Banyak Jalan Menuju Nada
Saya lupa nama, tapi ingat petikannya. Dia gondrong sekerah—potongan hip anak muda saat itu. Dan, benar, ternyata dia pun menyukai Duran Duran. Saya tidak tau persis dari mana orang tua saya bisa menghubunginya hingga saya les gitar dengannya.
Kursus yang buat saya berjalan lamban. Sore dengan denting panjang-pendek yang pelan-pelan membosankan. Saya kurang sabar. Padahal saya tak perlu ke mana-mana, guru datang ke rumah, dengan gitar akustiknya yang cokelatnya lebih gelap dari warna gitar saya. Mobilnya gaya, tapi saya lupa merknya. Dia ramah. Namun, seperti sia-sia investasi orang tua, saya gagal bisa bergitar—apalagi mahir– setelah sebelumnya saya pun telah gagal bisa berenang. Saya juga kurang mengerti, kenapa saya les berenang tapi gagal bisa berenang? Tapi ada kenangan yang tak terlupakan: habis les berenang saya suka makan bakso. Enak. Lembut.
Balik ke les gitar, ini bukan salah guru gitar saya, dan juga bukan salahnya Eddie Van Halen yang sedang mulai jadi primadona. Yang pasti, bila teman-teman kompleks mulai bermain di sore hari, hal itu jauh menggoda dibandingkan membaca not balok pada lembar kedua buku pelajaran. Suara teman-teman bermain di luar, lebih nikmat dibandingkan suara gitarku memainkan melodi tentang tempo. Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu (di sampingmu).
Tetapi nampaknya bukan itu problemanya. Jauh bertahun-tahun kemudian, bahkan saat saya sudah jadi anak band kelas teri, saya pernah coba-coba les bas, dan gagal. Gaya busana guru bas saya nyentrik, tapi kurang masuk buat saya. Nyentrik yang gimana gitu. Jadi, fashion nyentrik itu, menurut saya, bisa ens, bisa nggak ens. Sulit untuk dijelaskan kenapa fashion nyentrik si A enak dilihat dan kenapa fashion nyentrik si B menjadi gagal di mata saya. Bukan masalah fisik pemakainya juga. Ada rasanya.
Ya, masalah fashion memang bukan alasan untuk terlalu dini saya berhenti les. Lebih kepada: saya malas.
Saat lagi menulis ini di paviliun, tiba-tiba anak saya nyanyi Gundul Gundul Pacul. Saya ikut nyanyi. Anak saya bertanya,” Emang Bapak tau lagunya?’ Saya jawab, “Iya.” Lalu anak saya menantang, “Coba nyanyiin…” Dan saya hanya hafal liriknya sebaris. Anak saya mengganggap itu hal yang payah. Lalu dia mengambil ATLAS di lemari, asik melihat peta aneka negara. Hobi dia.
Nah, kembali ke les musik. Saya adalah murid les yang kandas. Mega kandas. Tapi, saya merasa suka musik. Walau saya sama sekali tidak tahu, atasa dasar apa recorder menjadi alat musik yang wajib dipelajari di sekolah-sekolah dasar, dengan alternatif pianika. Dan kita menyebut instrumen recorder itu dengan “suling”. Saya sudah lupa memainkan melodi “Ibu Kita Kartini” dengan “suling”, dan saya juga belum sempat menonton film “Kartini” kemarin. Apakah terlambat kalau nanti sore, kita ke bioskop?
Di masa Sekolah Dasar dahulu, belajar tentang musik paling menantang justru datang dari buku gambar tempel. Dulu sempat nge-trend buku gambar tempel. Jadi, kita mengumpulkan gambar tempel-gambar tempel untuk ditempel di bidang-bidang yang telah disediakan oleh buku. Buku gambar tempel itu tematik. Yang paling legendaris tentu saja seri fauna. Yang jadi favorit personal saya adalah seri Piala Dunia 1986. Yang paling luks adalah seri Columbus. Namun, ada satu buku gambar tempel yang begitu mencuri perhatian: seri musisi dunia! Nah, bila musisi-musisi d kategori “adult contemporary” atau kategori lainnya di rak toko kaset tidak terlalu menjadi prioritas saya waktu itu, maka kehadiran mereka pada bentuk stiker menjadi harus saya kumpulkan demi upaya melengkapi dan memenuhi bidang buku stiker saya. Di era itu lah saya semakin kenal dan tambah dekat dengan musisi-musisi di luar orbit musisi favorit saya kala itu .
Saya banyak belajar musik dari hobi mengoleksi stiker. Saya menimba ilmu jasmani dari lagu SKJ. Dan waktu SD, saya paling senang kalau ada pertandingan Mike Tyson, karena sekolah berhenti belajar untuk sesaat, kita nonton bersama.
Salam olahraga!
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …
Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024
Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …