Akad dan Hak-hak Yang Tak Selesai*

Oct 17, 2017

Is, vokalis Payung Teduh, mungkin tidak perlu menumpahkan kekesalannya di Instagram. Hanin Dhiya, penyanyi spesialis lagu-lagu milik orang lain, juga tak harus capek-capek membuat video klarifikasi. Para netizen yang budiman tidak mesti menghabiskan energi berdebat dalam silang sengkarut lagu “Akad” milik Payung Teduh yang belakangan jadi hype mereka yang kebelet kawin.  Tentunya jika semua paham bagaimana hak cipta bekerja.

Di Indonesia, saat ini hak cipta diatur dalam Undang Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Secara sederhana hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Hak cipta ini terdiri dari hak moral serta hak ekonomi yang melibatkan pencipta, pengguna ciptaan, dan pihak ketiga. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan dalam bentuk royalti. Sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun.

Suka tidak suka, industri musik Indonesia dibangun dari pelanggaran demi pelanggaran hak cipta. Keputusan keluar dari  Konvensi Berne pada tahun 1958 ditengarai sebagai pemicu. Kebijakan yang dikeluarkan Perdana Menteri Djuanda tadi akhirnya berimbas ke industri musik tanah air. “Keputusan keluar dari Konvensi Berne bermakna karya asing tidak dilindungi di Indonesia. Bukan hanya musik namun buku dan lain-lain yang terdaftar dalam kategori karya yang terlindungi hak cipta,” jelas Candra Darusman, musisi yang sejak tahun 2001 menjadi representasi Indonesia di World Intellectual Property Organization, sebuah organisasi PBB yang khusus  menangani pembangunan sistem Hak atas Karya Intelektual.

Candra mengungkapkan meski Indonesia sebetulnya mendapat manfaat terbukanya akses ke berbagai literatur, namun hal tersebut tetaplah tidak etis. “Kalau itu mau dibilang ‘keuntungan industri musik’ ya itu bisa saja, namun tentu itu tidak etis. Yang jelas ada royalti yang tidak dibayarkan.”

Pelanggaran hak cipta di Indonesia mencapai titik nadir ketika Bob Geldof mengecam pemerintah karena membiarkan peredaran kaset bajakan konser Live Aid  yang diselenggarakannya untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia pada tahun 1985 silam. Pemerintah merespon dengan melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dengan UU Nomor 7 Tahun 1987. Keikutsertaan di Konvensi Berne kembali diratifikasi pada tahun 1997. Lalu di tahun 2002, keluar UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Meski peraturan sudah disempurnakan berulang kali, penegakan hukum yang lemah membuat pembajakan tetap menggila. Laporan United States Trade Representative tahun 2016 menempatkan Indonesia sebagai Priority Watch List terkait pelanggaran hak cipta. Posisi Indonesia tidak berubah sejak laporan ini dikeluarkan tahun 1989 silam.

Dalam kasus Payung Teduh, Is mengakui pemahaman mengenai hak cipta memang masih rendah.  “Banyak pihak yang belum tahu. Selain itu juga keengganan seniman untuk berurusan dengan hal-hal tersebut,” ujarnya. Meskipun begitu, pihaknya sudah membereskan urusan lisensi lagu-lagu Payung Teduh, termasuk urusan hukumnya, sebelum ribut-ribut soal cover meng-cover tadi terjadi. “Seiring berjalan waktu kami mempelajari secara perlahan terkait hal tersebut dan ternyata memang sangat banyak yang perlu dipelajari bagi musisi-musisi saat ini. Saat ini kami juga tergabung Lembaga Managemen Kolektif Wahana Musik Indonesia,” beber Is.

Beberapa musisi kemudian memilih alternatif mendistribusikan musik kepada publik secara bebas lewat mekanisme Creative Commons . Creative Commons (CC) adalah organisasi nirlaba dari Amerika Serikat yang berupaya menyediakan perangkat legal dalam aktivitas berbagi konten secara online maupun offline. Upaya ini dilakukan agar jumlah ciptaan yang dapat dimanfaatkan kembali oleh pengguna ciptaan secara bebas dan legal semakin bertambah. Salah satunya adalah Efek Rumah Kaca

Sejak Agustus 2012, dua album pertama Efek Rumah Kaca, selftitled dan Kamar Gelap dapat diunduh gratis di website-nya. Dilanjutkan pada bulan November 2013 Daur Baur milik Pandai Besi dan ERK RMX dapat diakses secara bebas. Terakhir menjelang konser peluncuran album ketiga, pada 9 Januari 2016, Efek Rumah Kaca menggratiskan album terbarunya, Sinestesia. “Bukan semata melawan pembajakan. Kami ingin meluruskan anggapan gratis itu identik dengan kualitas yang kurang baik,” jelas Dimas Ario selaku manajer Efek Rumah Kaca.

Menurut Dimas, lagu-lagu Efek Rumah Kaca banyak digunakan untuk berbagai kepentingan non-komersial seperti untuk kajian skripsi atau tesis, kampanye pendidikan hingga sosial. “Rasanya tidak adil jika lagu-lagu kami digunakan untuk tujuan baik tanpa mereka pun tidak mendapatkan keuntungan material namun mereka harus membayar royalti sesuai ketentuan umum undang-undang hak cipta,”jelasnya. Namun dirinya mengatakan Efek Rumah Kaca juga menyebarkan karya pada berbagai gerai digital komersial seperti Spotify dan iTunes. “Itu mencakup tipe konsumen yang berbeda.”

Berbeda dengan hak cipta yang memberikan keuntungan finansial dalam bentuk royalti, keuntungan dalam lisensi Creative Common tidak semata dalam nilai nominal. “Keutungannya memang tidak langsung. Efek Rumah Kaca mendapat publisitas, jaringan serta relasi yang baik dengan media, yang pada akhirnya juga akan membuka peluang yang lebih besar untuk kerjasama bersifat komersial,” ujar Dimas.

Pada akhirnya, semua kembali ke mental penikmat karya. Toh album sudah digratiskan sekalipun, apresiasi hak moral yang layak masih ogah-ogahan dilakukan. Dari hal paling sederhana seperti membeli tiket pertunjukan, masih banyak yang berharap kebaikan teman panitia memberikan free pass. Atau malu mengakui gombalan 140 karakter di Twitter ternyata mencomot dari lagu milik band lain. Menyitir lirik “Biru” milik Efek Rumah Kaca, rasanya bukan hanya pasar yang perlu diciptakan, namun juga moral.

 

____

 

*Judul merupakan plesetan dari buku Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai karangan Goenawan Mohamad.

 

Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …