Menemukan Makna Hidup Lewat Musik The Cottons

Nov 13, 2024

Pernah bercita-cita sebagai seorang musisi namun keterampilan bermusik mandek, praktis menikmati buah karya musisi lokal merupakan alternatif sekaligus kegemaran tersendiri bagi saya. Entah sudah berapa kerabat menilai hobi ini sebagai kesenangan akan tren sesaat yang saya semogakan mereka keliru, menurut saya musik bukan lagi sesederhana hiburan, melainkan sebagai medium untuk memperkaya pengalaman.

Sebagai seorang mahasiswa semester akhir yang kian dekat menapaki titik permulaan perjalanan hidup, dilema akan keberhasilan masa depan merupakan sebuah fase yang tak terelakkan. Dalam situasi seperti ini, lagi-lagi musik hadir sebagai pelipur sekaligus pelengkap perjalanan, memberikan ruang ketenangan di tengah kegelisahan yang sesekali menghampiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, sederet nama musisi lokal bolak-balik bergantian menghiasi hidup dan meninggalkan kesan yang berbeda di setiap karyanya. Efek Rumah Kaca, misalnya, hadir membawa lirik yang tegas nan melawan seakan memantik energi yang menyala dan keberanian untuk bertanya apakah saya telah memilih jalan yang benar atau sekadar menjalani harapan orang lain.

Lain halnya dengan ramuan karya milik White Shoes & The Couples Company. Notasi vokal yang catchy dijahit rapi dengan gubahan instrumen yang kental akan nuansa sukacita dan fun, dengan mudah membangkitkan kenangan bahagia di kepala siapa saja yang mendengarnya. Karya mereka membawa saya sejenak ke luar dari kekhawatiran akan masa depan, seolah mengingatkan bahwa di tengah segala kesibukan dan tuntutan, hidup juga layak dinikmati.

Padahal, jika disandingkan dengan problematika hidup orang di luar sana, sepertinya kegelisahan yang saya hadapi tidak berarti apa-apa. “Berhenti mengira hanya aku yang paling pantas untuk mengeluh”— kutipan lirik Lomba Sihir tersebut menampar telak wajah saya, mengingatkan bahwa setiap orang punya beban yang tak terlihat. Bait tersebut sekaligus memberikan sinyal kepada saya bahwa kegelisahan ini adalah hal yang manusiawi, bukan sesuatu yang hanya saya sendiri rasakan.

Di tengah kesadaran tersebut, musik kembali menjadi ruang pelarian dan refleksi bagi saya. Mengingat ini telah menjadi hobi, mengeksplorasi karya musisi lain menjadi langkah yang tidak pernah saya sesali untuk menghalau keresahan yang tersisa. Media sosial, platform streaming musik, hingga rekomendasi teman seolah menjadi jembatan untuk menemukan karya-karya baru yang sebelumnya tak pernah mampir di telinga.

Hingga pada satu masa, ketika saya menyaksikan repostan Instastory salah seorang drumer ibukota dengan julukan —drumer dengan seribu band— yang tengah mengiringi sebuah band di gelaran festival musik, memperlihatkan antusiasme penonton yang saat itu tengah bernyanyi syahdu menjelma bak paduan suara. 

Seketika lantunan yang dihasilkan penonton saat itu diproses dan diterima dengan mudahnya oleh jaringan otak saya. Lagu itu terpatri jelas di kepala sehingga menggerakkan hati saya untuk lebih lanjut menelusuri siapa musisi di balik karya indah tersebut.

Tak perlu waktu panjang, lewat beberapa Instastory selanjutnya dari sang drumer pengganti, terungkaplah siapa ‘juru masak’ dari lagu itu. Sebuah nama yang asing di telinga saya, pun dengan karyanya, mereka adalah The Cottons.

 

The Cottons di Jakarta International Coffee Conference, 23 Oktober 2024 / Dok. Irvine Althaf Fulca

 

Segera membuka platform musik dan mencari nama musisi merupakan refleks terbaik saya. Saat lagu “Harapan, Pt. 3” diputar, separuh durasi lagu sudah berhasil mengubah rasa penasaran saya menjadi kekaguman. Melodi yang The Cottons hadirkan ternyata penuh kedalaman, seakan mampu membawa saya berkelana dalam cerita-cerita yang mereka sampaikan. 

Dengan banyak mengadopsi musik pop Indonesia tahun 70an, The Cottons datang sebagai warna baru dalam katalog musik saya. Melodi dan lirik mereka mengalir deras nuansa nostalgia, memadukan kehangatan musik era dulu dengan aransemen modern yang relevan. Setiap kali mendengarkan “Harapan, Pt. 2”, timbul perasaan nyaman yang sulit dijelaskan, musik mereka seakan melapisi perasaan resah saya dengan lembutnya ketenangan.

“Tinggi anganku dan harapan juga / Sendiri diam seakan lupakan semua / Ku mencari makna dalam setiap asaku.” (Harapan, Pt. 1)

Secara personal, The Cottons mencerminkan perjalanan batin yang mendalam. Lirik yang ditulis seolah menggambarkan hasrat untuk mencapai sesuatu yang besar meski harus melewati kesendirian. Karya mereka menjadi pengingat bahwa harapan seringkali berdampingan dengan keraguan, membuka pemahaman saya akan makna di balik ambisi dan pencarian diri. The Cottons membuat saya merasa ditemani dalam setiap langkah untuk memahami setiap asa yang saya miliki.

Selain memupuk sikap optimisme dalam penggalan lirik “Doa dan harapan kan selalu bersama”, karya The Cottons, terutama EP Harapan, sekaligus menjadi serangkaian emosi yang saya resapi sepenuh hati. Setiap materi di EP tersebut mengalirkan kisah dan perasaan yang seolah menggambarkan berbagai fase kegelisahan, harapan, dan pencarian diri yang pernah atau sedang akrab di pikiran saya. 

Seperti teman yang setia mendengarkan tanpa menghakimi, musik The Cottons menghadirkan ruang aman untuk merenung, mengurai keresahan, dan akhirnya menerima bahwa hidup memang penuh dengan lika-liku yang tak terduga. Di saat-saat itulah, saya mulai memahami bahwa setiap perasaan, termasuk kegelisahan, memiliki tempatnya sendiri dalam perjalanan ini. Pada akhirnya, mungkin yang perlu dilakukan adalah terus melangkah, menerima setiap emosi yang hadir, dan percaya bahwa semua akan menemukan jalan dan jawabannya masing-masing.

Sebagai seorang yang menjadikan musik sebagai tempat pelarian sekaligus refleksi diri, menikmati dan menyanyikan lagu The Cottons dengan lantang di tengah kerumunan akan menjadi pengalaman yang mengesankan. Kesempatan untuk merasakan euforia tersebut semakin nyata dengan kembali hadirnya Joyland Festival 2024 oleh Plainsong Live.

Di festival ini, menyatu dalam kerumunan dan melantunkan lirik magis milik The Cottons dengan lantang menjadi semacam pelepasan emosional untuk saya. Joyland Festival 2024 bukan hanya sekadar acara musik, tetapi juga manifestasi dari ruang untuk berkumpul, berekspresi, dan merayakan kebersamaan.


The Cottons akan mengisi panggung Joyland Festival Jakarta hari Sabtu, 23 November 2024 di GBK Basketball Stadium Senayan.  

 

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Dirty Racer Buktikan Cinta Sejati Itu Ada Lewat Single Vespa Merah

Setelah merilis single “Percaya” dan “Untitled” pada 2015, unit pop punk asal Lampung, Dirty Racer kembali dengan yang terbaru dalam tajuk “Vespa Merah” (08/11).     Dirty Racer adalah Galang Rambu Anarki (vokal, bas) …

Circle Path Memaknai Candaan Jadi Hal yang Serius di Single Teranyar

Setelah merilis single “Down In The Dumps” tahun lalu, Circle Path melanjutkan perjalanan mereka lewat peluncuran single anyar “Take This As A Joke” hari Senin (11/11). Pengerjaan single ini dilakukan secara independen dan mereka …