Cherrypop: Hidupkan Festival Musik Jogja dengan Band Mitosnya
Sepanjang 2023 ini beberapa konser musik yang rencananya diselenggarakan di Yogyakarta gagal dilaksanakan. Beberapa konser musik ini dibawa oleh promotor Juwana Creative. Sejak Oktober 2022 hingga Juli 2023, promotor ini menggelar delapan konser musik dengan skala cukup besar. Tiga terlaksana, lima konser gagal, dan ini mendorong beberapa kolektif penyelenggara konser di Jogja menjadi gerah.
Mereka menyerukan untuk Juwana menyelesaikan tanggung jawab pengembalian uang tiket yang dibeli penonton. Semenjak lepas dari Covid19 pada 2022 lalu berbagi konser musik memang banyak diselenggarakan, tapi buruknya manajemen, kurangnya pengetahuan dan pengalaman penyelenggara, hingga terbatasnya uang menjadi problem konser ini jadi batal dan merugikan penggemar.
Indra Menus, musisi dan juga promotor musik di Yogyakarta menyebut problem konser gagal ini memiliki banyak lapisan problem. Menurutnya beberapa hal yang bikin susah penyelenggaraan konser di Jogja itu sebagian seperti perizinan oleh kepolisian yang tidak jelas biayanya. “Konser gede batal ini bisa macem-macem sih, mulai mismanajemen atau kayak berharap dari tiket presale. Beberapa festival kan announce band dengan massanya yang banyak terus buka pre-sale tapi ternyata ga nutup produksi atau ga dapet sponsor gede tapi nekat bikin festival berbudget besar karena aji mumpung,” katanya
Sejak Oktober 2022 hingga Juli 2023, promotor ini menggelar delapan konser musik dengan skala cukup besar. Tiga terlaksana, lima konser gagal, dan ini mendorong beberapa kolektif penyelenggara konser di Jogja menjadi gerah
Salah satu tragedi yang disesalkan dalam sejarah konser musik di Yogyakarta adalah kacaunya penyelenggaraan LocstockFest 2. Tepat 10 tahun lalu, festival musik yang digadang menjadi konser besar dengan mendatangkan berbagai band di luar arus utama gagal diselenggarakan. Banyak protes dan kekecewaan yang diutarakan kepada panitia dan akhirnya berakhir dengan meninggalnya Yoga Cahyadi atau Kebo, Ketua Panitia LocstockFest 2.
Selain itu sebagian venue yang memang khusus untuk konser musik sangat terbatas, jadi bukan sekadar kafe/stadion/aula sekolahan yang dipaksakan jadi venue musik. “Venue yang terjangkau dan accessible ya, dalam arti sewanya ga mahal banget dan semua jenis musik/organizer bisa pakai venue ini. Selama ini ya kalo ga kemahalan sewa atau cuma beberapa jenis musik dan punya Ordal yang mudah bikinnya,” kata Menus.
Dalam konteks di luar Jakarta dan Yogyakarta misalnya, memilih venue musik adalah problem yang agak kompleks. Ada banyak hal yang harus dipikirkan mulai dari warga sekitar, ijin polisi dan lainnya. Ini mengapa di Yogyakarta jarang venue yang terjangkau dan mudah dipakai oleh komunitas musik bisa tahan lama. Salah satu strategi yang bisa digunakan untuk mengatasi ini ya dengan menjual tiket berbayar.
“Konser gede batal ini bisa macem-macem sih, mulai mismanajemen atau kayak berharap dari tiket presale. Beberapa festival kan announce band dengan massanya yang banyak terus buka pre-sale tapi ternyata ga nutup produksi atau ga dapet sponsor gede tapi nekat bikin festival berbudget besar karena aji mumpung,” Indra Menus
“Audience di Yogyakarta udah lumayan terbuka kok utk jenis musik sama bayar mahal demi nonton band pujaan. Selama pandemi tu kayak nge-reset audience ini dari konser yang gratisan atau tiket murah ke konser berbayar, ini terjadi juga di sirkuit gigs kecil,” kata Menus.
Cherrypop Alternatif Festival Musik Jogja
Pada 19 dan 20 Agustus kemarin, bertempat di Asram Edupark, Sleman, Yogyakarta festival musik Cherrypop kedua diselenggarakan. Dengan tiga panggung terbuka, di area perkemahan yang tak jauh dari Kantor Bupati Sleman, berbagai band dari lokal dan luar Yogya mentas dengan kegembiraan. Setidaknya itu yang saya lihat dan rasakan.
Berbeda dengan Prambanan Jazz Festival atau Jogjarockarta yang skalanya besar dan mengundang band besar dari luar negeri, Cherrypop mengusung skala yang lebih sederhana. Band-band non arus utama, disukai anak muda, dan jika perlu menghadirkan band-band ‘mitos’ dari Yogyakarta yang jarang muncul di konser. Mulai dari Rabu, Seek Six Sick, hingga reuni dari Majelis Lidah Berduri.
Berbeda dengan Prambanan Jazz Festival atau Jogjarockarta, Cherrypop lebih sederhana. Band-band non arus utama, disukai anak muda, dan jika perlu menghadirkan band-band ‘mitos’ dari Yogyakarta yang jarang muncul di konser
Band-band tadi juga hadir bersama band luar Jogja seperti Perunggu, Lomba Sihir, Rumahsakit, The Adams, Efek Rumah Kaca, Krowbar, hingga band asal Malaysia Venopian Solitude. Sejauh ini Cherrypop mampu menghadirkan elemen camping di ruang terbuka, suasana sejuk pepohonan di atas kota Yogya, dengan musik yang berasal dari berbagai genre.
Kegembiraan ini juga semakin aduhai dengan tambahan dari elemen-elemen sederhana yang membuat festival saya rasa ini sangat manusiawi. Mulai dari adanya stasiun isi ulang air minum, berbagai titik pengisian baterai ponsel, hingga harga makanan merch yang tergolong sangat murah. Kamu bisa makan dan minum mulai dari harga 10.000 rupiah saja.
Haru, pekerja asal Jogja, yang datang ke Cherrypop tahun ini karena ingin nonton For Revenge. Sebagai keluarga muda, Haru bersama suami merasa konser kali ini sangat ramah keluarga. Terutama karena tempatnya yang luas dan memiliki banyak spot untuk menonton konser sambil duduk-duduk santai. Untuk tahun ini sayangnya sebagian besar band yang hadir adalah untuk anak-anak muda, Haru berharap tahun depan akan ada perubahan.
Eelemen-elemen sederhana yang membuat festival ini sangat manusiawi. Mulai dari adanya stasiun isi ulang air minum, berbagai titik pengisian baterai ponsel, hingga harga makanan merch yang tergolong sangat murah. Kamu bisa makan dan minum mulai dari harga 10.000 rupiah saja
“Harus ada performers yang emang masuk di mereka sama venue yang lebih ramah orang tua kali ya. Cuma mungkin juga dikasih warning ga boleh bawa bayi ke venue panggung kali ya, takut kenapa-kenapa kayak kesenggol apa gimana. Kemarin sempet liat ada yg bawa bayi di stroller soalnya,” katanya.
Meski demikian Cherrypop bukannya tanpa problem. Sejak hari pertama, Sabtu 19 Agustus, Cherrypop memiliki kekurangan, misalnya pada penukaran tiket di ticket box hingga antrian memanjang untuk body check saat memasuki venue konser. Haru mengeluh antrian hari pertama cukup buruk, loket penukaran terlalu sedikit dan kurang informasi mana yang loket OTS mana yang untuk penukaran biasa. Banyak pengunjung yang kebingungan dan mengantri hingga dua jam lebih.
“Aku sendiri antri tiket dari sekitar jam 5 sore dan baru bisa tukar sekitar jam setengah 7 lebih, abis itu masih antri body check. Jadi total antri sekitar 2 jam,” katanya. Haru berharap konser berikutnya loket penukaran diperbanyak dan diinfo jauh-jauh hari, misalnya lewat sosmed. Sehingga para penonton bisa menukar tiket jauh-jauh hari. Untungnya panitia Cherrypop merespon situasi ini dengan cepat. Pada hari kedua jumlah petugas di ticket box dan body check ditambah.
Meski demikian Cherrypop bukannya tanpa problem. Sejak hari pertama misalnya, ternjadi penukaran tiket di ticket box hingga antrian memanjang. Untungnya panitia Cherrypop merespon cepat. Pada hari kedua jumlah petugas di ticket box dan body check ditambah.
Baik Haru atau Menus sepakat, Cherrypop tahun ini menawarkan nostalgia dengan dosis yang tepat. Mulai dari menghadirkan Southern Beach Terror yang konser lima tahun sekali, hingga reuni Jenny yang membuat banyak orang Jogja jadi gembira. Menus menyebut bahwa band-band Jogja tadi memang banyak yang jarang muncul di sirkuit festival besar, tapi di skena musik udah masuk kategori band legendaris.
Band-band yang sekarang merajai festival itu, menurut Menus, menyukai band-band lokal Jogja. “Misal kayak Southern Beach Terror, itu anak-anak The Panturas suka kan, nah jadilah fans The Panturas aware sama SBT, belum lagi SBT yang muncul dengan gimmick maen 5 tahun sekali. Jenny juga, mereka kan precursor FSTVLST, tentu saja fans FSTVLST pada dateng karena udah tau duluan tetang Jenny. DOM 65 dari basis fans bola juga udah banyak itu,” kata menus.
Membangun Ekosistem Musik Sehat
Ahmad Sobirin, Project Director, menyebut ia butuh waktu dua bulan untuk meyakinkan Jenny agar mau reuni. Tidak hanya itu pemilihan band-band yang ada juga disesuaikan dengan selera penggemar. Pada gelaran pertama Cherrypop, Asob menghadirkan beragam nama dari berbagai kota di Indonesia. Mulai dari The Dare (Lombok), Silampukau (Surabaya), Teenage Death Star (Bandung), Sangkakala (Jogja), dan Melancholic Bitch (Jogja). Hasilnya sesuai prediksi: 1.500 tiket ludes terjual.
Asob juga berusaha menghadirkan elemen nostalgia bukan sebagai gimmick tapi identitas diri. Ia menyebut jika Synchronize Festival adalah pergerakan, sementara Pesta Pora adalah hura-hura, maka Cherrypop akan berusaha menghadirkan nostalgia melalui kehadiran band-band mitos yang jarang tampil. Dan ini terbukti manjur, pada penutup hari kedua, Jenny sukses menghibur ribuan orang di Cherrypop dan menghadirkan lagu Matimuda!
Ia menyebut jika Synchronize Festival adalah pergerakan, sementara Pesta Pora adalah hura-hura, maka Cherrypop akan berusaha menghadirkan nostalgia melalui kehadiran band-band mitos yang jarang tampil
Hal menarik lain yang membuat konser tahun ini jadi istimewa adalah pelibatan warga lokal di sekitar Asram Edupark dan para pegiat musik di Jogja. Kiki Pea, Project Manager Cherrypop, menyebut bahwa sebagian tenant dan para volunter yang hadir di festival kali ini sebisa mungkin berasal dari warga sekitar dan mereka yang terlibat dalam ekosistem musik Jogja. Harapannya, swasembada musik yang jadi moto bisa diwujudkan.
Beberapa pegiat musik, mulai dari toko musik, personil band, hingga label rekaman diajak datang untuk berjualan. Pihak-pihak yang datang juga bisa mencari hidup (baca:uang) dari konser tanpa harus manggung. Kiki menyebut Blangkon, vokalis Sangkakala meski tak manggung di Cherrypop bisa hadir dengan warung Rawon. Mereka bisa hidup dari jualan di acara venue musik.
Saya sendiri berharap Cherrypop di Jogja bisa menambahkan satu elemen penting lainnya. Melihat suksesnya acara konser musik di ruang terbuka, penuh pepohonan, suasana sejuk, semoga konser Cherrypop berikutnya bisa diselenggarakan di area perkemahan. Seperti RRRec Fest yang diselenggarakan oleh ruangrupa, Jakarta. Dengan memadukan alam yang sejuk, musik nostalgia, bukan tidak mungkin Cherrypop akan jadi festival wingit (angker) berikutnya.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Solois Asal Binjai, Palep Angkat Kisah Masa Lalu di Single Kedua
Solois asal Binjai, Sumatera Utara bernama Palep resmi merilis single kedua bertajuk “You Still Call My Baby” hari Sabtu (30/11). Lagu ini bercerita tentang seseorang yang terjebak di situasi yang tidak bisa melupakan semua …
High No Man Menghadirkan Karya Reggae Dub yang Berbeda
Proyek reggae dub asal Tuban, Jawa Timur bernama High No Man resmi meluncurkan maxi-single bertajuk More High yang berisikan 2 lagu yaitu “Beat Down Babylon” dan lagu yang berjudul sama dengan maxi-single. Materi ini …