenun tribal. Ia melakukan throat singing yang memunculkan gema dan menghadirkan nuansa mistis di area panggung melingkar. Drum, alat musik dog-dog, bedug, dan kendang pun menyahuti. Demikian juga kibor, gitar bas, dan seorang bule perempuan yang memainkan floor tom. Namun yang mengejutkan adalah kejadian selanjutnya.
Bangbarongan pun meliuk-meliuk mengikuti irama musik. Di belakang salah seorang penari topeng ikut pula unjuk gigi. Mereka menari liar ketika Arrington mulai meniup sangkakalanya, sebuah bas klarinet yang bersuara seperti selompret Reog Ponorogo. Mereka memainkan pertunjukan musik eksperimental improvisasi yang diberi genre oleh Arrington sendiri sebagai trance punk. Mendengar musik yang semarak tersebut semua pun meliar seperti kesurupan. Di seperempat jam pertunjukan, salah seorang pemain dog-dog menaruh alatnya. Lelaki berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala khas Sunda itu berjalan ke depan panggung sambil menenteng sebilah golok.
Golok itu pun ditebaskan pada sebuah kartu remi, memberi tanda ihwal senjata itu memang tajam. Kartu remi pun lantas terbelah menjadi dua terkena irisan. Setandasnya ia menyiarkan ketajaman golok, golok pun disayatkan ke lehernya sendiri. Tak ada darah sedikit pun yang menetes. Tubuh lelaki berkaos Suicidal Tendencies itu utuh tanpa sedikit pun ada luka. Tangan, leher, pipi, mulut, dan lidahnya pun coba disayat oleh pisau besar untuk memotong daging hewan tersebut. Aksi kebal bacok itu pun berlanjut terus hingga pertunjukan usai. Tak hanya mencoba mengiris tubuhnya sendiri, ia pun juga mencoba mengiris tubuh temannya sesama pemain dog-dog.
Panggung XYZ Synchronize Festival selepas isya pada Jumat 4 Oktober 2024 itu menghadirkan aksi debus, singo barong, dan tari topeng yang dipadukan dengan musik eksperimental yang nyerempet ke progresif rock. Penonton dibuat ngilu atas pertunjukan tersebut. Meski ngeri, para penonton tampak pula ada yang ikut berjoget mengikuti rancak irama musik yang dipimpin oleh Arrington. Bule asal Amerika Serikat itu tampil sebagai dirijen pertunjukan musik yang sepertinya lebih cocok disebut dalang. Pertunjukan berusia 47 menit itu pun usai dengan tepukan tangan yang meriah dari para penonton. Arrington yang mengenakan pakaian surjan dan celana silat itu pun menyambut tepukan tangan dengan suka cita.
Selepas pertunjukan, saya pun menyalami setiap penampil. Saya terkesima menonton pertunjukan Arrington yang kisahnya menemani perjalanan masa kuliah saya di awal 2011-an itu. Cerita tentang Arrington De Dionyso memang seperti dongeng. Abang-abangan skena di setiap kota acapkali menceritakan kisah yang bermacam-macam tentangnya. Saya pernah hampir menonton pertunjukannya di Surabaya pada 2013. Namun karena suatu sebab saya dibuat menyesal tidak menonton pertunjukan dari peristiwa yang mungkin bersejarah dalam skena musik eksperimental di Indonesia. Bisa menyaksikannya secara langsung, saya seperti menjalani kisah dari dongeng tersebut.
********
Selepas pertunjukan saya langsung menemui Dzulfikri Putra Malawi, yang dalam Singo Sembrono berposisi sebagai drumer. Pria 3 anak ini mengungkapkan bahwa pertunjukan ini konsepnya adalah merespons satu sama lain. Ia menjelaskan bahwa pertunjukan ini dilangsungkan dengan latihan sekali di Kios Ojo Keos dan berupaya untuk membangun seni improvisasi.
“Jadi, main musik bagi kami itu ya merespons satu sama lain. Karena kami percaya sound atau bebunyian itu energi di kosmik ini gitu ya. Itu yang coba kami interpretasiin. Saya main drum perkusi. Waktu itu ada yang lain, main perkusian, main suling, main kendang juga, dan Arrington bilang kalau main musik itu bukan buat hiburan tapi kita bisa mengekspresikan diri,” ucap lelaki yang akrab dipanggil Fikridzul ini.
Fikridzul melanjutkan, Arrington di belakang panggung mengungkapkan kepada semua personel untuk mengeluarkan semua potensi dalam diri mereka. Pertunjukan mereka adalah berupaya untuk merespons energi di atas panggung. Setiap personel harus mampu peka melihat gestur dan gerakan untuk bisa direspons menjadi bebunyian. Latihan pada pertunjukan ini tak ubahnya hanya saling ngobrol untuk bisa menyatukan energi antar personel.
“Main musiknya itu saya sebenernya gak tahu mau main apa. Aku cuma merespons suara tueeet tueet (suara terompet Arrington), kayak gitu-gitu kan udah kepikiran di gua ya mainin drum kayak gitu,” ujarnya.
Pemain seni reak dari grup Juarta Putra, Anggi Nugraha mengungkapkan bermain di Synchronize Festival bersama Arrington De Dionyso adalah bagian dari doanya yang terkabul. Diketahui grup seni tradisi Bumi Pasundan itu sudah pernah bermain di event internasional. Termasuk event Roskilde Festival yang termasuk festival musik dan budaya terbesar yang ada di Denmark.
Anggi mengaku sedih ketika seni tradisi reak yang adiluhung kurang mendapat apresiasi dari masyarakat sekitar, namun mendapat apresiasi lebih dari dunia internasional. Banyaknya sentimen negatif mengenai seni reak membuat kesenian ini jarang bermain di tanah airnya sendiri. Berkesempatan bermain di Synchronize Festival, menurutnya, merupakan momentum untuk mempromosikan kembali seni reak dengan cara yang segar. Pada penampilannya kali ini, Anggi pun menggandeng komunitas Bandung Thimoer Art of Reak.
“Kita kan murni bawa reak seperti kayak kemarin itu, musiknya kayak gitu (ke Denmark). Nah waktu pulang itu berpikirlah, kenapa kita sudah sampai disanjung ke Denmark tapi kenapa di Indo atau di Bandung lah, di kotaku itu kurang banget apresiasinya. Karena memang event di kita itu agak-agak susah untuk ngebaur karena banyak negatif-negatif tentang seni budaya di kita gitu,” ucap Anggi saat diwawancara.
Perkenalan dengan Arrington, disampaikan Anggi, sebetulnya sudah lama lewat media sosial. Ia mengaku mendapat kebanggaan ketika ada bule yang mengapresiasi seni budaya yang ia geluti. Dengan bisa bermain bersama Arrington di festival musik besar seperti Synchronize, menurut Anggi, adalah bagian dari upaya untuk meruntuhkan stigma negatif tentang seni tradisi yang kerap dicap bikin rusuh.
“Maka dari itu ketika ada kesempatan untuk main di Synchronize ini cukup untuk mendobrak kembali dan mengubah pandangan masyarakat luas. Yang minimal masyarakat bisa mengakhiri stigma negatif ini dengan bisa mengapresiasi karena ini sudah menjadi contoh, ketika sudah ada orang bule seperti ada Arrington, yang tiba-tiba mencintai seni kita gitu sudah menjadi contoh agar orang-orang di kita lebih bisa menghargai cipta karya leluhur kita gitu,” ujar pemuda asal Cileunyi tersebut.
Selepas pertunjukan itu, saya pun menemui Arrington di backstage. Dia tampak penuh keringat setelah menjalankan pertunjukan selama satu babak pertandingan sepak bola tanpa jeda tersebut. Ia pun menceritakan bahwa Singo Sembrono adalah proyek lanjutan setelah Malaikat Dan Singa rampung. Proyek ini dimulai tahun 2017 dengan menggandeng Fikridzul atas saran setengah dari Senyawa, Rully Shabara.
Pada tahun-tahun itu, Singo Sembrono tampil untuk beberapa acara di Jakarta. Termasuk di antaranya bermain di Ruang Rupa dan juga di @america. Setelah pandemi usai, muncul keinginan besar dari Arrington untuk kembali lagi ke Indonesia. Hingga muncul panggilan telfon dari Fikridzul yang mengajaknya untuk bermain di Synchronize Festival. Setelah muncul beberapa obrolan, lahir ide untuk menghadirkan seni reak pada pertunjukan Singo Sembrono.
“Mas Fikri bilang, ‘Hai Mas, kita menyelenggarakan sebuah festival besar. Bisakah kamu datang ke Indonesia untuk festival itu?”. Dan saya bilang, ‘Oh ya, kalau kamu bisa menyelenggarakannya, saya bisa datang kapan saja karena saya cinta Indonesia’. Saya suka bermain dengan reak, dan saya kenal Juarta Putra, kami berteman di Instagram, kami mengikuti Instagram-nya selama bertahun-tahun karena kami punya teman sama dari Italia, Luigi. Mereka menyelenggarakan banyak konser untuk Juarta Putra dan saya tentu ingin berkolaborasi dengan mereka. Dan saya bermain dengan mereka,” kata Arrington jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Mengenai konsep pertunjukan, Arrington menegaskan bahwa konsep garis besarnya adalah kolaborasi. Setiap personel yang memainkan ditekankan untuk bisa mampu berimprovisasi. Sebelum naik ke atas panggung, setiap personel diajak berbicara dari hati ke hati untuk bisa menghasilkan sesuatu yang disebut oleh Arrington sebagai suara rahasia. “Hanya sedikit diskusi kemarin dan hanya ada satu latihan. Tapi kami ngobrol banyak dari musiknya, spiritual dari konsep dari suara rahasia, suara mistik,” ucapnya sambil tersenyum.
Konsep berkolaborasi dengan seniman tradisi, disampaikan oleh Arrington, ditemukan saat ia menjalani tour bersama Malaikat dan Singa di tahun 2011. Saat berkunjung ke Malang dan Mojokerto, Arrington melakukan banyak eksperimentasi dengan kelompok Jathilan. Atas pengalaman tersebut, Arrington menjadi ketagihan untuk berkolaborasi dengan kelompok seni tradisi setiap manggung di Indonesia.
Diketahui bahwa nama Singo Sembrono memiliki makna Singo yang menjadi kecintaan Arrington atas cerita Reog Ponorogo dan Sembrono adalah pemaknaan Arrington atas ekspresi gila-gilaan. Arrington mengaku cukup puas dan senang bisa bermain di perhelatan Synchronize Festival. Terlebih bisa berkolaborasi dengan seni reak yang sudah lama ia pantau dari jauh. Disampaikan pula oleh Arrington, bahwa Synchronize Festival merupakan big festival terbesar yang pernah ia bermain di dalamnya.
“Karena spirit membawa saya kemari, spirit saya membawa kepada experience musik,” ujarnya.
******
Membicarakan tentang kiprah Arrington De Dionyso di Indonesia, tentu kualat jika tak bertanya pada David Tarigan. Sosok yang selalu ditemui memakai topi Peaky Blinders ini mengungkapkan mengenal Arrington dari Alan Bishop. Pada perjumpaan di Indonesia tahun 2009, Alan mengenalkan Arrington karena lagu-lagunya bergaya tentang Indonesia. Alan pun waktu itu ingin membawa Arrington untuk bermain di Indonesia.
“Di 2009, Alan itu bolak-balik ke Indonesia. Dia bilang, ada anak datang ke gue, namanya aja sudah aneh banget, namanya itu Arrington De Dionyso. Dia dari Olimpia. Dia ngasih advance copy ‘Malaikat Dan Singa’ yang saat itu belum dirilis resmi. Waktu itu masih putih ketikan, tapi udah keluaran K Records,” ujar David saat diwawancara via telefon.
Setelah dikenalkan dengan Arrington, David pun langsung kepo tentangnya. Setelah dipelajari ternyata Arrington pada dasarnya punya unsur indie rock dan sudah punya band bernama Old Time Relijun dan dirilis oleh K Records. Meskipun bisa dibilang Malaikat Dan Singa adalah proyek pribadi Arrington, yang menarik bagi David adalah hal itu ditampilkan dalam format band.
“Dan ini formatnya tetep ngeband gitu yah. Tapi jejak ke-Indonesia-annya tetap ada gitu. Entah dari liriknya, cara dia berekspresi, yang seringkali bagaikan dalang gitu. Waktu itu dan dia mulai ada menginkorporasi throat singing yang sudah dikenal di Nusantara kayak gitu kan,” ucapnya.
David menjelaskan yang menarik dari Arrington adalah dia menampilkan gaya Indonesia namun tidak plek Indonesia. Arrington tetap mencampur-campurkan beragam genre musik yang menghadirkan eksperimentasi yang unik. Dalam prosesnya, Arrington jadi tidak mencoba menerjemahkan Indonesia utuh seperti di google translate. Arrington masih belajar lagi tentang Indonesia yang diolahnya hingga menghadirkan karakter yang genuine. “Menggabungkan kesadaran dari banyak era untuk menyampaikan kekinian. Bahkan dari gaya dia itu lucu sebenarnya. Juga penerjemahan dia ke bahasa Indonesia juga jadi lucu. Ada ekspresi baru yang sebelumnya belum ada dalam syair Indonesia sebelumnya,” tambahnya.
Perkenalan dari Alan Bishop itu berlanjut dengan kedatangan Arrington yang dijembatani oleh founder Yes No Wave Music yaitu Wok The Rock. Di kisaran tahun 2010-2011, Arrington langsung datang membawa kesegaran musik di Indonesia. Referensinya dari Amerika menjadi khazanah baru dalam musik Indonesia. David yang saat itu masih penyiar di Oz Radio, langsung melakukan wawancara dengan Arrington dan ngobrol tentang banyak hal.
Di tahun-tahun itu, Arrington pun terus main di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan banyak lagi. Saat bermain di Ruang Rupa, banyak insan musisi yang hadir dan terinspirasi dengan penampilan Arrington. Sikap Arrington yang ramah dan mudah berbaur membuatnya sangat disukai oleh banyak orang. “Waktu pertama datang, makanya sama Wowok, dia itu siapa yang datang boleh ikut sama dia. Dia bagian dari performance-nya dia lah. Dia emang selalu kayak gitu modelnya. Makanya dia itu ganti-ganti terus personelnya. Makanya terjemahannya bisa macam-macam. Waktu itu, dia bareng sama Wukir, Wukir masih dengan Bambu Wukir, terus satu paket sama Terbujur Kaku dan segala macem ikut live,” ucap David berkisah.
Cara merespons budaya tradisi dengan gaya kontemporer ini, bagi David sesuatu yang menarik. Tidak utuh menampilkan tradisi namun tidak pula melanggar norma-norma tradisi tersebut. Hal semacam inilah yang saat ini rasanya banyak diadopsi oleh banyak musisi kontemporer di Indonesia. Sejak saat itu, Arrington De Dionyso, selalu ada di kepala David dan ingin menghadirkannya di Synchronize Festival. David yakin ketika tampil di Synchronize, Arrington pasti memberikan sebuah kejutan untuk perhelatan ini.
“Kalau kenapa mau dibawa, alasannya yah pada dasarnya, bule yang membawa spirit lokal. Walaupun itu narasi pribadi dia gitu loh. Tapi ada Indonesia, mau bagaimana pun juga. Dan dia bawa sedemikian rupa. Yang gue seneng itu ketika ditawarin main di Synchronize, dia bikin sesuatu yang buat Synchronize. Dan itu yang kita lihat kemarin. Itulah menariknya, seorang seniman seperti Arrington, yang bisa macam-macam,” kata David.
Spirit dari Arrington, kata David, memang sesuai dengan apa yang dijalankan Synchronize. Yaitu sebagai penyambung dan titik temu musisi dan khalayaknya. Arrington adalah sosok bule yang mengekspresikan keindonesiaan dengan cara dia sendiri dan semua orang bisa relate. Tema Synchronize “Together Bersama” pun menurut David menjadi utuh dengan kehadiran Arrington di barisan penampil.
“Yang gue expect dari Arrington itu terjadi pada dasarnya gitu sih. Satu set panjang, kayak sebuah trip, sebuah perjalanan yang menghadirkan dinamika yang cukup nggak lazimlah untuk penonton Synchronize. Segala macam perasaan yang dibangun itu sih berhasil,” ucap David yang merupakan tim program Synchronize Festival.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Adrian Khalif – HARAP-HARAP EMAS
Jika menghitung dari awal kemunculannya dengan single “Made in Jakarta”, Adrian Khalif dapat dikatakan butuh waktu 7 tahun untuk sampai di titik tenar lewat perilisan single “Sialan” kolaborasi bareng Juicy Luicy. Itu pun berproses …
Mr. Whitesocks Mengadaptasi Musik Emo dan Math Rock di Karya Perdana
Mr. Whitesocks asal Malang resmi merilis karya perdana mereka berupa 2 single sekaligus yang bertajuk “Sticky Notes” dan “She/Her” di hari Kamis (21/11). Di karya ini mereka mencampur gaya musik emo dan math rock. …