Wawancara Eksklusif Godplant: Unit Sludge Metal Hari Ini

Oct 31, 2024

Pernah dengar tentang genre sludge metal? Salah satu turunan genre metal ini mungkin memang belum begitu populer di telinga pendengar musik, namun jika kalian ingin mencari local hero untuk genre ini, ada Godplant dari Jakarta yang mungkin banyak dikenal orang lewat t-shirt mereka yang kerap dikenakan oleh seorang komika.

Band yang terbentuk tahun 2013 di sebuah kampus ini mengawali karier dengan menjadi pengisi acara kampus mereka. Selama menjalani karier bermusik, Godplant sudah mengantongi 2 album penuh yaitu Turbulensi (2018) dan yang paling baru bertajuk Aljabar.

Dalam merayakan peluncuran album Aljabar, Godplant juga sempat mengadakan pesta perilisan sang album sekaligus pameran di Yesterday Backyard tanggal 24 dan 25 Agustus 2024 lalu. Karena bertabrakan dengan jadwal liputan lain, sangat disayangkan Pophariini harus melewatkan perhelatan ini.

 

Suasana pesta peluncuran album Aljabar / Dok. Tyo Nugroho

 

Pophariini sempat menemui 2 personel Godplant yaitu Litong (vokal) dan Bahrul (bas) hari Kamis (24/10) di Studio Mentah, Bendungan Hilir. Mereka bercerita kepada kami bagaimana perhelatan rilis album Aljabar bisa terjadi.

Menurut Litong, yang paling menarik dari perilisan album Aljabar adalah pameran yang menampilkan pengembangan artwork karya Syams Riadio atau yang lebih dikenal sebagai Oldsunnnnn di sampul sang album. Dalam rangka untuk membawa karya Syams menjadi ‘nyata’ di pameran tersebut, Godplant bekerja sama dengan Fahri Aryanto dari Studio Mentah.

Fahri yang akrab disapa Ipang ini merupakan co-founder dari Studio Mentah dan merupakan junior dari para personel Godplant saat kuliah dulu. Keseriusan Ipang dan Studio Mentah akhirnya membuat para personel band memercayainya untuk membedah dan mengolah karya Syams menjadi sebuah instalasi yang bisa dipamerkan.

“Kalau gue bilang mumpuni agak gimana ya, rusak, mumpuni, tapi kacau, tapi indah untuk ditampilkan di acara launching party itu,” kata Litong.

 

 

Ipang yang kebetulan juga hadir di ruangan saat wawancara pun jadi sasaran kami untuk meminta keterangan. Menurut Ipang, gagasan membuat pameran di pesta perilisan sudah dibawa oleh Godplant sejak awal. Karena keseriusan Syams dalam membuat karya sampul Aljabar, Ipang tergerak untuk membuat pameran yang tidak biasa untuk acara ini.

“Gue cetuskanlah ide membuat wahana. Jadi tampilannya gak per lagu, tapi satu ruangan kami ubah. Jadi orang datang lihat pamerannya dulu, tau ambience-nya, baru dengar musik pas mereka naik panggung,” kisah Ipang.

Ketertarikan Ipang untuk membantu proyek ini karena melihat para personel Godplant memiliki latar belakang Desain Komunikasi Visual. Ia menilai, band ini melihat elemen visual itu sama pentingnya dengan musik yang mereka bawakan. Ipang menambahkan, mengingat jalur musik yang dipilih Godplant yang seolah tidak begitu populer, ide-ide dari para personel dirasa menjadi terobosan.

“Dengan keterbatasan biaya, akhirnya gue mikir justru enak banget karena Godplant kan ngambilnya sludge metal, underground. Justru gak perlu nampilin karya yang clean dan megah. Semuanya bisa diolah kok. Akhirnya kami pakai kardus, kawat, bahkan sampai di ruangannya aja panas, gak kami pasang AC, jadi panas, keringetan, dan orang berhasil nangkep konsepnya,” pungkas Ipang.

Setelah berbincang dengan Ipang, kami lanjut ngobrol dengan Litong dan Bahrul. Dalam sesi wawancara ini, kami kembali ke basic dengan membahas apa sebenarnya genre sludge metal sampai bagaimana strategi Godplant dalam memasarkan album Aljabar. Simak langsung di bawah ini.


 

Sebelum kita makin jauh, sebenarnya apa itu sludge metal?

Litong: Sludge metal itu kalau lo mendengarkan lagu yang heavy, gak harus ngebut. Kalau kita ngomongin dari referensi bandnya, bayangkan jika hardcore punk-nya Black Flag dicampur sama groovy dan heavy-nya Black Sabbath. Nah, Sludge adalah pencampuran dua itu. Jadi, kalau lo mendengarkan genre musik sludge, ibarat kata lo kejebak di lumpur, badan lo berat, tapi lo ingin berontak, kayak gitu.

Bahrul: Kalau menurut gue sih lebih ke ‘dark blues’ karena isiannya catchy. Dengan musik yang catchy dan vokal yang growl, itu yang menggambarkan si sludge sebenarnya kayak gitu. Jadi lebih metal yang bisa dinikmati ya, kalau kita bandingin sama technical death metal atau brutal death metal yang agak skillful. Kalau di sludge skillful itu kami memainkannya dengan cara yang berbeda.

Litong: Singkatnya, heavy but groovy.

 

Seingat gue, kalian awalnya pengin mainin musik grindcore. Kenapa jadi sludge?

Litong: Gak ada yang kuat mainnya. Gue napasnya gak kuat, si Gicing (drum) kelabakan, Bahrul juga bingung nyelarasinnya.

Bahrul: Memang saat itu belum ada referensi aja sebenarnya. Sedangkan akhirnya makin ke sini kan grindcore banyak yang di-twist kan.

Litong: Waktu itu influence terbesar kami Rotten Sound. Jadi kayak, “Anjir, mantep banget nih”. Ngebut, hajar, ternyata pas dimainin susah [tertawa].

Bahrul: Susah asli.

Litong: Sampai akhirnya kami waktu itu nge-jam Black Sabbath dijadiin metal. Dari situ.

Bahrul: Sabbath kan udah dengerin tuh. Terus masuk ke Sleep, Electric Wizard, sama Melvins, dan segala macam.

 

Kenapa milih Sludge Metal padahal genre ini belum begitu populer di awal perjalanan kalian? 

Litong: Pada era itu sih emang yang (mainin) stoner rock, doom (metal) beberapa udah ada. Cuma karena kami waktu itu juga kecantolnya sama Eyehategod, Electric Wizard. Kami kayak, “Gimana ya bikin (musik) se-groovy Eyehategod gitu”, dan belum ada nih, belum banyak lah intinya waktu itu. Akhirnya kami nyoba, nyemplung, bikin sendiri.

Bahrul: Sebenarnya pengin ngasih warna musik metal yang baru aja di Indonesia. Beberapa udah ada ya, kayak di Bandung apa namanya, Tong?

Litong: Oath. Tapi dia sludge-nya lebih dark kan, kayak Corrupted gitu.

Bahrul: Makanya kami kayak, “Ke Eyehategod kali ya”.

Litong: Dan lagi, kami kan waktu itu yang didengerin campur-campur, termasuk ada Melvins yang agak nge-grunge, ya udah kami kawinin.

Bahrul: Dan ternyata, sludge itu rumit tau.

Litong: Setuju lagi gue [tertawa].

Bahrul: Itu tergambar di Turbulensi sebenarnya. Di Aljabar, kami mencoba untuk tidak serumit itu karena kalau dengar Turbulensi, lo bisa suka album itu setelah beberapa kali dengerin full, baru lo tau arahnya. Nah di Aljabar akhirnya kami coba buat membuat compact si sludge itu, cuma gak lari dari ketukan drumnya.

Litong: Sebenarnya Aljabar juga rumit, tapi lebih tertata. Kalau Turbulensi memang kami waktu itu masih meraba lah, prototipe kan itu.

Bahrul: Sludge ternyata rumit, gak segampang itu. Maksudnya kami ngawinin hardcore punk, grunge dengan gitar yang catchy itu susah.

Litong: Kadang kalau terlalu mendayu, jadi terlalu blues. Terlalu stoner, metal-nya hilang, tapi harus ada metal-nya. Jadi gitu lah, rumus-rumus yang kayak gitu. Harus ada doom-nya, harus ada hardcore punk-nya.

 

Sebagai pelaku musik sludge, bagaimana kalian melihat perkembangan musik ini sejak kalian muncul?

Litong: Kami kan habis tur dan menyambangi beberapa kota. Ternyata di kota-kota lain, banyak juga yang memainkan musik seperti kami sebenarnya. Gue gak tau mereka terinspirasi dari melihat atau habis nonton siapa, tapi setelah gue ke beberapa daerah di Pulau Jawa kemarin sama anak-anak Godplant kayak salah satunya mungkin yang ter-highlight buat gue di Semarang. Ada band-band stoner, doom, anak-anak yang kasarannya kayak ‘Bongzilla mania’ tuh banyak. Ada kemarin band yang bagus menurut gue tuh Bad Preacher, Nakarma, sama ada namanya Khaleed.

Bahrul: Ternyata musik seluas itu ya di Semarang.

Litong: Sebenarnya militan, cuma mungkin kurang muncul di permukaan aja kali ya. Tapi kalau komunitasnya, banyak sebenarnya dan mereka semua mainnya menurut gue kemarin rapi-rapi.

Bahrul: Iya dan berangkatnya semua emang dari kampus juga sih. Kayaknya membuka cakrawala referensinya tuh memang dari kampus.

 

Apa yang ingin kalian tuju secara musikalitas di album Aljabar?

Bahrul: Ngerjain Gicing sebenarnya [tertawa]. Akhirnya kami tau, kami mainin sludge dan banyak dengerin bandnya, kuncinya tuh di drum. Ketukannya tuh aneh sebenarnya. Akhirnya kami bilang, “Cing, kayaknya album ini album lo deh”. Secara musikalitas akhirnya di situ. Secara gitar dan vokal, kami membuat lebih easy listening, jadi orang lebih cepat menangkapnya. Terus dari materi lirik, kami gak jauh dari tema di album Turbulensi, tetap sosial politik.

Litong: Gue tambahin, mungkin kalau dari Turbulensi, seperti kata Bahrul, pendengar akan lebih susah menikmatinya. Dalam artian 3 kali mendengarkan baru nyangkut gitu. Kalau di Aljabar, waktu itu impian kami tuh sebisa mungkin pertama kali orang dengerin, langsung nyangkut. Kompleks, ya kompleks, tapi gimana caranya kompleksitas itu bisa jadi sesuatu yang groovy tapi juga easy listening. Lebih tertata secara flow lagu dan segala macamnya. Jadi, pendengar bisa lebih enjoy dan kami ingin menampilkan kalau musik sludge bisa serapi ini loh. Sound kami kasar, tapi komposisinya bisa serapi ini loh.

 

Apa arti Aljabar dan kenapa menamakan albumnya itu? 

Litong: Aljabar itu sebenarnya dari bahasa Arab. Ngomongin rumus pemecahan masalah, notabene di sini tuh matematika. Cuma analoginya untuk di Godplant sebenernya gini, kan ini ada suatu masalah, permasalahan yang kalau menurut sudut pandang kami berempat adalah masalah sosial politik karena tema lirikal Godplant gak jauh dari itu. Permasalahannya di situ. Nah, kami kumpulin tuh permasalahannya. Kami rangkum, pemecahannya apa? Pemecahannya rumus matematikanya Godplant dengan materi baru dan juga rumus matematika di lagunya. Ini lagunya lebih berumus, lebih ngerjain Gicing, lebih ngitung, tapi kami tetap groovy dan sludge. Kurang lebih gitu. Ada permasalahan, kami convert, kami pecahkan pakai rumus lagu, terciptalah album Aljabar ini.

Bahrul: Lebih ngitung sih. Kuncinya itu-itu aja dengan nada yang berbeda. Gue tuh susah ngehafalinnya sumpah [tertawa].

Litong: Dia yang paling sering lupa lah.

Bahrul: Kami mencoba cari jalan tengahnya aja. Maksudnya (genre seperti) death metal kan memang gede banget di Indonesia, sedangkan kami tuh nyari gimana caranya bisa diterima di kalangan pendengar metal ini. Makanya kami mencoba membuat si Aljabar lebih kompleks tapi tetap compact.

 

Dilansir dari wawancara beberapa waktu lalu, gitaris kalian, Oyoy sempat bilang kalau produksi album Aljabar jauh lebih niat dari Turbulensi berkat tabungan dari penjualan merchandise. Seberapa pengaruh merchandise untuk kalian?

Bahrul: Sangat berpengaruh karena selama kami ngeband dari 2013 sampai Turbulensi keluar tahun 2018, kami gak ambil sepeser pun uang entah itu royalti, bayaran manggung, kami tabung buat beli alat-alat yang sekarang lo bisa lihat ‘ribet’ banget. Di Turbulensi, kami kayak, “Anj*ng, gue kayaknya butuh ini deh. Sound gue harusnya gini deh. Kayaknya gitarnya Oyoy harusnya ini deh. Bas gue harusnya yang jazz bass deh”. Nah itu udah ada uangnya dari merchandise pertama Turbulensi viral dipakai Oza Rangkuti. Itu berpuluh-puluh juta kami dapat. Walaupun kami gak minta ke Oza ya sebenarnya, organik aja.

Litong: Ya karena kami kan kenal sama Oza juga sebelum dia jadi stand up comedian. Dia udah punya bajunya jauh sebelum itu, dan memang kebetulan ternyata karena dia hobi pakai baju itu, terus hype-nya terbentuk sendiri. Itu pun setiap kali kami ngerilis merchandise ya selalu lumayan yang kami dapat. Apalagi pandemi gak bisa ngapa-ngapain tuh, itu kami sangat terbantu salah satunya ya dari penjualan merchandise.

Bahrul: Merchandise tuh kayaknya salah satu sumber pemasukan terbesar. Maksudnya buat band-band kayak Godplant.

Litong: Apa lagi band-band kayak kami, gak bisa dipungkiri massanya lebih militan sebenarnya. Kayak misalnya, pasar yang lagi muter banget untuk merchandise, ya rock dan metal.

 

Selain musik, apa sih yang ingin kalian sampaikan lewat lagu-lagu di album Aljabar?

Bahrul: Konteksnya tuh pengin bikin lirik atau lagu Godplant sebagai memori karena Litong bikin lirik gak jauh dari sosial politik dan isu yang sedang ada di saat itu. Jadi mungkin 10 atau 15 tahun ke depan tuh diharapkan para pendengar tau, kayak “Lari / Mati” sebenarnya ngangkat (Tragedi) Kanjuruhan kan. Kami pengin itu diingat. Mungkin nanti 15 tahun lagi, ada generasi baru yang dengerin Godplant bisa digging dan tau bahwa ada kejadian itu.

Litong: Ingin menyampaikan kemarahan kami sih sebenarnya di album Aljabar. Kalau lo perhatikan di album Turbulensi itu lirik-lirik gue masih lebih puitis. Kalau di Aljabar tuh total marah, tapi terkomposisi marahnya karena memang gue tuh dari dulu kan suka puisi, suka baca literatur, dan gue suka band-band yang memang liriknya puitis. Kayak misalnya lo dengar band-band atmospheric black metal liriknya indah, tapi lo marah. Nah, waktu itu pas sebelum album Aljabar ini terbentuk anak-anak kayak, “Kayaknya ini terlalu puitis deh, terlalu indah. Gimana kalau kita bikin antitesisnya”. Dan itu memang challenge buat gue, dan akhirnya terjadilah Aljabar ini dengan lirik yang lebih lugas.

 

Sebagai band yang punya latar belakang Desain Komunikasi Visual, ceritakan tentang visual album ini!

Litong: Kalau ngomongin visual, dari dulu Godplant punya prinsip gini, “Musik kita nih udah depresif, kalau kita kasih visual yang depresif lagi kayaknya akan, yang pertama puyeng, yang kedua ya udah, band-band sludge lain juga menggunakan visual yang kayak gitu”. Kami tuh suka banget, terutama mungkin gue sama Oyoy ya, suka sama gambarnya Frank Kozik di album Houdini-nya Melvins. Itu kan kayak gambarnya lucu, full colour, tapi banyak plot twist-nya gitu. Kepala anjingnya 2, terus ada karakter bebek aneh, yang gitu-gitu tuh kami suka banget. Dan ya memang itu yang pengin kami tampilin. Kalau misalnya dibilang, “Kok gambarnya lucu sih, kenapa gak pakai gambar yang dark?”. Jawabannya adalah, “Bosen men pakai gambar dark mulu”. Kalau dibilang, “Ih, gambarnya lucu ya”. Lo lihat lagi.

Bahrul: Ya itu yang akhirnya secara gak langsung berpengaruh sama yang tadi lo tanyain, penjualan merchandise. Ternyata dari artwork itu bisa nge-grab audience yang lebih luas, walaupun dia gak tau kami band, karena ada report dari Lawless Store, banyak yang gak ngeuh kalau Godplant itu sebenarnya band.

Litong: Kebetulan kami juga orangnya gak yang kayak, “Wah, lo pakai kaus band kita, sebutkan 3 lagu!’. Gak sih. Selama itu sama-sama menguntungkan, ya gak masalah juga menurut gue.

 

Terus gimana kalian bisa mendaulat Syams Riadio untuk mengerjakan artwork Aljabar?

Litong: Gue dulu punya dosen Ilustrasi Dasar dan Digital, namanya Mas Adikara. Dia orangnya seniman banget. Suatu hari nih orang bikin acara art camp gitu (namanya) Klinik Budaya Rupa dan Musik, di situ pertama kali gue ketemu sama si Syam. Dan ternyata si Syam ini muridnya Mas Adi juga karena Mas Adi punya tempat pembelajaran. Ya, akhirnya gue ngobrol segala macam. Sekian lama gue gak ketemu sama dia, ternyata dia sekantor sama Gicing. Terus akhirnya pertemanan itu berlanjut sampai akhirnya kebetulan dia juga gambarnya bagus, warna-warnanya striking juga, dan banyak plot twist yang disisipkan, tapi terkesan lucu, seram, dan apik. Kami cocok sama itu, ya udah, Syam aja, kenapa harus jauh-jauh nyarinya. Dan ternyata dia seniat itu bikin Aljabar. Sampai itu kalau lo tau kan ada banyak karakter, itu ada namanya semua. Dan dia tuh sampai punya buku panduan, kasarannya Graphic Standard Manual-nya lah untuk Aljabar. Untungnya buat kami adalah semua aset gambarnya si Syam itu bisa dipisah-pisah. Suatu saat kami mau bikin apa, tinggal re-layout aja dari yang ada. Dia mikir sampai segitunya, dan kami gak expect kayak, “Anj*ng, lo seniat ini. Bangs*t”.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by GODPLANT (@godplant.band)

 

Bahrul: Tanpa brief sama sekali tuh karena kami kan udah tau karakter dan personalnya dia seperti apa. Tapi dia sempat sih beberapa kali ikut kami manggung. Kayak kami main di Serang dan Bandung tuh dia yang nyupirin. Kayaknya dia melakukan pendekatan di situ. Jadi makanya karakter-karakter itu memang based on dia ikut kami. Jadi dia tau Godplant tuh gimana orang-orangnya.

Litong: Ternyata Syam udah bisa bertindak dan menerjemahkan apa yang kami pengin, bahkan lebih.

Bahrul: Dan untungnya Arian (Lawless Records) pun kayak, “Ini benar kalian? Bayar berapa?”, katanya gitu [tertawa]. Karena memang se-proper itu, seniat itu, dan kami tanpa revisi apapun.

Litong: Gue cuma ngasih lagu sama lirik, sisanya monggo terserah dia mau seliar apa.

Bahrul: Output-nya kayak sleeve CD Aljabar kan akhirnya dibikin booklet, itu Oyoy yang bikin lagi gambarnya satu-satu.

Litong: Ibaratnya kalau lo membeli album Aljabar tuh kayak membaca mini novel grafis kali ya. Jadi ada lirik, ada ilustrasi yang bercerita tentang lirik itu.

 

Di album ini kan ada 2 kolaborator ya, Daniel Mardhany di lagu “Monarki” dan Fatia Maulidiyanti orasi di lagu “Munafik”. Gimana kalian menentukan para kolaborator?

Litong: Sebenarnya waktu itu kami mencari, kolaborator untuk lagu “Monarki” tuh atas saran dari Arian. “Lo mau gak featuring sama satu musisi?,” katanya. Terus kami mikir siapa ya? Setelah mencari, secara pola pikirnya Arian kayaknya mending Daniel aja deh, lebih cocok dengan karakter vokal dia yang kayak gitu. Ya, kami ajak Daniel di proyek sludge yang ke-Kyuss-Kyuss-an ini karena waktu dia take vokal ada gue. Rasanya jadi cocok juga ya kalau dikawinin gini ternyata. Dan untuk Fatia, awalnya gara-gara dia pernah bikin acara KontraS Update di Studio Palem. Kami kenalnya di situ, akhirnya terjalin lah komunikasi. Saat kami nyari, Oyoy ngomong, “Gimana kalau Fatia?”. Terus anak-anak mikir, dia kan suka marah-marah sama speech gitu, cocok nih buat ngedumel-ngedumelnya.

 

 

Kalian beberapa kali menyebut Arian dari pihak label Lawless Records yang terlibat memberikan saran untuk penggarapan album. Seberapa besar keterlibatannya di album Aljabar?

Litong: Dia tuh sebenarnya di album Aljabar ini menjadi konsultan. Jadi setiap kami bikin lagu, kami lempar, dia dengerin. Kalau ada yang kurang, biasanya dia ngomong. Cuma kemarin, syukurnya di Aljabar gak banyak intervensi yang berarti sih. Dia tetap membebaskan kami, cuma dia menambahkan elemen-elemen yang memperkuat lagu tersebut. Arian tuh salah satu orang yang percaya sama artistiknya Godplant karena kebetulan kami berempat itu desainer. Jadi, kadang bagi tugas. Dia selalu bilang, “Gue percaya sama lo, gue tau hasilnya pasti oke”.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by GODPLANT (@godplant.band)

 

Strategi kalian dalam mempromosikan album Aljabar di era digital saat ini?

Bahrul: Sangat berat, tapi kami mencoba menjalaninya. Jadi gini, Aljabar keluar, kami berani bundling kaus dengan CD. Ini ngomongin fisik dulu ya. Karena kami belajar dari Turbulensi, kami tau merchandise Godplant dikenal seperti itu, dengan output artwork Aljabar yang secara gak langsung 11-12 sama Turbulensi. Makanya kami berani bikin bundling. Jadi CD sama kaus harus keluar, dan kami kasih experience lebih di CD itu, ada booklet, dan lain-lain. Sebenarnya banyak strategi yang diterapkan untuk album Aljabar. Satu, di Digital Streaming Platform gak keluar sebelum tur selesai. Di tur itu kami bawa merchandise, kaus dan CD, dan itu tetap kami jual bundling. Sebenarnya gambling, tapi kami jadi tau, seberapa banyak orang pecinta (rilisan) fisik, ternyata antusiasmenya lumayan tinggi.

Litong: Kalau gak salah kemarin dapat report juga dari Oyoy, sisa 30 (pcs).

Bahrul: Itu dampak dari kami menjalani tur.

Litong: Konsumen ini banyak tipe lah. Ada beberapa yang beli online, yang ternyata juga bagus.

Bahrul: Digital pun sekarang menurut gue akhirnya bisa dibikin dan disesuaikan dengan kemauan kita kan sebenarnya. Dari media sosial, DSP, semua bisa diatur sebenarnya, dan Godplant pun mencoba mengikuti itu, kayak tur kemarin kami ada VLOG. Ya, itu sebenarnya cara survive kami di era digital ini ya sebenarnya. Walaupun memang era sekarang kalau gue perhatikan, solois lagi merajai, dan itu lagu mereka bisa dibilang naik melalui TikTok, dan itu pun bisa kami ciptakan. Usaha ke situ gak ada salahnya dicoba, tapi masih bimbang. Bisa dibilang kami masih mencoba seorganik mungkin.

 

 

Litong: Tapi kalau misalkan itu terjadi, lagu Godplant ada satu yang viral gara-gara TikTok atau apa, kalau gue pribadi gak ambil pusing. Maksud gue, balik lagi, kalau misalnya itu terjadi dengan sendirinya, itu kan organik juga ya. Cuma kalau untuk mengusahakan ke situ, kami mau coba, tapi masih ragu-ragu.

Bahrul: Kami tau kami di tengah, untuk bisa sebesar itu. Kami tau permasalahannya bukan di situ. Ya gue agak pesimis juga sebenarnya kalau menerapkan berbagai cara pun gak bisa buat sebesar itu. Untuk saat ini ya.

Litong: Kalau gue percaya, cuma nanti ada waktunya. Jadi gue tetap menjalani sesuatu yang kami suka, output-nya pasti ada walaupun datangnya belakangan. Gak merugikan kami lah, gak ada salahnya dicoba. Mungkin ini jadi hal yang menyebalkan ketika lo punya band ‘indie’, terutama di Indonesia tuh, lo harus bertindak juga sebagai sosok agency untuk branding band lo segala macam.

Bahrul: Itu udah kelihatan sebenarnya kami mengusahakan itu saat join sama (podcast) Pelatar. Itu salah satu cara kami buat eksis di digital.

 

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

.Feast – Membangun & Menghancurkan

Hanya butuh 15 menit untuk jatuh cinta pada album .Feast, Membangun & Menghancurkan. Kekuatan lirik, musikalitas, hingga kolaborasi produser berpadu selaras

Danilla – Telisik (Lagi)

Versi ulang Telisik (lagi) ini menghadirkan kembali jejak awal perjalanan karya Danilla sekaligus jadi tribut untuk satu dekade yang penuh refleksi.