Jiwe The Kick: Bukan dari Jogja, Kami Selalu Mengenalkan Diri Band Kotagede

Rintik hujan mengguyur kawasan selatan Yogyakarta. Di antara deretan pertokoan, gang-gang kecil, dan bangunan tua, warga sibuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, para pedagang menawarkan beragam hasil bumi, rempah-rempah, hingga jajanan tradisional yang menggugah selera. Sementara itu, para pemuda sudah terlihat berdandan rapi, entah mereka akan menikmati sore di setiap sudut kota atau hanya nangkring di selasar jalan raya.
Pemuda yang saya temui dikenal dengan gaya khasnya: serampangan, liar, dan banyak tingkah diatas panggung. Pemuda berusia 29 tahun, kacamata hitam yang selalu berada menempel di wajahnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan tas selempang yang ia bawa. Ia bernama Tegar Aji Wibowo atau yang akrab disapa Jiwe, vokalis The Kick sekaligus pentolan kolektif Bigcity Noisy Club.
Saya bertemu di kedai kopi Westpash, tempat biasanya anak anak The Kick nongkrong. Kedai ini terletak di pojok pasar legi Kotagede. Pada saat kami bertemu, Jiwe banyak bercerita tentang The Kick, pinggiran, dan kehidupan anak muda di tanah kelahirannya.
Terbentuknya The Kick tidak bisa dilepaskan dari fenomena yang terjadi di kampung halaman mereka, sebuah kecamatan yang berada di pinggiran kota Yogyakarta. Setiap kali tampil di atas panggung, The Kick kerap memperkenalkan diri sebagai band yang berasal dari Kotagede. Menurut Jiwe banyak fenomena yang terjadi di Kotagede, yang kemudian diangkat menjadi sebuah lagu. Salah satunya melahirkan album pertama Suburban Terror.
“Kotagede itu punya banyak problem-problem kayak intoleransi, perpecahan politik, ketimpangan sosial, banyak pemuda yang tidak mendapatkan kesempatan untuk kuliah atau orang tua bekerja juga seadanya. Kami merangkum itu semua di album pertama kami.” Ujar Jiwe.

The Kick saat melakukan sesi foto di studio / Dok. Octa AF
The Kick pada awalnya hanya menjadi band yang sering tampil di gigs seni rupa di berbagai kampus seperti ISI, UST, dan UNY. Karena berada di lingkungan seni rupa dan punk, mereka memulai ngeband dengan meng-cover lagu-lagu Ramones sebelum pada akhirnya mengembangkan identitas musik mereka sendiri.
Sementara itu, di luar panggung The Kick kerap nongkrong atau menjadikan Angkringan Mengki dan warung sate kambing Kang Moeh sebagai titik kumpul saat tur. Warung yang dimiliki oleh Mengki (drummer The Kick) ini terletak di depan pasar, sehingga membuat mereka lebih dikenal di kalangan pedagang.
“Malah kadang orang-orang yang jualan di depan pasar pada nanya ‘Mau main di mana?’, jadi kami malah terkenal di lingkungan pasar” jawab Jiwe.
Perseteruan antara The Kick dan The Jeblogs terbukti cukup ampuh, dibuktikan dengan meledaknya jumlah penonton di acara ArtJog. Hal ini terlihat saat kolektif BigCity Noisy melakukan invasi pada Selasa (30/07/24) di Jogja National Museum. Meskipun demikian, Jiwe sesekali merasa jengkel karena perseteruan tersebut terbawa hingga ke dunia nyata.
Bigcity Noisy Club
Kelahiran The Kick bersamaan dengan kolektif Bigcity Noisy Club sekitar tahun 2016. Kolektif ini berawal dari perkumpulan anak muda yang sering nongkrong di Kotagede, di mana beberapa di antaranya tergabung dalam grup musik seperti The Kick, The Genk, Kopi Loewak, Lakang Tirek, dan lainnya.
Pada awalnya, Bigcity Noisy Club hanya berfungsi sebagai wadah untuk berkumpul dan berdiskusi tentang musik, kehidupan anak muda, serta pergerakan sederhana. Namun, seiring waktu, ruang ini berkembang tidak hanya sebatas gigs, tetapi juga menjadi tempat bagi anak muda di Kotagede untuk menginisiasi berbagai aktivitas, termasuk pameran dan kegiatan kreatif lainnya.
“Kami awalnya dulu tuh bukan orang-orang Kotagede, tapi kami membentuk kolektif untuk menaungi band-band yang tidak punya skena di tempatnya atau band-band yang mau rilis. Terus pada akhirnya mereka merapat ke selatan” pungkas jiwe sembari menghisap sebatang rokok.
Bigcity Noisy Club sempat mengalami vakum akibat perbedaan pandangan diantara anggotanya. Namun, pada tahun 2021, kolektif ini kembali aktif bersamaan dengan perilisan EP Suburban Terror dari The Kick. Momentum kebangkitan mereka ditandai dengan diadakannya gigs bertajuk Warming Up, yang menjadi titik awal kembalinya aktivitas kolektif tersebut.
“Kami come back lagi sewaktu pandemi. Ketika band ku merilis EP, kami nekat bikin acara offline di pinggir jalan sini.” Pungkasnya

Record Store Day YK ’24 / Dok. Octa AF
Pada tahun 2024, Bigcity Noisy Club juga turut meramaikan Record Store Day Yogyakarta dengan menggelar pameran bertajuk “Goreng Cover”. Pameran ini bertujuan untuk menjembatani seniman visual dalam merespons cover rilisan fisik dari 20 band secara acak, sesuai dengan interpretasi masing-masing seniman.
Dari Selatan ke Utara
Sudah menjadi rahasia umum bahwa skena musik di Yogyakarta terbagi menjadi dua wilayah: selatan dan utara. Secara historis, skena musik di selatan didominasi oleh seniman dan mahasiswa seni. Hal ini dipengaruhi dengan adanya kampus Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) yang menjadi pengaruh besar bagi ekosistem musik yang tinggal di selatan. Selain itu, skena musik di selatan dikenal dengan kreativitas dan kemampuannya dalam menghasilkan karya yang identik dengan eksperimentasi, kesenian, dan sikap politik, tetapi sering kali mengalami kesulitan dalam aspek penjualan.
Sebaliknya, skena musik di utara lebih berorientasi pada industri dan musik untuk pesta, dengan tingkat eksperimentasi yang lebih minim. Di wilayah utara memiliki karakter yang lebih konsumtif dengan daya beli yang tinggi, hal ini dipengaruhi oleh banyaknya mahasiswa dari luar daerah serta pekerja yang memiliki ketertarikan terhadap musik indie.
Jiwe memandang industri musik lebih berpotensi di daerah pusat kota atau wilayah utara. Sementara itu, selatan lebih berfungsi sebagai “dapur” untuk para seniman yang ingin bereksperimen, belajar, dan menciptakan karya. Menurutnya, memahami strategi industri musik yang efektif mengharuskan belajar dari ekosistem yang berada di wilayah kota atau utara Yogyakarta.
“Kalau di sini tuh (Selatan) didominasi sama akamsi, terus pola komunikasinya udah beda. Di selatan tuh hura-hura, seneng-seneng, ngeband, mabuk, sama gak terlalu mikirin pasar”. Jawab Jiwe.

The Kick saat manggung di Nonformal Festival 23 Desember 2024 / Dok. Octa AF
Pengalaman ini juga berpengaruh pada saat The Kick mulai dikenal di skena musik Jogja dengan terlibat dalam berbagai gigs, hingga akhirnya mereka berinteraksi dengan banyak kolektif musik di wilayah utara. Di sana, mereka menemukan ekosistem industri musik yang berorientasi pada penyebaran karya yang lebih serius.
Dari pertemuan dengan komunitas di utara, The Kick mulai memahami bahwa merilis lagu bukan sekadar mengunggahnya di Spotify. Ada banyak tahap yang perlu dipersiapkan, seperti aktivasi pra-rilis, tur, hingga pengiriman press release ke media.
Dengan adanya interaksi yang dijalani The Kick dengan berbagai pelaku, pegiat, dan penikmat musik dari berbagai tempat turut membentuk budaya srawung di skena musik Jogja. Lebih dari sekadar ajang kumpul, srawung juga menjadi ruang bagi siapapun untuk merasakan, belajar, dan mencari inspirasi dari pelaku, pegiat, penikmat musik, serta komunitas lainnya. Semua hal dapat dibicarakan dan dipelajari di ruang ini, menjadikan srawung sebagai bagian penting dari perjalanan ekosistem musik Jogja.

Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Souljah RIlis Album Baru Sounds of Souljah Berisi 12 Lagu
Setelah meluncurkan 4 single yaitu “Belajar Tumbuh”, “Libur Sejenak”, “Cogil“, dan “Badut Cinta” tahun 2024 lalu, Souljah kembali dengan materi terbaru album keenam berjudul Sounds of Souljah (21/02). Album ini menampung 12 …
Eros Tjokro Luncurkan Single Baru tentang Kekaguman
Setelah meluncurkan single “Seperti Dulu” Oktober 2024, Eros Tjokro balik lagi dengan karya terbaru yang diberi judul “Meski Untukmu Ku Tak Pernah Ada” (07/03). Melalui siaran pers, Eros mengatakan lagu “Meski Untukmu …