Cherrypop Festival Merayakan Kemandirian
Semenjak pamflet Cherrypop beredar di media sosial, saya penasaran untuk bisa menghadiri festival ini gara-gara daftar penampilnya terbilang acak.
Nama-nama seperti For Revenge, The Jansen, Kunto Aji, The Adams, Perunggu, The Panturas, dan Lomba Sihir yang lazim saya temu di banyak festival terapit oleh musisi-musisi yang belum pernah atau bahkan jarang saya saksikan di festival kebanyakan.
Hari menuju penyelenggaraan Cherrypop akhirnya tiba. Saya berangkat dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Tugu Yogyakarta tanggal 18 Agustus 2023 pukul 06.20 WIB.
Sampai di Jogja siang hari, saya langsung menuju ke tempat penginapan Asram Edupark yang masih satu lokasi dengan festival. Sebagai informasi, masih di tahun ini sebelumnya Asram juga pernah menjadi area penyelenggaraan Jurasik Fest dan Keroncong Plesiran Vol. 7.
Cherrypop digagas oleh iKonser yang pertama kali diselenggarakan Juni 2022. Kemudian memutuskan berpindah dari kabupaten Bantul ke Sleman. Di tahun pertama, penyelenggara mengundang Majelis Lidah Berduri yang saat itu masih bernama Melancholic Bitch. Lalu, MLB kembali menjadi salah satu nama yang mengisi panggung di tahun ini.
Sejak Penjualan Karcis 2 Day Pass seharga Rp 150 ribu (belum termasuk biaya tax dan admin) dibuka Februari 2023, Cherrypop langsung mendapat sambutan yang luar biasa dengan melaksanakan pra-acara, antara lain Weekend Pop Tour dan Di Balik Panggung di sejumlah kota yang membuktikan festival ini penuh kesiapan.
Tempat penyelenggaraan Cherrypop memiliki jarak 23 kilometer dari festival yang membawa unsur jazz yang pernah saya datangi beberapa tahun lalu. Namun, suasana Asram dengan medan yang berbeda ini malah mengingatkan saya terhadap festival musik di Bandung.
Seperti apa catatan perjalanan ke Cherrypop? Simak langsung di bawah ini.
Hari pertama Cherrypop Festival
Hari kedua saya berada di Sleman adalah hari pertama Cherrypop digelar, Sabtu 19 Agustus 2023. Saya masuk ke festival saat pintu masuk masih sepi pengunjung.
Menuju ke dalam area berjalan di atas kerikil, melewati pepohonan, dan jembatan dengan pemandangan sawah yang membentang di sebelah kiri. Tak jauh dari situ langsung disambut photowall yang biasa menjadi langganan orang-orang mengabadikan momen. Menariknya, ada beberapa ekor kambing yang ikutan berfoto ria.
Selama dua hari, festival selalu dimulai pukul 15.15 WIB. Panggung terdiri dari nama-nama yang unik. Padahal tidak dilaksanakan di kebun buah, yaitu Cherry Stage, Yayapa Stage, dan Nanaba Stage. Saya berkesempatan menyaksikan Untitled Joy, No Skill, For Revenge, dan The Jansen sore itu.
Usai break maghrib, saya membagi waktu untuk singgah ke dua panggung menonton beberapa, antara lain Jumat Gombrong, Bangkutaman, dan Seek Six Sick.
Situasi yang mencengangkan. Saat melintasi jalan di antara pepohonan dari Nanaba Stage ke Yayapa Stage sekitar pukul 19.57 WIB. Saya harus berhadapan dengan arus penonton yang ternyata ingin menyaksikan Rumahsakit naik panggung pukul 20.00 WIB.
Sebelumnya, saya sempat menemui para personel Rumsak di balik panggung, meminta pendapat mereka tentang Cherrypop.
“Kami tau acara yang sudah disiapin proper kayak apa, yang asal-asalan kayak apa. Ini salah satu yang proper. Dihubungi dari jauh hari (Desember 2022). Jadi, kayaknya memang persiapannya cakep,” kata Marky Najoan, gitaris Rumahsakit.
Terdengar keseruan penonton melihat aksi The Adams sebagai band penutup Cherrypop hari pertama dari atas bukit. Besok pasti lebih gila lagi pengunjungnya, batin saya.
Hari kedua Cherrypop Festival
Hari terakhir festival saya mulai dengan menemui Kiki Pea selaku Program Director Cherrypop Festival 2023 untuk mengajukan sejumlah pertanyaan. Kiki juga merupakan Project Director iKonser sekaligus Talent Relations Rajawali Indonesia.
Pria bertopi dengan tampilan nyentrik ini bercerita tentang arti dari Swasembada Musik yang menjadi tema festival.
“Swasembada, kalau kita generasi yang terdahulu. Kita kenal dekat dengan istilah swasembada pangan dari Bapak Pembangunan H. Muhammad Soeharto, jenderal besar. Dulu ada campaign untuk itu. Nah, hari ini spirit itu kita ambil, swasembada itu kan juga artinya mandiri. Jadi, kita juga hari ini merayakan kemandirian dan musik ini bisa kita nikmati, bisa kita tetap jalani itu karena dengan adanya kemandirian,” kata Kiki.
Ia juga mengungkapkan, sebagian besar musisi yang terpilih untuk bermain di panggung Cherrypop lantaran memiliki latar belakang yang sama, mengawali karier dengan kemandirian.
“Ekosistem juga saling berkelindan dari merchandising, rilisan fisik, record label, dan lainnya, Itu semua bisa bertemu dengan semangat swasembada,” lanjut Kiki.
Ketika berbicara soal pemilihan penampil festival yang mengedepankan nama-nama asal Jogja dengan tetap menghadirkan nama-nama luar daerah. Kiki merasa senang bisa menentukan itu semua bersama tim sesuai kemauan karena sebelumnya tak bisa merealisasi ini di tempatnya dulu bekerja.
Orang-orang yang berkontribusi di iKonser memiliki pengalaman yang sama, pernah bekerja di media atau stasiun-stasiun televisi besar. Di mana Cherrypop menjadi momen untuk balas dendam yang baik bagi mereka.
“Pertama adalah pasti kita senang. Maksudnya, kami kan (dulu) bekerja di stasiun televisi yang mana banyak artis-artis atau kita mengerjakan konser yang pesanan. Jadi, kami enggak suka-suka banget. Tapi, kami harus bikin konser mereka, misalnya gitu. Kalau kali ini, yang harus kami senang dong. Ya, senang pertama. Kedua, ada kedekatan. Baik kedekatan selera, kita dengar lagunya sudah lama. Terutama beberapa juga kenal dengan musisinya. Yang terakhir adalah ketika kita tawarkan, mereka mau. Semudah itu pilihannya,” jelas Kiki.
Ada beberapa kambing yang muncul di area photowall hari pertama. Saya pun menanyakan hal ini. Menurut Kiki, kambing simbol yang berkaitan dengan tema swasembada. Bagaimana rutinitas warga Jogja saat mereka menunjukkan kemandirian.
“Hari-harinya di sini juga banyak peternak, banyak orang ngangon kambing. Di Jogja, kita bisa melihat, pagi di sawah, malam ke gig. Itu sudah realitas kita hari ini. Itu yang coba direalitaskan. Kambing ini bagian dari pameran. Kambing bentuk visual dan hanya untuk seremonial,” tutup Kiki.
Selesai dari mewawancarai Kiki, saya bersiap untuk menikmati Cherrypop hari terakhir. Terlihat hari penutup ini lebih ramai dari hari pertama. Apakah karena Jenny? Pasti, bukan mungkin (lagi).
Selain panggung musik yang menjadi perhatian di Cherrypop itu area F&B, yang tak menghadirkan merek besar, melainkan usaha-usaha milik warga. Semua nama asing di mata, kecuali Sate Taichan Senayan, dan yang tak terlupakan mencicipi menu nasi olahan ayam tepung Fatty Dealer dan asupan kopi Americano tenda bernama Laju.
Saya mulai menonton musik di hari terakhir ini dari panggung Lorjhu. Selesai menyaksikan keunikan proyek musik Badrus Zeman, saya berjalan ke panggung utama untuk melihat The Panturas. Nihil jika area penonton band Bandung ini tak berdebu di sepanjang set dan crowd surfing menjadi visual biasa selama mereka bermain di mana pun. Saya juga baru tau Acin dkk punya gimmick memberikan uang 50 ribu kepada penonton yang memakai kaus The Panturas. Akur.
Kelar break maghrib, saya tak berpindah ke panggung yang lain hanya untuk menyaksikan Majelis Lidah Berduri, Efek Rumah Kaca, dan Jenny. Personel MLB, Ugo yang ditemui selesai manggung berkomentar soal tema yang diangkat oleh Cherrypop kali ini.
“Hope, harapan karena ya durung tekan toh, belum sampe. Terutama banyak yang under radar. Tapi sebagai mantra, jika itu belum ada. Itu kita panggil-panggil. Aku suka dengan upaya Cherrypop untuk memanggil-manggil situasi itu, dan semoga semua band, semua crew, semua ekosistem musik di Jogja akan mencapai titik itu. Harapan yang oke ya,” kata Ugo.
Komentar akun pribadi seseorang di video Jenny yang diunggah Pophariini 2 hari setelah festival, membuat saya teringat dengan pernyataan Ugo. “Anak skena bertanya-tanya siapa itu Jenny,” tulisnya. Ketikan ini menunjukkan, dia tau siapa Jenny tapi merasa orang lain tidak atau video tersebut bisa membuat band Farid Stevy yang mengaku sudah mati itu tidak lagi di bawah radar seperti harapan Ugo.
Bicara soal mengenal, mendengarkan, dan memilih mana akan selalu kembali ke selera karena tidak semua pendengar musik wajib tau siapa. Mengingat pencapaian yang diraih bisa berlandaskan banyak pilihan. Sepemikiran saya, bisa atas usaha yang tak pernah berhenti atau bertuhan kepada keberuntungan.
Keesokan harinya saya meninggalkan Asram Edupark tanggal 21 Agustus 2023 sekitar pukul 7 pagi dengan harapan pulang ke Jakarta bisa kembali lagi ke Jogja, dan tersadar salah satu sponsor Cherrypop sigaret. Benarkah festival ini memiliki spirit kemandirian? Sampai bertemu di tahun yang berikutnya!
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Band Punk Indonesia Favorit MCPR
Dalam perhelatan Festival 76 Indonesia Adalah Kita di Solo, kami menemui band punk-rock asal tuan rumah, MCPR sebagai salah satu penampil untuk mengajukan pertanyaan soal pilihan 5 band punk Indonesia favorit mereka. Sebelum membahas …
Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan
Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi. …
Paragraf terakhir 🫵🏼😂
Haha mungkin kemandirian yg dikompromikan
Haha
Kemandirian?