denisa – St. Bernadette
Keterlibatan denisa untuk beberapa aksi Avhath dan Morgensoll di panggung menjadi alasan bagaimana saya bisa menemukan solois satu ini. Performanya sebagai musisi tamu bersama band-band tersebut kerap membuat penonton terkesima dengan warna vokal unik yang mungkin masih sulit ditemukan di Indonesia.
Sekian waktu berlalu dari panggung-panggung yang pernah saya tonton. Terdengar kabar, denisa merilis album penuh kedua yang diberi judul St. Bernadette. Setelah menyimak single “Failing Grace” dan single “Spoiled” yang rilis lebih dulu, hasrat untuk mendengarkan karya musik denisa secara utuh makin tinggi.
Tanpa basa-basi, saya mau memberikan opini yang jujur tentang 3 lagu pertama, “The Annuler”, “Commandment”, dan “Pity Party” di album St. Bernadette. Ketiga lagu ini, maaf agak gagal dalam membangun mood untuk mendengarkan yang namanya album. Mengapa begitu? Saya siap membahas di paragraf selanjutnya.
Dalam lagu “The Annuler”, denisa bernyanyi tanpa instrumen. Hal ini membuat suasana menjadi sepi sekaligus bergidik saat mendengarkan, cara yang bagus sebenarnya untuk memulai sebuah album.
Namun, tidak lama setelah ia menyanyikan lirik “Just let me sleep at peace tonight”, sayatan gitar lagu “Commandment” langsung menyambut dengan tegas. Seolah tak ingin mengabulkan permintaan denisa tersebut.
Nuansa yang dibangun oleh 2 lagu pertama tentu memberikan harapan ke pendengar soal intensitas musik yang lebih tinggi untuk yang berikutnya. Sayang, nomor “Pity Party” dirasa kurang tepat untuk menduduki posisi ketiga di album.
Apabila didengarkan sebagai single, “Pity Party” bisa sangat menggugah dengan segala kesederhanaan musiknya. Tetapi ketika berbicara St. Bernadette sebagai karya musik yang utuh, penempatan setiap lagu akhirnya sangat menentukan.
Bagaimana agar bisa mendapatkan pengalaman terbaik mendengarkan album secara keseluruhan. Lagu “Pity Party” ini malah membuat intensitas album turun sebelum waktunya.
Selesai mengomentari 3 lagu pertama yang tak memikat hati. Saya mengimbau pendengar untuk tetap memutarnya karena denisa memberikan pengalaman mendengarkan musik post-metal yang suram namun sangat silir-semilir di telinga di nomor-nomor yang berikutnya.
Spektrum post-metal dan doom metal yang terdengar di album ini tidak mengherankan. Pasalnya, denisa melibatkan Haecal Benarivo dari Morgensoll untuk duduk di kursi produser. Walau pemakaian distorsinya cukup tebal, setiap instrumen tetap bisa terdengar dengan jelas.
Mengenai aransemen yang disajikan St. Bernadette juga menjadi poin menarik, seperti yang bisa disimak dalam lagu berjudul “Spoiled”. Meskipun dibuka dengan ketukan drum ganjil ala musik trip hop yang repetitif, namun pemilihan itu berhasil memimpin lagu secara tepat guna.
Karakter vokal denisa juga menjadi alasan album St. Bernadette yang identik dengan suasana monokrom ini lebih berwarna. Gaya vokalnya yang melodious membuat 10 lagu di album terdengar lebih menarik. Ia tetap bisa mempresentasikan hawa depresif yang coba disampaikan lewat lirik-lirik lagunya.
Setiap mendengarkan nyanyian denisa, saya selalu teringat dengan gaya vokal Chelsea Wolfe, solois Amerika yang juga membawakan musik doom metal/gothic rock. Dengan album St. Bernadette, ia mampu membuktikan, bahwa solois Indonesia tidak melulu soal musik mendayu dengan lirik cinta generik.
Balutan spiritual yang terukir di album pun sangat terasa dari sampulnya yang menampilkan denisa di sebuah rumah ibadah dengan arsitektur kuno.
Saat ulasan ini dituliskan, denisa baru membagikan kabar tentang showcase album St. Bernadette. Pertunjukan bakal diadakan tanggal 29 Juli mendatang. Saya penasaran, bagaimana hasilnya 10 lagu dari albumnya dibawakan dalam format panggung? Mari nantikan jawabannya bersama di bulan depan.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …