Apa yang Membuat Vinyl Mahal dan Tetap Laris Manis?

Jun 15, 2023

Apa yang lebih masokis daripada seorang kolektor piringan hitam (vinyl)? Mereka harus memelihara benda rapuh 12 inci, yang perlu seperangkat amplifier, speaker box, pemutar vinyl, hingga ruang penyimpanan yang kering, tidak lembab, jauh dari jamur, dan listrik yang stabil. Semua prasyarat itu hanya untuk memutar rekaman musik.

Tapi vinyl, seperti benda klangenan (hobi/kegemaran) lainnya, tak perlu masuk akal bagi siapapun. Kamu akan menemukan banyak hal yang menarik ketika bicara bersama penggila vinyl, mulai album dengan harga paling mahal, album yang langka, hingga beragam alasan yang membuat mereka merasa perlu membeli sebuah rilisan. Tapi ketika ditanya apa sih yang membuat vinyl mahal, jawabannya relatif sama. Kelangkaan dan model rilisan.

Laporan dari BBC menyebutkan bahwa pada tahun 2022, sebanyak lebih dari 41 juta rekaman vinyl terjual dengan total pendapatan sebesar $1,2 miliar (£0,99 miliar). Hanya ada 33 juta CD yang terjual dengan pendapatan sebesar $483 juta. Ini merupakan tahun ke-16 berturut-turut pertumbuhan penjualan rekaman, yang menyumbang sekitar 71% dari pendapatan format fisik.

Apa yang lebih masokis daripada seorang kolektor vinyl? Benda rapuh 12 inci, perlu seperangkat amplifier, speaker box, pemutar vinyl, ruang penyimpanan yang kering dan listrik yang stabil. Semua hanya untuk memutar rekaman musik.

Menurut data yang dirilis oleh Recording Industry Association of America (RIAA), pendapatan musik makin meningkat didorong terutama oleh layanan streaming namun juga oleh penjualan format musik fisik. Laporan tersebut menemukan bahwa pendapatan dari format musik fisik secara bertahap meningkat selama bertahun-tahun, ditandai dengan “kebangkitan yang luar biasa” pada tahun 2021 setelah terdampak oleh pandemi Covid-19 pada tahun 2020. 

Pendapatan musik fisik secara keseluruhan naik 4% tahun lalu, didorong oleh peningkatan sebesar 17% pada rekaman vinyl. Sementara itu, pendapatan dari CD turun 18%. Rilisan fisik musik terus memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan unduhan digital, yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 20% menjadi $495 juta. 

Penjualan rekaman vinyl pada 2021 menunjukkan bahwa vinyl sedang “mengukuhkan perannya sebagai bagian tetap dalam pasar musik modern,” kata Ketua dan CEO RIAA, Mitch Glazier. “Pecinta musik jelas tidak bisa mendapatkan cukup dari kualitas suara yang tinggi dan hubungan yang nyata dengan para artis yang disampaikan oleh vinyl,” kata Glazier.

Penjualan rekaman vinyl pada 2021 menunjukkan bahwa vinyl sedang “mengukuhkan perannya sebagai bagian tetap dalam pasar musik modern,” kata Ketua dan CEO RIAA, Mitch Glazier.

 

Tumbuhnya Generasi Baru

Di luar perkara fisik dan streaming, fenomena tumbuhnya penggemar vinyl dari generasi baru juga menarik untuk disimak. Nuran Wibisono, penulis musik yang juga kolektor vinyl hair metal, menyebut bahwa dari dua dekade terakhir penggemar vinyl melonjak sangat jauh. “Dua dekade berarti kan sekitar 2003 ya? Mungkin waktu itu vinyl masih jadi perbincangan anak Jakarta-Bandung dan sekitarnya. Harga vinyl di Jalan Surabaya tahun segitu konon masih 5 ribuan,” katanya.

Menurut Nuran konsumsi vinyl secara massal sekarang sudah menyebar ke banyak kota. Padang, Jogja, Semarang, Surabaya, Bali, dan banyak tempat lagi. Dan rilisannya pun banyak yang baru. Tidak hanya musisi luar, musisi Indonesia juga makin banyak yang bikin vinyl, diproduksi dengan kualitas yang amat apik, dan kerap terjual habis dalam sekejap.

Artinya jika dulu penggemar piringan hitam masih terbatas satu dua orang, dengan bertambahnya kolektor baru, maka kompetisi mendapatkan rilisan dalam bentuk vinyl semakin meriah. “Menurutku Sekarang gak cuma boomer atau gen X yang mengonsumsi vinyl. Yang mengonsumsi vinyl dari SD pun ada, anaknya temanku sudah jadi penggila vinyl sejak SD. Dia kelahiran 2006 seingetku,” jelas Nuran.

Di luar perkara fisik dan streaming, fenomena tumbuhnya penggemar vinyl dari generasi baru juga menarik untuk disimak.

Lalu apa alasan membuat seseorang rela mengeluarkan uang untuk membeli vinyl? Bukankah ada bentuk rilisan yang lain? Menurut Nuran ada banyak alasan, mulai dari preferensi musik personal, hingga pemujaan terhadap idola. Ia juga melihat di tengah maraknya perkembangan teknologi digital gelombang asyiknya mengoleksi hal-hal fisik dan tren back to analog, mulai dari kamera sampe vinyl, menjadi alasan seseorang membeli piringan hitam.

“Saya pribadi klangenan, sama ketika saya excited membeli kaset dulu. Saya gak mengejar kualitas sound, karena ada banyak hal yang harus dikejar untuk mendapat sound prima seperti yang banyak orang bilang. Saya kurang serius dan gak mampu juga di situ,” kata Nuran.

Menurut Nuran, bagi penggemar yang kelas audiophile, alasan membeli piringan hitam jelas karena kualitas suara. Apalagi kalau sampai rela mengeluarkan ratusan juta buat perangkat audio, sudah pasti vinyl adalah medium pilihan pertama. “First pressing juga. Limited edition. Masalahnya lg balik ke poin empat, untuk hobi ini gak akan pernah ada batas atas dan bawah. Jadi kategori dan kriteria itu kadang sumir,” katanya.

Konsumsi vinyl secara massal sekarang sudah menyebar ke banyak kota. Padang, Jogja, Semarang, Surabaya, Bali, dan banyak tempat lagi. Musisi Indonesia makin banyak merilis vinyl, diproduksi dengan kualitas yang amat apik, dan kerap terjual habis dalam sekejap.

Lalu apakah ada keterkaitan antara generasi penggemar musik hari ini dengan kebangkitan rilisan fisik? David Tarigan, kolektor dan pengarsip musik Indonesia ini, menyebut bahwa jumlah penggemar rilisan musik, mulai CD, kaset, hingga piringan hitam terus bertambah setidaknya dua dekade terakhir. “Kalau dibandingkan dengan awal 2000an, dulu isinya orang itu itu aja, lingkar pertemanan kecil banget. Kemungkinan buat ketemu penggemar sebaya di institusinya di Jalan Surabaya jarang lah, ga secepat sekarang,” katanya.

Sebagai orang yang pernah mengurus rilisan fisik di Toko Buku Aksara, David melihat pertumbuhan penggemar piringan hitam di Indonesia. Jika pada 2002 rilisan vinyl sangat terbatas dan kebanyakan fokus pada rilisan musik-musik DJ. Kemudian pelan-pelan ada pergeseran selera, mulai ada rock, indie, hingga folk. Jika dulu yang membeli adalah orang-orang tua yang mencari rilisan band lama, perlahan anak-anak muda datang.

David sendiri melihat selama dua dekade terakhir penggemar muda makin banyak dan penggemarnya semakin berbeda generasi. Ada cerita lucu ketika David bertemu dengan Nadin Amizah. Saat proses pembuatan album Selamat Ulang Tahun, mereka berbincang tentang medium apa yang paling baik untuk merekam musik. Di sana David merekomendasikan CD tapi Nadine malah belum kepikiran untuk ke arah sana. 

“Waktu itu Nadin (Amizah) nggak kepikiran bikin cd karena memang nggak tau. Dia taunya vinyl dan kaset. Jadi ya generasi Z dan generasi Alpha emang lebih ngerti kaset dan piringan hitam,”  cerita David Tarigan.

Saat itu Demajors ingin mengajak Nadin dan orang tuanya yang juga managemenya, menawarkan untuk membuat rilisan fisik dalam bentuk CD album Selamat Ulang Tahun, setelah sebelumnya hanya ada digital dan kemudian vinyl. “Mereka bilang kalo Nadin nggak kepikiran bikin cd karena memang nggak tau. Dia taunya vinyl dan kaset, jadi awalnya hanya kepikiran untuk bikin dua format fisik itu,” kata David. “Jadi ya generasi Z dan generasi Alpha emang lebih ngerti kaset dan piringan hitam,”  lanjut ia.

 

Fanatisme Idola 

Pada perkembangannya David menyebut band kadang membuat dua rilisan terpisah, ada yang dicetak massal dan ada yang dibuat secara terbatas. “Kadang juga ada kasus band yang udah lama, fansnya terbatas jadi dibikin sedikit. “Mungkin terkenal baru dekade atau dua dekade berikutnya, lalu mereka menjadi classic dan jadi album penting,” katanya.

David menyebut transaksi ekonomi masih jadi hal yang paling sering menentukan harga sebuah rilisan fisik. “Mendasar aja sih, sesimple supply and demand. Permintaan besar persediaannya dikit jadi lebih mahal. Dasarnya itu pasti sih, cuma persediaan sedikit itu kadang disengaja, misalnya dibikin limited biar seru aja,” kata David.

Dari pelaku industri gairah untuk membeli dan mendengarkan musik dalam bentuk piringan hitam tentu jadi angin segar. Meski bukan barang yang murah, permintaan terhadap album dalam bentuk ini terus meningkat seiring tumbuhnya daya beli masyarakat kita.

Faktor pemujaan, menurut David, juga menjadi alasan mengapa seseorang rela membeli produk rilisan fisik. Bagi fans membeli rilisan fisik artinya turut membantu perkembangan dan mendukung kehidupan idola mereka. David juga mencontohkan generasi X, yang ngga fokus ke vinyl tapi ke kaset dan CD. “Tapi menariknya sekarang ketika mereka sudah mapan, ya mereka mulai beli vinyl dari band yang dulu disukai dan sekarang mulai menikmatinya,” katanya.

Dari pelaku industri gairah untuk membeli dan mendengarkan musik dalam bentuk piringan hitam tentu jadi angin segar. Meski bukan barang yang murah, permintaan terhadap album dalam bentuk ini terus meningkat seiring tumbuhnya daya beli masyarakat kita. Arnold Mantiri, dari PHR Distributors, melihat antusiasme ini sebagai hal yang baik.

“Vinyl revival is real and here to stay! Perkembangan subculture vinyl jelas terasa dan nyata secara data maupun secara langsung. Kami sangat merasakan pertumbuhannya baik secara penjualan internal dan juga banyaknya toko toko vinyl baru yang bermunculan,” katanya.

Temuan David Tarigan yang menyebut bahwa pembeli piringan hitam semakin muda juga dikonfirmasi oleh Arnold. “10 tahun lalu Gen X mendominasi hobi vinyl dimana 80% customer kami bisa digolongkan ke Gen X. Sekitar 5 tahun terakhir, proporsinya berubah drastis dengan banyaknya Milenial dan Gen Z yang mulai mengoleksi piringan hitam. Menurut data internal kami, per hari ini kurang lebih 70% dari customer kami adalah Milenial dan Gen Z dimana 30% lainnya adalah Gen X,” katanya.

“10 tahun lalu 80% customer kami bisa digolongkan ke Gen X. Sekitar 5 tahun terakhir, proporsinya berubah drastis dengan 70% didominasi Milenial dan Gen Z yang mulai mengoleksi piringan hitam”  ujar Arnold dari PHR distributions.

Veronica Tyas, seorang pekerja dan milenial asal Jakarta mengaku mulai belajar tentang piringan hitam relatif baru. “Kurang lebih sejak 2013/2014 karena iseng ke record store day. Ke sana niatnya nonton band, tapi jadi ngeh kalo ada banyak orang yg masih menikmati vinyl bahkan jadi hobi dan koleksi buat mereka. tapi disitu baru niat aja yang muncul, praktek beli/koleksinya belum ada sama sekali,” katanya.

Ia mengaku yang membuatnya tertarik untuk akhirnya membeli piringan hitam karena band idola. Hal serupa juga ditemukan di banyak generasi. “Band kesukaanku finally bikin rilisan dalam bentuk vinyl dan albumnya cukup sentimental buat aku jadi rasanya lebih baik menyesal untuk membeli daripada tidak berkontribusi sama sekali buat karya musisi musisi ini,” jelas Tyas.

Nuran menambahkan bahwa hobi tak kenal akal dan logika bagi penggemar. Alasan mengapa seseorang mengoleksi piringan hitam bisa beragam. “Mulai gengsi, obsesi pribadi, mengejar kualitas, bahkan mungkin sampai nilai sentimentil. Saya sendiri ingin punya vinyl Appetite for Destruction yang dicetak pertama kali dan ditandatangani oleh semua personel asli,” katanya.. 

Alasan mengapa seseorang mengoleksi piringan hitam bisa beragam. “Mulai gengsi, obsesi pribadi, mengejar kualitas, bahkan mungkin sampai nilai sentimentil. Saya sendiri ingin punya vinyl Appetite for Destruction yang dicetak pertama kali dan ditandatangani oleh semua personel asli,” ujar Nuran.

Riset terbaru menyebutkan bahwa generasi Milenial, Gen Z, dan generasi Alpha lebih memilih rilisan fisik ketimbang layanan streaming. “Sebenernya aku pilih keduanya hehehehe. tapi buat dengerin vinyl kayaknya lebih banyak effort untuk bisa mewujudkannya. siapa tahu juga vinyl ini nantinya bisa jadi warisan buat anak cucu biar mereka ga repot beli atau nyari kayak aku sekarang hahaha,” kata Tyas.

 

Layak atau Tidak Vinyl Mahal?

Arnold sebagai bagian dari industri piringan hitam, mulai dari distribusi hingga produksi, menilai layak atau tidaknya sebuah harga mahal tergantung dari mana kita melihat. Dari kacamata industri barang ‘mahal’ tersebut ditentukan oleh label atau pihak artis karena ada pertimbangan dibelakangnya. Salah satu faktor utamanya adalah biaya produksi untuk karya fisik atau album itu sendiri.

Contoh konkritnya adalah mencetak 300 vinyl tentu jauh lebih mahal dibanding mencetak 1000 vinyl, sehingga harga vinyl yang dicetak 300 keping sudah sewajarnya dijual lebih mahal. Alasan penting lainnya adalah biaya produksi album vinyl tersebut. Semakin banyaknya biaya seperti mastering di studio ternama ataupun penambahan banyak booklet di dalamnya pasti akan menaikan biaya produksi dan membuat vinyl menjadi lebih mahal.

“Tapi ya itu, hobi ini kan sesuatu yang gak akan bisa dilogikakan. Gimana kalau misalnya ada orang kaya yang ngejar koleksinya harus first pressing dan mau nebus? Gak bisa disalahin juga kan,” tambahnya lagi.

“Jika harga mahal yang dimaksud adalah harga ‘pasar sekunder’ atau harga yang ditetapkan oleh penjual yang tidak bekerjasama langsung dengan label atau musisi, jawabnya tentu jelas mekanisme pasar akan supply dan demand,” jelas Arnold.

Beberapa waktu lalu, setelah The Adams merilis tiga album dalam bentuk piringan hitam, muncul reseller yang menjual barang dengan harga 20-an juta. Ini kemudian membuat perbincangan menarik di kalangan para kolektor. Nuran melihat fenomena ini sebagai lelucon yang layak ditertawakan. “Menurutku, tanpa mengurangi rasa hormat ke The Adams yang juga salah satu band yang aku suka, harga segitu gak wajar. Tapi ya itu, hobi ini kan sesuatu yang gak akan bisa dilogikakan. Gimana kalau misalnya ada orang kaya yang ngejar koleksinya harus first pressing dan mau nebus? Gak bisa disalahin juga kan,” kata Nuran.

Menariknya David Tarigan menilai bahwa sebuah vinyl yang harganya hingga belasan atau puluhan juta rupiah tidak layak untuk dimiliki. Ia sendiri beberapa kali menjual rilisan band baik lokal maupun luar dengan harga belasan hingga puluhan juta rupiah. Apalagi untuk piringan hitam yang mudah didapat dan masih ada di pasaran. “Buat gue pribadi ngga layak, justru karena itu gue jual,” katanya.


 

Penulis
Arman Dhani
Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Mengoleksi piringan hitam, buku, dan sepatu. Saat ini sedang menyelesaikan buku Melawan Perintah Ibu (EA Books) dan Usaha Mencintai Hidup (Buku Mojok). Bisa ditemui di IG dan Twitter. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …