“Bagaimana AI dan Musik Berpotensi Membunuh Profesi Musisi” oleh Indra Aziz

Jan 19, 2023

Sebelum membicarakan AI dan musik, kita mundur sejenak. Beberapa saat lalu kita dihebohkan dengan bagaimana AI “mengganggu” dunia seni visual dengan kemampuannya membuat artwork yang metode pemrogramannya ternyata patut dipertanyakan secara etis.

Bagaimana dengan musik?

Dalam wawancara musisi/YouTuber, Rick Beato dengan gitaris/vokalis/penulis lagu Smashing Pumpkins, Billy Corgan beberapa waktu lalu, mereka sempat membahas mengenai bagaimana AI memengaruhi dunia musik. Bagi saya muncul poin-poin yang mengena banget.

 

Musik pop yang kita kenal sekarang, mayoritas adalah musik yang produksinya dilakukan dengan kecanggihan teknologi.

Hampir semua lagu pasti vokalnya pasti dibantu melalui proses autotune, dan beat-nya dibuat menggunakan metronom, dan ada proses-proses koreksi dan editing yang membuat musik menjadi “sempurna”.

Musik pop yang kita kenal sekarang, mayoritas adalah musik yang produksinya dilakukan dengan kecanggihan teknologi.

Ketika kita perhatikan secara seksama musik Justin Bieber, Maroon 5, K-Pop, dll, sound-nya itu diproses menggunakan teknologi yang saya sebutkan di atas. Sebut saja lagu “Stay” milik The Kid LAROI x Justin Bieber, Vokalnya terlalu rapi karena autotune, iramanya sangat sinkron karena metronom dan editing.

Atau kalau mau mundur ke belakang, dengarkan lagu “Despacito”. Iramanya yang monoton, vokalnya yang sempurna, saya benar-benar bisa membayangkan musik ini diciptakan oleh AI.

Dalam visual art, AI mengambil input ratusan ribu karya seni visual dan memrosesnya menjadi data untuk bahan membuat karya. Masalahnya seringkali proses mengambil karya seni termasuk style seorang seniman itu dilakukan tanpa izin si seniman aslinya. Sehingga hal ini kemudian memuncukan banyak protes karena dianggap tidak etis.

Untuk musik, software masa kini bisa mendeteksi ketukan, mendeteksi pitch, mendeteksi kata-kata, sehingga, tidak ada kesulitan bagi sebuah AI untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di seni visual, mengambil ratusan ribu lagu dan memprosesnya sebagai data untuk membuat musik dari nol.

Dalam visual art, AI mengambil input ratusan ribu karya seni visual dan memrosesnya menjadi data untuk bahan membuat karya. Seringkali proses itu dilakukan tanpa izin si seniman aslinya.

Misalnya membuat lirik dengan gaya Joni Mitchell, atau membuat beat ala Skrillex, pasti tidak sulit dilakukan oleh AI yang sudah mempelajari ratusan karya mereka.

Yang menjadi poin penting di sini: kebanyakan pendengar musik (kita) itu tidak bisa membedakan musik autotune, metronom, dan tidak peduli juga. Yang penting enak di kuping.

Ya, saya sendiri mengakui, pada saat memasang playlist musik piano untuk menulis misalnya. Saya hanya membiarkannya terpasang tanpa memperhatikan apa judul lagu dan siapa musisinya. Di sini kita tidak tahu, siapa tahu, 50% musik dalam playlist itu adalah musik AI.

Nah, ketika semua aspek musik menjadi terlalu sempurna secara matematika, hitungan pitch dan ketukannya, maka siapa yang akan paling jago membuatnya? Tentu saja komputer dan AI.

Software masa kini bisa mendeteksi ketukan, mendeteksi pitch, mendeteksi kata-kata, sehingga, tidak ada kesulitan bagi sebuah AI untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di seni visual. Membuat musik dari nol.

Saya tanya ChatGPT bagaimana sih AI akan mendominasi industri musik, dia jawab begini:

 

Saya tanya lagi, AI bisa nyanyi enggak?

 

Untuk penulisan lirik, sejujurnya saya sendiri pernah menggunakan bantuan AI untuk membuat lirik salah satu lagu saya yang berjudul “Be Alright“. Waktu itu AI yang saya gunakan adalah Writr.me, sebuah website untuk penulisan. Namun hasilnya tidak saya gunakan secara mentah melainkan hanya saya jadikan referensi atau pematik ide saja.

Namun di era musik pop di mana lirik banyak yang receh dan tidak memiliki makna mendalam, contoh saja “Bad Romance” dari Lady Gaga, maka tidak sulit membayangkan AI untuk membuat lirik serupa.

Lalu bagaimana streaming platform memandang musik AI ini?

Jika dilihat dari sudut pandang bisnis, musik adalah produk yang ditawarkan oleh mereka, dan produk yang mana yang laku bagi mereka tidak masalah kalau itu AI.

Kebanyakan pendengar musik (kita) itu tidak bisa membedakan musik autotune, metronom, dan tidak peduli juga. Yang penting enak di kuping.

Spotify bahkan katanya diam-diam mulai memasukkan musik AI ke dalam playlist untuk menggantikan musik dari artis supaya streaming revenue enggak harus dibagi ke luar.

Gilanya juga, Spotify bisa menciptakan artis “hantu” untuk menggantikan artis dari luar. Lagi-lagi tujuannya untuk tidak berbagi revenue streaming.

Beberapa tool AI untuk membuat musik hanya dengan klik button. AIVA, Amper Music, Melodrive, ORB Composer, dll.

Saya telah mencoba beberapa kali membuat musik “epic orchestra” dengan software gratis AIVA hanya dengan klik satu button. Jujur hasilnya tidak terlalu bagus untuk standar pendengar musik seperti saya, tetapi saya sangat bisa melihat hasilnya digunakan untuk musik iklan, musik film, dan musik untuk game.

Ke mana sih arahnya industri musik dengan maraknya AI ini? Saya tidak tau, tapi pasti ada sisi positif dan negatifnya.

Yang saya tau pasti, adapt or die.

Saya rasa kita patut mempertanyakan beberapa hal mengenai bagaimana kita bergerak ke depan sebagai musisi profesional. Apa yang bisa kita musisi terlatih tawarkan di kala orang yang tanpa pengetahuan musik bisa membuat musik dengan pencet tombol? Bagaimana musisi bisa menggunakan AI untuk meningkatkan kinerja dia?

Ada sebuah tweet yang bagus menurut saya dari user Twitter @svpino. Dia menulis “AI will not replace you. A person using AI will.”

Menurut saya tulisan singkat ini memberikan kesimpulan yang cukup untuk masa depan kita musisi. Jangan musuhi AI, tapi rangkul dan manfaatkan.


 

Penulis
Indra Aziz
Indra Aziz adalah penyanyi dan penulis lagu jazz dan soul dari Jakarta. Selain juga dikenal sebagai pelatih vokal selebriti, Indra juga jadi pengajar vokal gratis di Youtube dengan lebih dari 25 juta tampilan di salurannya. Selain aktif manggung, Ia merilis album penuh perdananya For Good di 2018. Indra juga pendiri VokalPlus, merek pembuatan konten populer dengan lebih dari 350 ribu pelanggan di YouTube, dan 230 ribu pengikut di Instagram, membuat dan mengatur konten terkait vokal di media sosial, dan dengan VokalPlus ia juga memproduksi CD dan vokal pelatihan vokal aplikasi.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Kolaborasi yang Wajib Disimak di Jazz Goes to Campus 2024

Jazz Goes to Campus akan digelar hari Minggu (17/11) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tahun 2024 merupakan pergelaran ke-47 festival tahunan ini.     View this post on Instagram   A post …

Cerita Hidup yang Lebih Baik Terangkum di Single Perdana CLDGRAY

Penyanyi solo asal Bandung Muhammad Rizkiko yang mengusung nama panggung CLDGRAY resmi meluncurkan single perdana dalam tajuk “TONIGHT” hari Rabu (30/10). Sebelumnya ia sudah pernah merilis 2 single kolaborasi bersama Gbrand berjudul “Sin City” …