Dari Jakarta sampai ke London, Simak Jurnal Pemenang Go Ahead Challenge 2018
Tak bisa dibayangkan bahwa kompetisi Go Ahead Challenge 2018 bisa membawa dua orang dari daerah yang berbeda berkumpul bersama di tempat di belahan bumi yang lain. Gabriela Elisabeth Edawani Fernandez dari Jogja dan Muhammad Fahaad Difinubun dari Maluku menghabiskan waktu berkualitasnya melihat proses rekaman salah satu band terbesar di Indonesia, Maliq & D’Essentials (MAD), di studio legendaris dunia, Abbey Road.
Selama Seminggu, dua pemenang ini mendapat kesempatan berharga untuk melihat Maliq & D’Essentials merekam materi-materinya di dalam studio rekaman yang pernah dipakai The Beatles tersebut. Baik Gabriela dan Muhammad Faad atau yang disapa Atyho ini mendapatkan pelajaran bagaimana teknis rekaman sebuah band yang baik dan benar. Dari mulai persiapan alat, mencari sound yang diinginkan sampai ketika benar-benar siap dan mulai rekaman dari lagu demi lagu, semua diamati mereka secara seksama.
Selama proses rekaman di Abbey Road Studio, Widi Puradiredja, drummer Maliq & D’Essentials yang juga menjadi kurator dan mentor Go Ahead Challenge 2018 mengajak serta Gabriella dan Atyho untuk terlibat dalam persiapan dan sound processing bersama Geoff Pesche. Mereka belajar langsung dari Widi dan personil MAD lainnya untuk mengenal lebih dalam perihal persiapan teknis rekaman, kerjasama dan manajemen tim, hingga obrolan soal alat-alat musik dan bunyi yang dihasilkannya. Atyho yang menggeluti bidang musik dan visual art, banyak menggali ilmu di dalam studio, terlebih ketertarikannya terhadap piano yang berumur 200-an tahun yang Ilman mainkan di sela-sela rehearsal.
Sementara Gabriella banyak mengambil inspirasi untuk karya-karya musik dan stage performancenya dari merasakan langsung magisnya proses rekaman di Abbey Road Studio
“Dari sesi rekaman MAD ini, aku bisa belajar banyak dari mas Widi bagaimana cara menanggapi dan menanggulangi perbagai masalah teknis dan non teknis yang ada di dalam proses rekaman. Bagaimana cara menjaga mood dan dinamika agar proses rekaman bia berjalan dengan baik,” tambahnya.
Musisi yang juga pengajar action painting ini bahkan membuat catatan kecil di buku jurnalnya terkait dengan rekaman live Maliq & D’Essentials di Abbey Road ini. Beberapa pertanyaan pun tercatat dengan baik seputar rekaman, baik tentang frekuensi suara, tentang miking, set up rekaman dan lain sebagainya seperti yang sudah dijelaskan secara lengkap oleh Widi, mentornya.
Hal yang sama pun dirasakan Atyho, musisi yang terkenal dengan merakit alat musiknya sendiri ini terkesan dengan alat-alat musik yang ada di studio Abbey Road, salah satunya adalah piano challen. Ia begitu terkesan dengan bebunyian yang dihasilkan oleh piano yang pernah dipakai oleh The Beatles ini. Aytho beruntung bisa merasakan dan mencoba bunyi piano challen, mempelajari bagaimana piano tersebut bekerja.
“Dari sini saya menjadi tertantang untuk membuat alat musik dengan bunyi secantik piano tersebut,” kesannya.
Bagi Widi, ini bukan hanya pengalaman yang diimpikan namun juga kebanggaan tersendiri dimana selain bersama MAD, Widi juga berbagi pengalaman dan catatan-catatan penting dalam berkarya di industri kreatif, khususnya musik bagi kedua pemenang Go Ahead Challenge yang berhasil mendobrak batasan dalam berkarya, tak hanya di satu bidang musik, namun juga di bidang lain yaitu visual art.
“London merupakan surga referensi bagi pelaku kreatif, bukan hanya budaya modernnya namun juga masyarakatnya. Pengalaman selama disana membuat kita punya standar baru untuk mengembangkan ide yang beriringan dengan etos kerja yang profesional yang sangat berguna untuk bekal kita terjun di industri kreatif,” ujarnya.
Eksplorasi Seni Visual di London Bersama Ardneks
Selain melihat proses rekaman, ada banyak yang dilakukan dua pemenang GAC 2018 ini selama perjalanan mereka di London kemarin.
Ardneks atau Kendra, salah satu kreator dan mentor mengenalkan industri kreatif khususnya visual art dari museum, gallery, toko musik bahkan toko buku. Kunjungan Kendra dan kedua pemenang Go Ahead Challenge ke Serpentine Gallery, Saatchi Gallery, Victoria & Albert Museum, Art & Science Museum, hingga Tate Modern. Disana mereka terkesima dan puas melihat karya-karya seniman baik lukis dan instalasi yang menarik untuk sumber inspirasi mereka berkarya.
“Mas Kendra membebaskan aku untuk menikmati karya, merasakannya. Dan dari mas Kendra aku jadi paham bahwa karya seni itu sangat subyektif. Jadi apa yang menurutku biasa aja, menurut orang lain itu bisa jadi sangat menyentuh. Dan itulah sebenarnya tugas dari seniman, untuk membuat karya yang bisa relate, nggak harus untuk semua orang. Disitulah kekayaan dari sebuah karya seni,” ungkap Gabriella.
Selain berkunjung ke gallery, Kendra juga mengenalkan mereka pada Flamingods, band berbasis di Inggris dimana desain cover album dan promotion materialnya ia garap.
“Flamingods menarik perhatian saya, sebuah band band world/etnic music tapi ada ada unsur rocknya juga. Karakternya mereka khas banget,” kesan Gabriella.
Nggak hanya diskusi intim soal bagaimana menyatukan karya visual art dan musik, Flamingods juga mengajak Gabriella dan Atyho mencoba langsung alat-alat musik etnik yang mereka miliki di studionya. Inspirasi yang mereka dapat membuat sesi jamming di dalam studio berlangsung cair dan apik. Kerendahan hati para personil Flamingods memberikan kesan tersendiri bagi Gabriella dan Atyho.
Selain itu, Gabriela dan Aytho juga menghabiskan waktu mereka untuk menonton live music di Troy Bar. Tak hanya menonton, di Troy Bar, Gabriela juga sempat membawakan 1 lagu karyanya dan mendapat respon positif. Baik Gabriela dan Athyo juga berkesempatan buat berkolaborasi di sebuah acara yang disiapkan khusus oleh PPI London (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di SOAS University of London.
Ada banyak hal yang tak bisa diceritakan di kunjungan singkat para pemenang Go Ahead Challenge 2018 ini di London. Namun apapun ceritanya, yang jelas mereka berdua telah terinspirasi bahkan dari sejak mereka ikut ajang GAC ini. Seluruh pengalaman London dari Abbey Road dan trip ke museum dan gallery serta hal-hal lainnya memberi pengalaman dan pelajaran yang berguna bagi Gabriela dan Aytho untuk terus berkarya tanpa kenal batas.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …
5 Alasan rumahsakit Enggak Bubar
Dalam perhelatan Kabar Bahagia: 30 Tahun Perjalanan rumahsakit beberapa waktu lalu, kami sempat bertemu dan berbincang dengan para personel rumahsakit di balik panggung hari Sabtu (14/12) di Bali United Studio, Jakarta Barat. Selain membahas …