Berpegangan Pada Ritme Baru, Saat Ini Tidak Produktif Tidak Apa-Apa.

Apr 19, 2020

Kita memasuki bulan kedua paska virus Covid-19 ini menjangkiti Indonesia awal Maret lalu. Atau bulan 4 kalau dari kemunculan di negara asalnya pada Desember 2019 lalu di Wuhan, Cina. Kini virus Corona dinyatakan sebagai wabah pandemi yang menjangkiti seluruh dunia. Dan kita dihadapkan pada wajah kehidupan baru yang tidak akan pernah sama, dan hampir pasti serba baru.

Tagar #dirumahaja bergema di Indonesia, dan tagar #stayathome bergema di seluruh penjuru dunia dan keduanya teramplifikasi melalu media sosial. Dan hal yang tidak pernah terjadi di muka bumi pun terjadi. Semua orang di seluruh penjuru dunia memilih berdiam di rumah saja dan menghindari bepergian kalau tidak perlu sekali. Kalaupun perlu kita akan menjumpai orang-orang saling memakai masker dan beberapa bahkan sarung tangan di tempat umum. Bagaikan dalam film-film genre post-apocalyptic.

Nyaris semua industri dihajar babak belur. Etos Work From Home yang digadang-gadang memutus rantai penyebaran virus Corona tak anyal turut mengganggu rantai ekonomi juga. Nyaris semua kena imbasnya termasuk industri musik yang masih bergantung pada panggung-panggung mingguan yang komunal. Social distancing kemudian menjadi physical distancing dan kini PSBB (Pembatasaan Sosial Berskala Besar) bagaikan mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan. Terlebih para musisi beserta tim produksinya yang masih bertumpu pada acara panggung-panggung mingguan. Sehingga kini berbagai jenis gigs/festival musik yang mengharuskan berkumpul-kumpul dibatalkan dan diundur entah sampai kapan.

Namun bukan industri kreatif namanya kalau tidak bisa beradaptasi dan memutar otak dengan cepat. Hanya dalam hitungan minggu berbagai inovasi dan konten untuk menghadirkan hiburan dari rumah ke rumah segera bermunculan. Berbagai brand dan pihak sponsor yang biasa mendukung acara musik lantas berlomba-lomba membuat aktivasi daring. Sehingga para musisi yang biasa merajai panggung dibanjiri pinangan untuk aktifasi ini-itu. Dan tidak sampai sebulan era pandemi ini para musisi yang melakukan aktifasi daring bermunculan di media sosial.

Kini kita dihadapkan pada wajah kehidupan baru yang tidak akan pernah sama, dan hampir pasti serba baru.

Siapa sangka ritual komunal berkerumun, berpeluh keringat, goyang bersama menyanyikan lagu kesukaan kala menonton acara musik kini bisa digantikan dari rumah. Meskipun minus semua unsur-unsur menyenangkan dari sebuah gigs itu. Kita kini bisa menyimak sang idola tampil dari layar hitam gawai kita langsung dari rumah/studio pribadinya. Dan lucunya bila sebelumnya banyak anjuran untuk membatasi screentime gawai karena tidak baik untuk kesehatan mental, justru kini layar hitam itu menjadi teman terbaik manusia dalam menyingsing pandemi ini.

Para insan kreatif, terutama musisi berlomba-lomba membuat konten dan melayarkan kegiatan mereka melalui layar gawai. Baik itu hal-hal musikal ataupun hanya sekedar mengobrol. Dari bedah lagu, tutorial, latihan, membuat video untuk direspon, podcast, penggalangan dana dan masih banyak lagi. Sebisa mungkin menjadi produktif adalah kuncinya. Dan semua dilakuan via media sosial.

Tapi berhati-hatilah bila produktifitas ini kemudian membebani kita para pekerja kreatif termasuk musisi, dan terutama para pekerja musik yang biasa bergerak di balik layar. Boro-boro produktif, penghasilan bulan ini dan beberapa bulan ke depan saja tidak menentu. Entah bagaimana bisa selamat dari bulan-bulan tanpa penghasilan pasti yang masih bergantung pada panggung-panggung mingguan itu.

Perlu dingat sudah menjadi rahasia umum bila media sosial adalah bagaikan pisau yang bermata dua. Selain kini menjadi pusat informasi dan juga hiburan utama, media sosial sekaligus juga sumber stres dan depresi bagi manusia-manusia jaman sekarang yang kesehatan mentalnya begitu rentan di era industri 4.0 ini. Ditambah melalui layar hitam itu kini di era pandemi ini kita harus terbiasa melihat orang menjadi sangat produktif dari rumahnya. Dari buku, film, album-album musik yang mereka konsumsi, juga kebiasaan postif seperti olahraga, berkebun, memasak menu-menu yang Instagram-able yang bermunculan setiap detik di layar gawai kita. “Walaupun pandemi, dan di rumah saja kita tetap harus produktif gaes!”. Kalimat tersebut seolah menjadi pesan terbaru kehidupan ideal di era pandemi ini.

Perlu diingat bahwa kita sebagai manusia pada dasarnya lebih suka berbagi momen terbaik kita ketimbang kekurangannya. Itu hal yang sangat lazim ditemui di ruang tamu kebanyakan rumah kita bukan? Hal buruk cenderung kurang perlu untuk dibagi. Dan kecendrungan itu seringkali tanpa sadar membuat kita jadi membanding-bandingkan dan mengukur diri dengan keidealan orang lain melalui layar gawai mereka. Lalu merasa diri ini nol besar, bukan siapa-siapa.

Bila sebelumnya aDA anjuran membatasi screen time di gawai, justru kini layar hitamnya menjadi teman baik manusia dalam menyingsing pandemi ini

Padahal selain berusaha selamat dari virus yang menyerang paru-paru ini yang harus dilakukan adalah tetap waras secara mental. Tidak perlu produktif seperti mereka-mereka yang terlihat positif dan produktif mengisi keseharian melalui layar gawai itu. Perlu diingat, manusia itu dilahirkan berbeda. Dan punya reaksi berbeda-beda ketika dihadapkan pada suatu masalah. Tidak semua orang bisa setenang itu.

Mari kita lebih realistis dengan kondisi sekarang. Terlebih bila kita ada di posisi yang kurang beruntung belum memiliki simpanan/rencana darurat untuk beberapa bulan ke depan. Akan lebih baik kita fokus kepada kehidupan sekarang. Terutama untuk para pekerja musik yang boro-boro berfikir untuk produktif. Ini saatnya kita berbaiklah pada diri kita sendiri. Tak apa untuk menjalankan ritme baru dari rumah, beradaptasi sambil berkontemplasi tentang pandemi ini. Sambil tentunya tetap putar otak dan mencari celah untuk tetap hidup. Untuk melakukan apa-apa tetap lebih mudah bila kita dalam kondisi waras bukan?

Pandemi ini lebih besar dari semuanya, gaes. Lebih besar dari sekedar mengisi kegiatan #dirumahaja dengan produktifitas tinggi lalu memamerkannya di media sosial. Pandemi terakhir terjadi di 2009 yaitu flu babi (H1N1). Dan WHO bahkan menyebut kalau Corona-19 ini 10 kali lipat lebih berbahaya dari flu babi. Beberapa pihak memperkirakan pandemi ini akan berakhir pada akhir Mei atau awal juni, bahkan ada juga yang memperkirakan sampai awal tahun 2021. Belum lagi jika bicara efek samping yang akan menghantui yaitu resensi ekonomi.

Saya pribadi lebih tertantang untuk bisa selamat dari pandemi ini, dan ini bersiap menghadapi kehidupan baru seperti apa di depan semua ini. Dalam kondisi yang katanya planet bumi ini sedang me-reset ulang, start dari awal lagi, refresh atau apapun bahasanya. Yang pasti bumi yang sedang menikmati waktunya sendiri terbebas dari rutinitas manusia yang biasa mencekik planet yang mereka tinggali ini. Langit kota besar menjadi lebih cerah karena nihil polusi kendaraan dan pabrik industri. Kondisi laut lebih tenang, getaran planet bumi berkurang, serta bumi menjadi lebih sunyi. Semua terjadi karena nyaris seluruh penduduknya berhenti beraktifas di luar rumah.

Pandemi ini lebih besar dari sekedar mengisi kegiatan #dirumahaja dengan produktifitas tinggi lalu memamerkannya di media sosial

Namun saya yakin bahwa kita manusia adalah tetap bagian dari bumi ini. Walaupun  kita sudah cenderung sangat abai padanya. Maka itu sangat penting untuk tetap waras, membiasakan diri pada ritme baru dan yang terpenting jangan mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan emosi negatif kita. Karena emosi negatif adalah alarm tubuh. Jangan sampai kita jadi denial dan abai terhadap kondisi mental kita. “It’s ok to not be not ok“. Karena sekali lagi untuk melakukan apa-apa tetap lebih mudah bila kita dalam kondisi waras bukan?

Saat ini selain menghadapi musuh bersama yang tidak tampak yaitu virus Covid-19, musuh kita bersama lainnya yaitu kewarasan mental dalam menghadapi pandemi ini plus kehidupan media sosial. Maka itu berpeganglah pada ritme baru kita. Dan jika kita tidak produktif di era pandemi ini adalah tidak apa-apa.

____

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …