Balada Kotak Musik: Polarisasi Media Hari Ini Pada Frekuensi Musik Kita

Aug 16, 2022

Keresahan saya berangkat dari setiap kali menemui agenda nongkrong bareng teman entah itu di rumah atau main keluar rumah. Speaker JBL warna hitam saya selalu digilir ke setiap perangkat telepon genggam teman-teman dengan berbagai macam merek. Kasihan speaker JBL saya, pasti lelah digilir kemana-mana. Lalu teman-teman saya berniat mencairkan suasana dengan mencoba memutarkan lagu entah itu membuka Youtube, Spotify dan segala platform streaming musik yang sedang eksis digandrungi masyarakat era digital saat ini.

Dan dimulailah balada kotak musik. Awalnya kita akan memutarkan lagu yang boleh dibilang lagi “hits” saat ini, bisa terhitung beberapa butir lagu yang diputar. Anehnya, tidak semua dari teman saya tahu lagu tersebut padahal lagu ini diklaim sebagai ‘yang lagi hit’ oleh teman saya. Salah satu teman saya mencoba memutar lagu lain dengan genre yang ia sukai: Metalcore. Saya mengamati hanya beberapa teman saya yang tahu dan menikmati sedangkan lainnya tidak. Teman saya yang lain berinisiatif meng-influence teman yang lain dengan musik yang ia sukai yaitu K-pop.

Keresahan saya berangkat dari setiap kali menemui agenda nongkrong bareng teman entah itu di rumah atau main keluar rumah. Speaker JBL warna hitam saya selalu digilir ke setiap perangkat telepon genggam teman-teman

Pasti ada dari teman kita yang mencoba bisa memengaruhi minat teman lainnya dalam menyukai suatu hal. Awalnya ada yang tertarik, kemudian diskusi tentang lagu K-pop yang diputar, namun kemudian atensinya turun karena ia tidak banyak tahu tentang lagu tersebut. Sampai akhirnya kita tidak tahu ingin memutar lagu apa. Karena tidak banyak lagi lagu yang diketahui, kita hanya akan bertemu pada lagu ‘pemersatu bangsa’ yang itu-itu saja, lagu-lagu seperti Peterpan, Sheila on 7, Dewa, Samsons dan lagu lama lainnya untuk kita putar bersama. Di situ kita baru bisa sing-along, menikmati kebersamaan.

Pertanyaannya: Mengapa harus lagu lawas baru kita bisa menikmati waktu bersama? Saya menemukan kegelisahan ini tidak hanya terjadi dalam satu tongkrongan, tetapi ada beberapa tongkrongan lain bahkan di acara kampus sekalipun. Ada apa? Sebenarnya tidak ada salahnya sih, semua lagu sah-sah saja dinikmati, namun mengapa belakangan ini hal tersebut kerap terjadi. Ketika coba saya tanya, dalil mereka sederhana: Lagu lawas itu everlasting, tidak akan pernah habis diputar. Namun hal ini lantas memuat saya heran, bahkan lagu yang dicap hit saja tidak semua dari teman saya tahu.

Pada akhirnya kita hanya akan bertemu pada lagu pemersatu bangsa yang itu-itu saja. kita mendengarkan lagu seperti Peterpan, Sheila on 7, Dewa, Samsons dan lagu lama lainnya untuk kita putar bersama-sama

Fenomena Konvergensi Media

Bisa kita sadari bersama atau mungkin kalian sudah bosan mendengarnya, kita adalah masyarakat era digital. Semua serba online, termasuk hiburan. Dahulu, banyak dari kita meluangkan waktu menikmati santapan hiburan melalui media konvensional. Untuk menikmati musik misalnya, kita bisa melihat tayangan program musik seperti video musik di televisi, mendengarkan radio dengan penyiar yang kita sukai diselingi lagu baru yang bakal hit. Pada saat itu, kita seperti disuapi atau ‘dicekoki’ lagu yang bahkan mungkin bukan selera kita. Tapi karena kita menerima lagu itu dari media besar satu-satunya ditambah adanya repetisi dari diputarnya lagu tersebut sampai-sampai yang awalnya kita merasa lagu tersebut tidak enak didengar tapi lama-lama kita hafal juga.

Sekarang itu semua sudah terkesan kuno. Bahkan hari ini kita bisa menebak umur seseorang dari media apa yang pernah dikonsumsi. Media saat ini secara ‘sahih’  bertransisi menjadi media yang lebih menawarkan pengalaman kegiatan responsif dan interaktif untuk penggunanya. Konvergensi media ini telah berhasil mengubah perilaku seseorang dalam beraktivitas, termasuk menikmati musik. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, masyarakat era ini ‘demen banget’ mendengarkan lagu melalui layanan streaming musik online.

Dulu menikmati musik misalnya, kita bisa melihat tayangan program musik untuk melihat musik video di televisi atau mendengarkan radio dengan penyiar yang kita sukai diselingi lagu baru yang bakal hits. Pada saat itu, kita seperti disuapi atau ‘dicekokin’ lagu yang bahkan mungkin bukan selera genre musik kita.

Berdasarkan hasil riset Global Web Index, lembaga yang meneliti perilaku konsumen digital seluruh dunia, tahun 2020 di Indonesia durasi orang-orang mendengarkan lagu via streaming online sekitar 1:30 menit dibanding radio broadcast yang hanya 0:32 menit. Fakta menarik lainnya, Indonesia jadi urutan nomor 1 negara pengguna layanan streaming musik online sebesar 84% mengungguli India dan Meksiko sebesar 82%. Spotify menjadi pemimpin penyedia layanan streaming musik terbesar di dunia. Mungkin karena kita masih bisa mengaksesnya secara free walaupun Spotify juga menawarkan akses berbayar dengan fitur menunjang, tapi ini mungkin menjadi alasan mengapa Spotify banyak digandrungi, apalagi masyarakat kita doyan gratisan.

Akhirnya Dikotak-kotakan oleh Media “Kekinian”

Apa sih kelebihan media layanan musik ‘kekinian’ saat ini sampai mencuri perhatian kita untuk mau menggunakannya? Jawaban mudah: Pengalaman personal. Sejatinya, menghasilkan bentuk personalisasi musik bagi pengguna merupakan hal penting untuk menjadi instrumen dalam pasar industri layanan streaming musik online. Prosentase 58% hasil riset yang sama membuktikan bahwa orang-orang gemar mengatur musik apa yang ingin mereka dengarkan. Antipati penyedia layanan streaming juga berusaha menyajikan rekomendasi berbagai kumpulan lagu khusus untuk penggunanya, namun tetap saja mereka hanya tertarik mendengarkan musik yang benar-benar ingin didengarkan.

Kelebihan media layanan musik ‘kekinian’ saat ini sampai mencuri perhatian kita untuk mau menggunakannya adalah pengalaman personal. Sejatinya, menghasilkan bentuk personalisasi musik untuk pengguna merupakan hal penting untuk menjadi instrumen dalam pasar industri layanan streaming musik online

Adanya media layanan streaming yang menawarkan pengalaman mendengar musik yang ‘aku banget’, walhasil kita tertuju pada diri kita sendiri mulai dari genre, band dan penyanyi yang paling kita minati. Penyuka musisi seperti Hindia pasti akan menemukan .Feast, Lomba Sihir, Sal Priadi, dan Nadin Amizah dalam rotasi musik mereka. Penyuka  musisi seperti Guyon Waton pasti akan bertemu Denny Caknan, Yeni Inka, dan Happy Asmara. Algoritma ini akan berusaha mempertemukan kita pada irisan genre atau artis seragam dari apa yang kita sukai. Menariknya, formula algoritma ini diramu kian apik oleh media online demi memberikan pengalaman yang diinginkan oleh penggunanya.

Salah satu contohnya Spotify. Ia cerdik meramu segmen playlist. Salah satu yang menarik yaitu lewat Discover Weekly Spotify. Playlist ini menghadirkan pilihan musik terbaru tiap minggunya. Mereka menyisipkan kumpulan lagu baru dalam karakteristik lagu yang sesuai dengan kepribadian pengguna. Playlist tersebut kemudian akan berubah lagi pada minggu berikutnya.

Fenomena ‘polarisasi musik’ ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang kurang bagus, justru ini kesempatan baik untuk pencipta lagu yang karyanya belum tersentuh sampai akhirnya ditemukan ‘harta karun’ oleh penikmatnya

Bentuk upaya Spotify ini adalah contoh agar kita ‘terperosok’ masuk pada apa yang paling disukai lalu ditemukan dengan hal baru yang seragam dengan kepribadian kita. Fenomena ‘polarisasi musik’ ini sebenarnya bukanlah hal yang jelek, justru ini kesempatan baik bagi pencipta lagu yang karyanya belum tersentuh sampai akhirnya ditemukan bak ‘harta karun’ oleh penikmatnya. Memang sayangnya, saat ini kita tak akan lagi mudah bertemu pada satu ruang yang sama.

Hal-hal di atas tadi membuat kita hanya fokus mengulik apa yang digemari secara mendalam sehingga akhirnya kita terkotak-kotak dalam dunia sendiri. Tak ayal, bila kita nongkrong bareng teman saat ini, rasanya sukar menemukan musik apa yang cocok diputar bersama kecuali pada tongkrongan dengan selera yang sama. Iya, musik memang tentang preferensi. Kita memiliki selera beragam namun dengan adanya faktor media yang kita dikonsumsi berbeda, hal ini menambah suatu persoalan.

Hal-hal di atas tadi membuat kita hanya fokus mengulik kesukaan apa yang kita gemari secara mendalam sehingga akhirnya kita terkotak-kotak pada dunia kita sendiri-sendiri.

Bagi teman yang gemar menggunakan TikTok, lagu Keisya Levronka – “Tak Ingin Usai” adalah lagu paling viral.  Sementara yang gemar menggunakan YouTube akan mengatakan Yeni Inka ft. Farel Prayoga – “Joko Tingkir Ngombe Dawet” lah yang paling trending. Sahabatmu pengguna Spotify dan Instagram tidak mau kalah, menurutnya bisa jadi Lagu Joji – “Glimpse of Us” justru yang paling hit. Pengecualian terjadi jika ada satu lagu hit yang serentak trending nomor 1 di seluruh platform, ini baru menandakan semua orang memang sedang gemar mendengarkan lagu tersebut.

Kita tidak lagi seperti dulu, hanya mengonsumsi musik dari satu media. Media konvensional kerap jadi wadah promosi lagu baru. Dengan radio misalnya, kita diperkenalkan lagu baru secara langsung tanpa dipinta, lalu kita akan bertemu lagi dengan lagu tersebut di restoran, butik baju, pusat perbelanjaan sehingga lagu tersebut bak “all aroud you” sehingga tertanam dalam pikiran kita bahwa lagu itu memang ada.

Dulu mungkin sudah menjadi patokan, sebuah artis atau penyanyi dikatakan terkenal bila ia memang telah tampil di Televisi. Sekarang? Semua pelaku industri hiburan bisa berdaya melalui medianya masing-masing sesuai dengan peminat yang menyukai karyanya.

Bila dulu penikmat musik ‘dicekoki’ lagu padahal bukan genre yang ia sukai karena kerap terpapar dan pada akhirnya mempercayai bahwa lagu tersebut menarik untuk didengarkan. Atau dulu mungkin sudah jadi patokan, dimana artis atau penyanyi sudah disebut terkenal bila ia telah tampil di televisi. Sekarang? Semua pelaku industri hiburan bisa berdaya lewat medianya masing-masing sesuai dengan peminat yang menyukai karyanya.

Belum lagi media baru hari ini yang membawa representasi dalam karakteristik identitas yang beragam, mulai dari kalangan pengguna dan latar belakang mereka. Bahkan TikTok, YouTube, Instagram dan media lain memiliki trending-nya masing-masing dalam hal tren musik. Media yang paling banyak penggunanya akan menjadi pionir dalam rujukan artis yang hendak mempromosikan karya baru.

Dari hasil riset kecil-kecilan dengan melibatkan responden usia 14 – 31 tahun, sebagian besar menyadari bahwa lagu lawas di era 2000-an awal paling banyak diputar dalam pertunjukan musik skala besar atau kecil seperti acara kampus

Media dengan pengguna terbanyak akan cepat merambat untuk diketahui bila ada hidangan musik baru. Kita juga tidak harus menjadi FOMO dengan meng-install dan menggunakan semua platform. Cukup menggunakan media yang sesuai dengan kebutuhan yang kita perlukan.

Jiwa Muda adalah Eksplorasi

Dari hasil riset kecil-kecilan saya melibatkan responden usia 14 – 31 tahun, sebagian besar menyadari bahwa lagu lawas di era 2000-an awal adalah yang paling banyak diputar dalam pertunjukan musik skala besar atau kecil seperti acara kampus. Cukup disadari saat ini banyak sekali penyanyi yang me-remake atau me-remaster lagu lawas hingga jenuh sekali rasanya ketika mendengarkan lagu yang itu-itu saja.

Gali terus pengalaman dan wawasan baru dalam kegemaran mendengarkan musik sehingga kita semakin kaya dalam mengintepretasi sebuah karya baru.

Asumsi saya ini adalah efek dari adanya polarisasi frekuensi musik yang kita alami. Karena kita sukar bertemu di selera musik yang sama dan media yang kita konsumsi berbeda-beda, berakibat pencarian titik temu pada referensi lagu yang dianggap aman dimana semua orang tahu akan lagu tersebut.

Jadi, intinya kita harus bagaimana dong? Kapan kita bisa kembali punya lagu yang bisa jadi calon tembang hit sepanjang masa di era sekarang ini? Well, Kita nggak harus gimana-mana kok, aku rasa karena memang seperti inilah zamannya. Kita cukup mau mengapresiasi karya dan eksplorasi musik lain. Gali terus pengalaman dan wawasan baru dalam kegemaran mendengarkan musik sehingga kita semakin kaya dalam menilai sebuah karya baru.

Mumpung masih muda, apa salahnya mencicipi beragai macam musik? Kita bisa turut serta men-share lagu yang sedang kita dengarkan kepada teman-teman di media sosial. Bisa jadi temanmu mendapat referensi baru dari lagu yang sedang kamu dengarkan. Urusan kapan karya musik generasi sekarang akan jadi calon hit, itu perkara menunggu waktu. Tren terus berubah. Sebuah karya spesial pasti akan menemui ruang di hati masing-masing pendengarnya.

 


 

Penulis: Windy Putri Ramadhani.

Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Jurusan Ilmu Komunikasi yang sedang berjalan menuju tingkat akhir Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Temukan Windy di Instagramnya @windycece

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …