Bandung Seharusnya Sudah Selesai Dengan (GOR) Saparua

Jun 13, 2023

Dekade 80an, kota Bandung sempat memiliki ruang sentral yang digunakan oleh kawan-kawan pegiat skena musik, yaitu Gelanggang Olah Raga (GOR) Saparua. Berada di Jalan Ambon, lokasi di pusat kota yang mudah dijangkau dari daerah manapun. Berbagai komunitas datang dan mengoranisir acara disana, aktivasi ruang yang rutin menjadikan Saparua sebagai titik kumpul berbagai komunitas, tak hanya musik ekstrim tentunya, dari berbagai genre musik lain pun hadir dan meramaikan. Salah satu yang membuat Saparua spesial yaitu pengorganisiran setiap acara yang dilakukan oleh komunitas, dengan tagline “dari barudak, oleh barudak, untuk barudak” bukan hanya basa-basi, hal itu riil dengan proses kerja kreatif yang dilaksanakannya.

Ratusan, mungkin sudah ribuan acara yang pernah dihelat di sana. Tak dapat dipungkiri dari Saparua lahir banyak grup musik, bahkan tidak sedikit yang tetap eksis sampai hari ini, ambil contoh Burgerkill, Pure Saturday, Forgotten, Pas Band, Cherry Bomshell dan masih banyak lagi. Ekosistem yang mendukung, serta militannya pegiat musik pada masa itu untuk meramaikan Saparua membuat gedung tua tersebut terus hidup, walau dengan segala keterbatasannya.

Dan pada akhirnya, di penghujung tahun 2001 GOR Saparua sudah tidak dapat digunakan lagi untuk menggelar acara musik. Kesaksian Arin (penyiar radio GMR), MC langganan ketika ada acara di Saparua mengatakan bahwa acara terakhir yang diadakan di sana ia yang bertugas sebagai MC, beliau mendapuk dirinya sebagai “penutup gerbang Saparua”, dengan bercanda tentunya. Setelah era Saparua berakhir, sependek pengetahuan saya sudah tak ada lagi ruang yang memiliki karakter seperti Saparua. Memang ada beberapa gedung lain atau lapangan besar yang dapat digunakan, namun marwahnya tidak seperti Saparua.

Dengan tagline “dari barudak, oleh barudak, untuk barudak” bukan hanya basa-basi, hal itu riil dengan proses kerja kreatif yang dilaksanakannya.

Pada masa itu juga, terdapat pula ruang-ruang lain yang biasa digunakan untuk acara musik di Bandung, sebut Fame Station, Buqiet, Dago Tea House dan lain sebagainya. Tak sebesar Saparua memang, tetapi tempat-tempat tersebut memiliki sejarah yang tak kalah penting untuk dicatat, beberapa acara penting sempat ramai di sana. Ekosistem musik di Bandung tetap berjalan dengan baik, aktivasi ruang oleh kawan-kawan pegiat musik di Bandung tak jadi meredup saat itu walau Saparua sudah tidak beoperasi. Sampai pada satu waktu terjadi sebuah tragedi yang menewaskan 11 orang, yaitu tragedi AACC, pada tahun 2008.

Aktivitas musik–yang melibatkan masa besar–sempat tidak diperbolehkan oleh pemerintah dan aparat setempat, khususnya untuk musik ekstrim/keras. Sejak tragedi tersebut, ada waktu di mana acara musik menjadi hening di Bandung, satu faktornya adalah perizinan, terutama di tempat- tempat besar yang berpotensi mendatangkan banyak massa. Dengan berbagai usaha yang membutuhkan waktu panjang, dekade 2010 dan selanjutnya beberapa konser musik kembali dapat

diselenggarakan, dengan aturan ketat tentunya. Karena keterbatasan ruang, konser-konser musik berskala besar akhirnya banyak digelar di kandang militer, yang mana Bandung–dan Cimahi– adalah pusat markas satuan tersebut sejak dahulu, garansi mutu mereka memiliki lahan luas yang tersebar di beberapa titik kota.

Fame Station, Buqiet, Dago Tea House dan lain sebagainya tak sebesar Saparua memang. Tetapi tempat-tempat tersebut memiliki sejarah yang tak kalah penting untuk dicatat

Setelah era Saparua, mungkin Bandung tak memiliki lagi ruang strategis dan cukup besar untuk menjadi titik kumpul bagi individu atau komunitas yang tersebar dari seluruh sudut kota. Untuk yang pernah merasakan atmosfer Saparua, dipastikan banyak memori yang tertinggal disana; bertemu kawan baru, panggung yang intim serta grup musik teranyar yang ditemukan disana. Seperti sesuatu yang tumbuh, suatu saat akan ada waktu dimana tenggelam tiba, dan hal ini berlaku juga untuk Saparua. Bagi sebagian pegiat, kisah romantis Saparua masih jadi bahan pembicaraan sampai hari ini. Tak apa, memang, saya pribadi sebagai warga yang tak pernah langsung merasakan atmosfir disana ketika masa kejayaannya tidak memiliki memori seperti kawan-kawan yang dahulu aktif dan meninggalkan masa indah.

Namun, ada hal yang cukup sering dibicarakan akhir-akhir ini, terutama semenjak perizinan acara di Bandung lumayan dipersulit; “Bandung sekarang sulit untuk cari venue untuk gigs ya…” dan “Kok band dari Bandung jarang terdengar sekarang…” dua pernyataan atau pertanyaan (?) tersebut beberapa kali lalu lalang di media sosial atau jadi obrolan tongkrongan. Sebetulnya, sah- sah saja opini tersebut terlontar, mungkin ada semacam keresahan melihat bagaimana skena musik di Bandung hari ini yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dari semua lini ekosistemnya. Tetapi satu, hanya satu pertanyaan balik untuk hal tersebut: Apakah Bandung benar- benar darurat soal itu?

Aktivitas musik–yang melibatkan masa besar–sempat tidak diperbolehkan, khususnya untuk musik ekstrim/keras. Sejak tragedi tersebut, ada waktu di mana acara musik menjadi hening di Bandung, satu faktornya adalah perizinan

Saya coba tarik mundur ke tahun 2000-an awal, sekitar tahun 2006 di Bandung terdapat satu ruang kecil bernama iFVenue yang bertempat di Jalan Ramdan, satu ruko yang disulap menjadi ruang kreatif yang diorganisir oleh IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Selain menjadi ruang kerja, iFVenue cukup sering mengadakan pentas musik, beberapa musisi dari berbagai genre sempat menjajal ruang tersebut, dari mulai Homicide sampai Sabot, duo math rock dari Republik Ceko. iFVenue pun menjadi tempat bagi beberapa musisi yang baru memulai karirnya, dengan birokrasi yang tidak bertele-tele untuk mengadakan acara, tempat tersebut jadi satu alternatif baru di Bandung saat itu.

Ekosistemnya pun berjalan baik, dari mulai penjualan merchandise, artwork yang dikerjakan oleh seniman dari jejaring dekat, cetak zine, serta jadi titik kumpul beberapa komunitas lintas displin yang mengerjakan banyak hal. Selain itu, hampir eksis di zaman yang sama, hadir pula Ultimus, satu perpustakaan dan penerbit yang dekat dengan komunitas-komunitas. Ruang kecil Ultimus pun tidak jarang menjadi ruang alternatif untuk mengadakan acara musik, selain diskusi tentunya. Yang tak boleh luput untuk disebut diantaranya ada Lou Belle, Kineruku, Warung Imajinasi, Karamba, dan banyak lagi.

Bandung Timur sudah pasti masuk catatan. Terkenal dengan julukan “Ujungberung Rebels”, sudah sangat banyak putra/i asal timur Bandung yang menjadi musisi besar tanah air. Dengan semangat mengikuti jejak pegiat sebelumnya, disana banyak ruang yang diaktivasi untuk mengadakan gigs musik cadas. Studio showcase dan lain sebagainya mereka sulap untuk jadi ajang unjuk gigi, tak sedikit musisi muda yang berhasil meniti karir ke luar negeri. Dan tak hanya daerah Ujungberung, wilayah semakin timur seperti Cileunyi, Rancaekek sampai Tanjung Sari pun sama ganasnya.

Bandung Timur sudah pasti masuk catatan. Terkenal dengan julukan “Ujungberung Rebels”, sudah sangat banyak putra/i asal timur Bandung yang menjadi musisi besar tanah air

Satu tempat yang sempat ramai sebelum berubah fungsi yaitu Safehouse, yang bertempat di Jalan Ambon. Secara geografis tempat tersebut sangat strategis, berada di pusat keramaian Bandung, akses pun tak sulit. Walau tak besar, namun sudah menjadi garansi setiap minggunya selalu ada acara di sana, seminimal mungkin ada beberapa kawan-kawan yang mengadakan jamming session disana. Beberapa musisi sempat mengadakan peluncuran album, dengan konsep intimate concert, tempat nyaman untuk bertemu kawan-kawan baru.

Hari ini pun tak kalah ramai, tradisi mengadakan gigs di distro masih eksis. Satu contoh adalah Husted Youth, salah satu brand asal Bandung yang berada di Jalan Surapati. Mereka rutin mengadakan showcase skala kecil yang beriringan bersama peluncuran artikel terbaru, menggandeng musisi-musisi yang sedang meniti awal, bukan hanya musisi yang sudah “jadi”. Semangat mengorganisir showcase yang konsisten pun kembali melanjutkan perputaran ekosistem musik di Bandung, menyediakan ruang bagi musisi-musisi yang memerlukan ruang untuk tampil.

Beberapa bar pun masih menggeliat untuk mewadahi ruang untuk mengadakan acara, gigs bar yang sudah lama menjadi kultur, walau berpindah-pindah karena umur ruang tersebut yang tak lama namun masih tetap berjalan. Dari mulai acara berskala kecil sampai konser musisi besar dalam satu bulan dipastikan selalu hadir, dimanapun itu.

Sebusuk-busuknya kota Bandung dengan segala aturan yang kadang terlampau ajaib, akan selalu ada cara untuk bersenang-senang. Kita mungkin kehilangan ruang “besar”, namun sepertinya itu tak pernah jadi masalah rumit bagi pegiat musik di Bandung

Jangan lupakan Spasial, hampir bertahun-tahun sempat menjadi titik sentral bagi skena musik di Bandung. Walaupun bertempat di kawasan militer, tempat tersebut ketika masa aktifnya tak pernah berhenti mengadakan acara. Diorganisir dengan baik, Spasial menjadi spesial karena sempat menjadi capaian musisi-musisi untuk dapat tampil disana. Kapasitas yang tak lebih dari 200 orang untuk menonton, menjadikan tempat tersebut hangat. Sampai terakhir sebelum benar-benar gulung tikar, Koil pernah konser tunggal disana.

Belum lagi aktivasi kampung kota, kawan-kawan aliansi seringkali mengadakan berbagai acara untuk menghidupi ruang tersebut, menemani warga dengan segala bentuk yang bisa diupayakan. Dari berbagai konten acara, panggung musik menjadi salah satu yang selalu hadir, tak terhitung banyaknya musisi baik dari Bandung maupun luar Bandung yang menjadi pengisi acara. Mulai dari Dago Elos sampai Taman Sari, inisiatif kawan-kawan aliansi untuk membuka ruang pertemuan antar komunitas terjalin disana, melibatkan banyak pihak untuk bersolidaritas untuk merayakan sejenak.

***

Dari perihal di atas, kita bisa melihat bahwa di Bandung–khususnya di ranah musik–tak pernah kesulitan untuk mendapat ruang, pun tak pernah kehabisan melahirkan musisi-musisi baru yang luar biasa bagus. Celoteh-celoteh yang terdengar seperti “pas jaman baheula mah, Bandung teh rame. Loba wae acara” atau “band Bandung ayeuna mah teu jiga baheula” tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Jika harus disebut, banyak musisi Bandung yang eksis dan tak kalah penting untuk dicatat dikemudian hari, hadir The Panturas, Flukeminimix, Sunbath, Collapse, Black Hawk, Kuntari, Succubus, Randslam. Perlu lima paragraf lagi mungkin untuk menulis daftar musisi yang ada di Bandung.

Celoteh-celoteh yang terdengan seperti “pas jaman baheula mah, Bandung teh rame. Loba wae acara” atau “band Bandung ayeuna mah teu jiga baheula” tampaknya harus dibuang jauh-jauh

Sekali lagi, Saparua itu penting, sejarah mencatatnya. Namun jika hari ini harus selalu mengacu pada pola lama, generasi selanjutnya seolah dituntut untuk melanjutkan tongkat estafet dengan cara usang, yang dipikir masih relevan. Tak salah sepenuhnya, memang, tetapi akan jalan ditempat. Saparua seperti makhluk gentayangan masa lalu yang arwahnya menghantui generasi setelahnya, dari beban sejarah orang lama. Selalu diromantisir, dipaksakan untuk selalu ada. Seolah pencapaian dari gerakan bermusik harus dengan level kebesaran yang sama.

Sebusuk-busuknya kota Bandung dengan segala aturan yang kadang terlampau ajaib, akan selalu ada cara untuk bersenang-senang. Kita mungkin kehilangan ruang “besar”, namun sepertinya itu tak pernah jadi masalah rumit bagi pegiat musik di Bandung, untuk mendapat ruang baru selalu ada siasat yang dilakukan demi melangsungkan sebuah acara. Sebelum Ridwan Kamil sorak dengan slogan “Bandung Kota Kreatif”, sudah sejak kapan kawan-kawan skena melakukannya dengan lebih.

Melihat musisi di Bandung terus aktif, label rekaman yang tetap hidup, media yang masih ada untuk memberitakan, merchandise jalan terus, publik yang datang dan membeli tiket, ekosistem musik di Bandung sebetulnya sangat baik-baik saja (dan tak pernah redup). Sepertinya hari ini musisi Bandung memang tak terlalu memerlukan ruang besar yang dapat menampung ribuan orang. Dengan hidupnya ruang-ruang kecil yang tersebar di penjuru kota, jejaring individu dan komunitas yang terus terhubung baik bertemu di darat maupun via media digital, selama masih dilakukan dengan semangat senang-senang semua akan berjalan sebagaimana mestinya, tanpa ada tuntutan apapun.

 

 


Penulis: Hilmy Fadiansyah. Lahir dan besar di Bandung, lulusan seni rupa UPI dan sekarang sedang menempuh studi kuratorial. Aktif menulis dan mengurus Highvolta Media. Mengelola ruang cetak fisik mandiri di HV Lab, untuk produksi magazine, artprint dan buku. Bisa dikontak di Twitter @bullethound dan IG: @hilmyfdnsyh

1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Boboko
Boboko
1 year ago

Sae a.

Eksplor konten lain Pophariini

Di Balik Panggung Synchronize Festival 2024

Synchronize Festival 2024 sukses berlangsung selama 3 hari di Gambir Expo selama tanggal 4-6 Oktober lalu. Perhelatan tahunan untuk warga-wargi pecinta musik lokal ini mengusung tema Together Bersama tahun ini. Selama 3 hari para …

Adrian Khalif Rilis Album Baru yang Tampilkan Single Duet bareng Bernadya

Pasca mengeluarkan dua single sekaligus bertajuk “Maling” dan “Sekarang”, Adrian Khalif melanjutkan kiprah bermusiknya lewat peluncuran album kedua berjudul Harap-harap Emas hari Jumat (27/09).    Sejumlah lagu dari album mini Mr. Menawan juga masuk …