Belajar Merasakan Diri yang Penuh dengan Mengulas Musik
Latarnya awal pandemi COVID-19. Sebagai mahasiswa semester dua yang mulai takut akan mulai seriusnya materi kuliah, pengumuman pelaksanaan pembelajaran secara daring terasa bagaikan masuk ke ruangan dengan pendingin ruangan bersuhu 16 derajat celsius. Tak perlu lari mengejar MRT pukul 6:30 pagi. Tak perlu melihat desak-desakan pekerja di Stasiun Sudirman yang ikutan bikin sesak. Tak perlu berjalan ke gerbong depan kereta agar dekat dengan pintu keluar. “Paling semester depan udah bisa kuliah kaya biasa lagi nih,” ucapku saat itu dengan naif.
Linimasa Instagram tak henti-hentinya diisi kegiatan kawan-kawanku selama di rumah. Banyak yang jadi Sufjan Stevens dengan memetik gitar akustik, banyak juga yang jadi Chef Renatta Moeloek dengan berbagai varian kukis buatan rumah yang siap dikirim ke pembeli. Bahkan, banyak yang jadi Tom Colicchio. Aku pun tak tahu dia siapa, cuma ia merupakan nama yang pertama muncul ketika mencari kata kunci “chefs who play guitar” di internet. Membuatku jadi penasaran, ini mereka les privat dengan Tohpati? Di rambut mereka ada tikus seperti di film Ratatouille? Kok tiba-tiba pada jago banget!
Linimasa Instagram tak henti-hentinya diisi kegiatan kawan-kawanku selama di rumah. Banyak yang jadi Sufjan Stevens dengan memetik gitar akustik, banyak juga yang jadi Chef Renatta Moeloek dengan berbagai varian kukis buatan rumah
Tetapi, percayalah aku juga sudah mencoba belajar tetapi jariku terlalu besar untuk menahan senar alhasil tak terdengar kunci gitar yang benar (alasan semata). Aku juga sudah bisa menghidupkan kompor gas di rumah untuk memasak mie instan yang jumlahnya sudah tak terhingga. Sebuah kemajuan, bukan?
Tekanan tinggi kehidupan di rumah saja untuk mempelajari kemampuan baru ataupun sekedar merefleksikan diri makin menghimpit. Setidaknya jika tidak tercapai poin pertama, aku bisa laksanakan poin kedua. Tetapi tak menyangka melakukan poin kedua dapat membuka jalan menuju poin pertama. Ingin rasanya membentuk makna untuk diri sendiri. Ingin merasa berfungsi setidaknya untuk diri sendiri. Pada saat yang sama, ketakutan untuk terjebak pada satu titik yang sama semakin menggerogotiku.
“Masa kalah sih sama yang lain?” bisikan setan menyebalkan yang menggerayangi otakku. Asalnya tidak suka berkompetisi, tetapi dicekoki dengan pencapaian rekan sebagai makanan setiap hari meninggalkanku tanpa pilihan. Ditambah lagi dengan kecemasan selama pandemi, cepatnya detak jantung menunggu 15 menit setelah hidungku dicolok, ketakutan akan kematian juga masa depan, makin menggali lubang dan memperlebar kekosongan diriku..
“Masa kalah sih sama yang lain?” bisikan setan menyebalkan yang menggerayangi otakku. Asalnya tidak suka berkompetisi, tetapi dicekoki dengan pencapaian rekan sebagai makanan setiap hari meninggalkanku tanpa pilihan
Setelah melakukan refleksi, aku sadar akan banyak hal yang aku rasa banal tapi ternyata tidak asal. Jujur aku sedikit malu untuk mengungkapkannya. Aku suka menulis, tetapi kemampuanku sebatas membuat artikel berbau musik yang masih berwarna merah di Wikipedia. Aku suka berkutik di Photoshop dan keseharianku membuat desain postingan perayaan tanggal merah untuk media sosial himpunan jurusan. Aku suka musik, hobiku menyumbat telinga dengan perangkat jemala hingga baterai ponselku merah. Aku tidak suka mengulas, beban perkuliahan antropologi yang memaksaku menulis ulasan artikel jurnal dan buku di setiap mata kuliah hingga mataku merah.
Bagaimana jika aku gabungkan semuanya? Bagaimana jika aku mengubah makna “mengulas” pada hal yang benar-benar aku suka? Aku ingin membiasakan menulis, mendesain, dan mengulas, siapa tahu jika aku handal pada ketiga hal itu dapat membuatku menjadi ciamik! Tak kalah dengan para Sufjan dan Renatta di luar sana.
Akhirnya, ide cemerlangku (yang kira-kira muncul hanya empat bulan sekali) pun hadir. Berbekal menutup mata ketika memencet tombol mendaftarkan akun baru di Instagram, aku memulai perjalanan akun Jurnal Andro di Instagram, tempatku mencurahkan opini sotoy dan membagikan pengalaman mendengarkan rilisan musik yang keluar setiap minggu (idealnya). Juga bukan nama yang ideal memang. Diam-diam memantik sisi kecil narsistik yang ada di dalam diri. Rasanya melegakan, di antara banjirnya notifikasi LinkedIn berisi “xxx started a new position as xxx Intern at xxx”, aku bisa berpegang pada sesuatu yang aku benar-benar suka. Dengan visi yang sudah tertanam di kepala perihal bagaimana aku mengarahkan akun tersebut, aku mulai mengeksekusi. Desain.
Aku memulai perjalanan akun Jurnal Andro di Instagram, tempatku mencurahkan opini sotoy dan membagikan pengalaman mendengarkan rilisan musik yang keluar setiap minggu (idealnya).
Oke (menurutku). Materi. Oke (menurutku). Rencana publikasi. Oke (menurutku). Blog. Oke (menurutku). Instagram. Oke (menurutku). Semuanya aku lakukan sendiri. Dikerjakan secara indie dari kamar tidur, tak kalah dengan para musisi bedroom pop. Beberapa minggu pertama, mengelola Jurnal Andro membuat diriku merasa penuh. Pujian dari kawan-kawan, biar pun hanya dapat dihitung jari, membuatku bergairah lagi. Dengan promosi tak tahu malu di akun pribadi, pengikut akun perlahan naik sedikit demi sedikit. Hal ini membuatku senang karena ternyata yang aku lakukan ini bukanlah sesuatu yang sia-sia, setidaknya dibaca sedikit oleh mereka. Mungkin inilah apa yang orang-orang sebut dengan mempunyai tujuan dan memiliki makna diri.
Awalnya rutin per minggu selama libur peralihan semester baru. Namun, ketika perkuliahan menerjang, aku mulai kewalahan mengimbangi menulis ulasan artikel jurnal kuliah dan menulis artikel ulasan Jurnal Andro. Idealnya setiap minggu menulis satu album dan singel terpilih, mendesain tiga postingan (satu untuk sampul, satu untuk album, satu untuk singel), memikirkan kapsi yang menarik tapi sebisa mungkin tak perlu menggunakan tagar agar tidak terlihat “putus asa”, mengunggah tulisan ke blog dan postingan ke Instagram, serta melakukan promosi kecil-kecilan di akun pribadi.
Awalnya rutin per minggu selama libur peralihan semester baru. Namun, ketika perkuliahan menerjang, aku mulai kewalahan mengimbangi menulis ulasan artikel jurnal kuliah dan menulis artikel ulasan Jurnal Andro
Semua itu harus diimbangkan dengan ulasan artikel mata kuliah Antropologi Ekonomi, Antropologi Linguistik, Evolusi Manusia, Teori Antropologi Klasik, serta tugas mingguan Pengantar Statistik Sosial yang terus bergulir setiap minggunya hingga akhir semester. Muntah. Tak ada maksud ingin berlomba-lomba jadi paling menderita, tetapi menyeimbangkan dua kehidupan itu sulitnya bukan main.
Jangan kira akunku diikuti ribuan orang, dibaca ratusan orang, dikomentari puluhan orang dan dilaporkan segelintir orang karena tulisanku menyederai proyeksi kesempurnaan karya idola mereka. Audiens akunku masih sebatas akun utama teman-temanku, akun kedua alias finsta teman-temanku, serta penggemar musisi yang pernah membagikan postinganku di laman mereka. Aku pernah baca jika kunci kesuksesan ialah konsistensi. Idealnya tak peduli berapa banyak kunjungan atau jumlah suka pada kirimanku, asalkan terus berjalan.
Jangan kira akunku diikuti ribuan orang, dibaca ratusan orang, dikomentari puluhan orang. Audiens akunku masih sebatas akun utama teman-temanku, akun kedua alias finsta teman-temanku.
Tetapi sayangnya aku tidak setangguh itu. Bergonta-ganti konsep dan membuat nyaman diri sendiri, sebelum akhirnya kulepaskan. Bergonta-ganti menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia, terkadang kata dari salah satu bahasa cocok mendeskripsikan pengalamanku mendengarkan album terkait, sebelum akhirnya kulepaskan. Menyusutkan konten menjadi eksklusif mengulas album saja, sebelum akhirnya kulepaskan. Sepenuhnya mengalihkan Instagram sebagai medium utama dalam memajang tulisanku karena kunjungan blog yang semakin menurun, sebelumnya akhirnya kulepaskan. Konsistensi diputus oleh sulitnya menyusun berbagai potongan demi diri sendiri yang utuh.
pengalaman mendengarkan musik baru menjadi berbeda. Selalu terselip kalimat yang menurutku gemilang untuk dimasukkan ke dalam Jurnal Andro. Aku merasa sayang jika ini harus ditinggalkan. Walaupun tak seberapa, melakukan semua itu membuatku merasa penuh
Setelah sejenak inaktif, pengalaman mendengarkan musik baru menjadi berbeda. Selalu terselip kalimat yang menurutku gemilang untuk dimasukkan ke dalam Jurnal Andro. Aku merasa sayang jika ini harus ditinggalkan. Walaupun tak seberapa, melakukan semua itu membuatku merasa penuh. Aku bisa merasa bermakna lagi. Aku merasa lebih nyaman dengan diriku. Tak sabar tiap akhir semester agar aku dapat mencari celah untuk memulai kembali dari nol. Berkali-kali aku memulai ulang tetapi kesibukan yang tak bisa aku ekspektasikan memupuskan harapanku. Sampai akhirnya menginjak tingkat ketiga, mulai lowong perkuliahanku.
Dengan dinamika pandemi yang aku rasakan, aku berserah seutuhnya mengenai bagaimana dunia berputar dan terus berusaha yang paling maksimal yang aku bisa setiap harinya. Tetapi, tak lupa untuk beristirahat, walaupun lebih sering bablas rehatnya. Nilai akademik yang tak sesuai ekspektasi, kehidupan interpersonal yang sering membuat kecewa, pandemi yang tak kunjung usai, keadaan dunia yang kian buruk. Seluruhnya membuatku semakin tabah dan inginnya menghalau hal-hal yang menyebalkan tertanam dalam diriku.
Sekarang aku tak peduli apakah akan menemui rintangan atau pujian. Sudah tak lagi rutin menyegarkan notifikasi untuk melihat jumlah penyuka. Semua aku lakukan untuk diriku bukan untuk mengais validasi dari luar lagi.
Pada saat yang sama, aku akhirnya dapat mengendalikan apa yang aku mau dengan lebih leluasa. Aku mencari alternatif untuk menata ulang Jurnal Andro yang tak menjeratku setiap minggu tetapi tetap menjalankannya dengan konsisten. Akhirnya, ide cemerlangku datang lagi. Merilis ulasan dan mengompilasi album terbaik setiap caturwulan terdengar seru (setidaknya untukku). Memantapkan diri, membaca lebih banyak ulasan, mendengarkan musik lebih banyak, menemukan jenis dan cakupan musik yang lebih luas lagi. Aku lebih siap melanjutkan perjalananku bersama Jurnal Andro.
Sekarang dengan keadaan internal yang lebih stoik, aku tak peduli apakah langkah yang kuambil akan menemui rintangan atau pujian. Lebih berkurang deg-degan sebelum mengunggah postingan. Sudah tak lagi rutin menyegarkan notifikasi untuk melihat jumlah penyuka. Semua aku lakukan untuk diriku bukan untuk mengais validasi dari luar lagi.
Aku sadar bahwa standar dalam merasa penuh itu bukan ditandai dengan memulai suatu hal yang menggebrakkan. Aku terlalu terobsesi menciptakan “album debut” yang diberi skor sempurna oleh Anthony Fantano. Aku terlalu terobsesi menciptakan “directorial debut” yang mendapat predikat 100% Fresh di Rotten Tomatoes. Sebelum akhirnya aku melihat ke belakang dan aku sadar bahwa mengetahui kemampuan dan batasanku membuatku merasa penuh. Tak perlu khawatir perbedaan kecepatan lariku jika dibandingkan dengan kawan-kawanku. Tak perlu khawatir mengenai siapa yang lebih dulu sampai di garis finis. Aku sadar bahwa tidak apa-apa tak merasa penuh jika wadahnya sebesar galon. Toh, akan terasa penuh bahkan luber jika wadahnya sebesar tutup sirup.
Aku merasa penuh karena merelakan Jurnal Andro berjalan tak sesuai dengan visi awalku. Aku merasa penuh karena akhirnya tahun ini dapat melanjutkan Jurnal Andro dengan kapasitas diri sendiri. Aku merasa penuh karena menulis ulasan membantuku menulis jurnal harian
Dalam bingkai blog ulasan musikku, aku dulu pikir merasa penuh artinya aku dapat mengunggah ulasan secara rutin dan mendapatkan pujian serta audiens yang besar. Tetapi aku sadar bahwa sebenarnya aku bisa merasa penuh karena sadar dengan kesibukan kuliahku hingga tak lagi dapat melanjutkan Jurnal Andro untuk sementara.
Aku merasa penuh karena merelakan Jurnal Andro berjalan tak sesuai dengan visi awalku. Aku merasa penuh karena akhirnya tahun ini dapat melanjutkan Jurnal Andro dengan kapasitas diri sendiri. Aku merasa penuh karena menulis ulasan membantuku menulis jurnal harian. Aku merasa penuh karena memulai Jurnal Andro membantu temanku melakukan hal yang serupa. Aku merasa penuh karena memiliki kesadaran bahwasannya tak dapat mengontrol hal yang tidak bisa aku kontrol. Aku merasa penuh karena setidaknya aku memulai. Aku merasa penuh karena kemampuan untuk tahu kapan harus istirahat. Aku merasa penuh karena tak perlu validasi eksternal untuk dapat merasa penuh. Aku merasa penuh karena aku dapat membentuk makna kehidupanku sendiri.
Walaupun begitu, aku juga masih belajar jadi harus dikeplak secara rutin. Hehe.
Penulis: Kristoforus Andro Putranto
Mahasiswa FISIP / Antropologi Sosial Universitas Indonesia yang suka bengong mendambakan makan all you can eat dimsum. Atau mengeluh soal perkuliahan. Atau mendengarkan musik kesukaan. Atau bisa juga ketiganya sekaligus. Temui Andro di Instagram @andropologi dan @jurnalandro
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …