Alm. Naniel: Sosok Misterius di Balik SWAMI dan “Bento”
Iwan Fals gelisah, bernyanyi dan bermain gitar di bangku depan. Naniel menimpali, turut menulis lirik-lirik di bangku belakang. Mereka “jamming” dan “workshop” di atas Jeep yang meluncur dari Medan ke Lhokseumawe. Emosi sedang teraduk-aduk. Perjalanan tujuh jam pada Maret 1989, itulah cikal bakal SWAMI.
Naniel saat itu sedang menjadi wartawan surat kabar yang akan meliput, sementara Iwan Fals seharusnya memulai konser 100 kota di Palembang. Pertunjukan turnya dilarang. Iwan kecewa. Berkawan Naniel, yang juga seorang musisi/seniman, tumpahlah lagu-lagu barunya.
Sesampainya di Jakarta, Iwan Fals dan Naniel semakin sering intens bertemu untuk melanjutkan menggarap sketsa-sketsa lagu di Jeep itu. Hingga Iwan Fals mendatangi Sawung Jabo dan mereka membentuk band, mungkin lebih tepat disebut sebagai proyek musik. Jabo merekrut Inisistri (drum) dan Nanoe (bas)—kawan-kawannya di kelompok musik Sirkus Barock untuk memperkuat formasi mereka (pada rekaman juga terdapat Tatas mengisi keyboard dan Jerry mengisi gitar elektrik).
Iwan Fals mengusulkan “Sep Tik Teng” sebagai nama untuk kelompok itu, tapi nama SWAMI dari Sawung Jabo yang akhirnya dipilih. Semua lagu ditulis bersama oleh Fals, Naniel, dan Jabo, kecuali beberapa lagu di mana Fals menulis bersama salah satu di antara Naniel dan Jabo.
Singkat cerita, debut album SWAMI dirilis dan langsung meledak! Lagu “Bento” menjadi single yang terdengar di mana-mana.
“Namaku Bento / Rumah real estate / Mobilku banyak / Harta berlimpah / Orang memanggilku / Bos eksekutif / Tokoh papan atas / Atas segalanya /Asik!”
Pada 1989 saat album debut SWAMI dirilis, Iwan Fals sudah menjadi nama besar, sudah bisa “menuhin stadion”, wajahnya digambar di tembok-tembok, dan anak-anak muda dengan telaten mengoleksi kaset-kasetnya, selain menyanyikannya keras-keras di berbagai tongkrongan dan kesempatan. Tapi mereka belum pernah menemukan Fals seperti dalam SWAMI, seperti daam “Bento”.
Saya salah satu pendengar muda yang terpana dengan keseluruhan album itu. Dan menemukan suara vokalis yang berbeda di sebuah lagu, semacam “sunshine pop” 1960an, yang belum saya dengar pernah dilakukan dalam katalog Fals. Ternyata Naniel menjadi vokalis utamanya. Suaranya tipis, halus. Liriknya luar biasa:
“Menangis embun pagi yang tak lagi bersih / Jubahnya yang putih tak berseri, ternoda / Daun-daun mulai segan menerima / Apa daya, tetes embun terus berjatuhan // Mengalir sungai-sungai plastik jantung kota / Menjadi hiasan yang harusnya tak ada / Udara penuh dengan serbuk tembaga / Topeng-topeng pelindung harus dikenakan”
Kesuksesan debut album SWAMI diikuti dengan rilisnya proyek raksasa Kantata Takwa pada 1990, yang memang sudah menjadi wacana sebelum SWAMi terbentuk. Selain Fals dan Jabo, di sana ada Setiawan Djody, Jockie S, dan penyair Rendra. Rilis album Kantata Takwa diikuti dengan pertunjukan akbar di Stadion Senayan< Jakarta serta rangkaian tur—memainkan reportoar Kantata Takwa, SWAMI, dan juga Iwan Fals.
Bagai tak terbendung, para “gerombolan” SWAMI kemudian membuat album kedua dan proyek lainnya bernama DALBO. Yang juga menarik adalah bagaimana Jockie S. mengajak Naniel untuk memperkuat Suket, sebuah proyek album yang rilis pada circa1993, di mana semua lagu dikerjakan oleh Jockie dan liriknya banyak ditulis oleh Naniel. Favorit saya adalah nomor “Oksigen Hitam”—seperti Jane’s Addiction dengan musik tradisi lebih tebal.
Naniel Chusnul Yakin lahir di Surabaya, 18 Juli 1952. Jauh sebelum kehebohan “Bento” dan SWAMI, namanya sudah dikenal di sirkuit Bengkel Muda Surabaya. Naniel berada bersama Gombloh hingga Konser Rakyat Leo Kristi. Bisa dijumpai pula rilisan-rilisan solonya, dengan dua penulisan nama berbeda: “Naniel – Perjalanan Rasa” dan “Nanil: Dari Konser Rakyat Leo Kristi – Potret Kecil Citra Negriku”. Di kedua rilisan itu terdapat lagu “Sebuah Doa”:
“Seseorang yang kutemui / Berbicara tentang takdir dan kehidupan / Yang misteri”
…..
“Ada waktu datang / Ada waktu pergi”
Jumat, 21 Februari 2020, Naniel pergi meninggalkan kita semua. Sudah beberapa tahun belakangan ini Naniel jatuh sakit. Sebelum sakit, Naniel masih kerap dijumpai pada panggung-panggung kesenian, terutama di Surabaya. Duka melanda musik pop Indonesia.
Dalam sebuah wawancara khusus bersama seorang Naniel di sebuah media massa pada era 1990an, sesuatu yang terhitung jarang terjadi semasa hidupnya, Yakin berujar: “Saya Ingin Bento Seperti Bengawan Solo”. Kini sudah lebih dari 30 tahun umur “Bento” dan masih terus berkumandang, sama sekali belum ada tanda-tanda menghilang.
Selamat jalan, Naniel Yakin. Terima kasih untuk sumbangsih karya dan inspirasinya.
Innalillahi wa Innailaihi Rojiun.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Sambut Album Perdana, Southeast Rilis Single By My Side
Band R&B asal Tangerang bernama Southeast resmi merilis single dalam tajuk “By My Side” hari Rabu (13/11). Dalam single ini, mereka mengadaptasi musik yang lebih up-beat dibandingkan karya sebelumnya. Southeast beranggotakan Fuad …
Perantaranya Luncurkan Single 1983 sebagai Tanda Cinta untuk Ayah
Setelah merilis single “This Song” pada 2022 lalu, Perantaranya asal Jakarta Utara kembali hadir dengan single baru “1983” (08/11). Kami berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan terbentuknya band ini hingga kisah yang melatarbelakangi karya terbaru …