Di Balik Panggung Java Jazz Festival 2025

Jun 3, 2025

Sejauh ingatan kami di redaksi Pophariini, Java Jazz Festival merupakan perhelatan yang wajib kami liput setiap tahunnya. Untuk itu, bertepatan dengan perayaan 20 tahun festival ini, kami kembali hadir dan meliput BNI Java Jazz Festival 2025 selama 3 hari, tanggal 30 Mei-1 Juni lalu di JIExpo Kemayoran.

Bertahan selama 20 tahun tentu bukan perkara mudah. Semua perjuangan tersebut akhirnya mengantarkan JJF menjadi festival jazz paling bergengsi di Asia. Untuk merayakan usia 2 dekade ini, Peter F. Gontha selaku pendiri Java Jazz Festival merilis buku bertajuk The Making of Java Jazz Festival yang meluncur di Hotel Borobudur saat konferensi pers, 2 hari sebelum JJF berlangsung (28/05).

Peter F. Gontha merilis buku untuk merayakan 2 dekade Java Jazz festival / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Total ada 11 panggung di JJF 2025 yang menampilkan aksi dari musisi dalam dan luar negeri seperti Jacob Collier, Raye, Jesus Molina, Andien, Wijaya 80, dan masih banyak lagi. Tahun ini juga festival menebus batalnya penampilan Yussef Dayes tahun lalu dengan memberikan kesempatan musisi asal Inggris tersebut tampil 2 kali di hari Sabtu dan Minggu.

Seperti yang sudah kami lakukan tahun lalu, kami kembali menelusuri keseruan di balik panggung JJF selama 3 hari. Simak selengkapnya di bawah ini.


 

Hari pertama

Kawasan JIExpo Kemayoran rasanya sudah jadi lokasi yang akrab dengan para festival goers di Indonesia, karena banyak sekali festival yang digelar di sana. Meski begitu, JJF jadi satu-satunya festival musik yang memakai area Gedung Pusat Niaga untuk jadi tempat salah satu panggung dan aktivasi lainnya.

Ide yang jarang terpikirkan pun keluar dari Anggik Yoga Prayuda, fotografer yang membantu liputan Pophariini di JJF untuk naik ke lantai paling atas GPN dan mengambil gambar suasana festival sebelum mulai dari lantai tersebut.

Suasana Java Jazz Festival 2025 dari lantai teratas Gedung Pusat Niaga / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Pemandangan ini pun memberikan kesan dan sudut pandang segar terhadap JJF, di mana dari sisi layout lokasi seperti menegaskan betapa besarnya festival ini. Area outdoor yang ditangkap oleh lensa kamera saja sudah sebesar ini, bayangkan jika digabungkan dengan area indoor.

Jika boleh berkata jujur, tidak terlalu banyak musisi yang kami wawancara di hari pertama untuk artikel ini. Meski begitu, ada beberapa momen menarik dari penonton dan musisi yang tampil di hari pertama.

Satu hal yang kami sadari adalah bagaimana antusias para pengunjung untuk berfoto di instalasi bertuliskan ‘BNI Java Jazz Festival 20th Anniversary’, di mana antrean berfoto hampir tidak pernah sepi dari gerbang festival dibuka sampai malam.

Antrean foto tidak pernah sepi dari sore sampai malam / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Saat kami sedang berjalan-jalan di area festival, kami dikagetkan dengan pemandangan yang cukup unik waktu Jakarta Drums School All-Stars tampil di Java Jazz Stage, karena kehadiran gitar 9 in 1.

Gitar 9 in 1 di set Jakarta Drums School All-Stars / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Kenapa gitar 9 in 1? Karena gitar tersebut merupakan gabungan dari 9 gitar dalam satu tubuh gitar. Sayangnya, kami tidak mendapat kesempatan mengambil gambar saat gitar ‘keroyokan’ tersebut dimainkan oleh Balawan. Meski begitu, gitaris dan seniman asal Bali tersebut sempat mengunggah video aksinya memainkan gitar itu 3 hari setelahnya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by balawan (@balawanguitar)

 

Berhubung Java Jazz Stage satu arah dengan area makan, kami pun lanjut berjalan menuju sana. Niat hati mau mengisi perut lebih dulu, kami malah berpapasan dengan Era Patigo (Reality Club) dan Ibnu Dian (Matter Halo) yang sedang berbincang. Kami pun langsung mengabadikan momen kebersamaan mereka berdua. Saat itu pun Ibnu sudah mengenakan pakaian rapi untuk manggung di MLDSPOT Stage Bus beberapa jam ke depan.

Era Patigo (Reality Club) dan Ibnu Dian (Matter Halo) di JJF / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Hari pertama JJF 2025 kami akhiri dengan menemui Wijaya 80 di ruang media. Di saat itu, kami bertanya tentang kesan mereka terhadap 2 dekade JJF. Ardhito Pramono pun membagikan ceritanya bahwa dari tahun ketiga, tepatnya tahun 2008, ia sudah berharap bisa manggung di festival tersebut.

Hezky mengatakan kalau untuknya pribadi, ia merasa deg-degan beraksi di JJF tahun ini karena WIjaya 80 tampil dengan set yang berbeda dari sebelumnya. Ia bahkan sampai menegaskan kalau ini merupakan format manggung terbagus sepanjang karier musiknya.

“Beda karena biasanya kan gue main jazz tradisional, sekarang kami mainin musik yang benar-benar 80-an, yang kami banget deh. Pokoknya gue gak ngerti deh gimana cara nge-describe-nya, cuma gue deg-degan hari ini,” kata Hezky.

Berdasarkan testimoni rekan saya, Anggik, penampilan Wijaya 80 malam itu sangat menakjubkan baginya pribadi. Rekan saya tersebut bahkan menyebut bahwa ia seperti melihat Fariz RM saat Ardhito tampil menggendong keytar-nya.

Ardhito Pramono bersama Wijaya 80 di JJF 2025 / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Hari kedua

Sesaat sebelum panggung JJF hari kedua berbunyi, kami sempat menjumpai Danilla yang sedang check line beberapa saat sebelum tampil. Hari itu, sang solois tampil di Cimory Hall.

Danilla mempersiapkan diri untuk manggung di JJF 2025 / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Saat Danilla dan bandnya bersiap-siap, di area penonton terlihat Gusti Irwan Wibowo yang sedang menyaksikan. Gusti terlihat ceria dan menghibur seperti biasa, sebelum di malam harinya turut tampil di JJF, tepatnya di MLDSPOT Stage Bus.

Gusti berpose di sela-sela kesibukannya menonton persiapan Danilla / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Meski ini adalah artikel di balik panggung, namun kami ingin mengapresiasi penampilan Danilla karena ia rela memberikan usaha lebih di JJF. Tanpa embel-embel ‘jazz set’ atau semacamnya, Danilla membawakan lagu-lagunya hari itu dalam format jazz standard, lengkap dengan gaun putih ala Marilyn Monroe, dan band pengiringnya tampil dengan suit & tie.

Danilla dan band tampil elegan di JJF 2025 / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Di hari kedua kami juga mendatangi Demajors Stage untuk menyaksikan penampilan Sekaranggi yang perdana menjajal panggung JJF. Beberapa saat sebelum JJF Pophariini sempat mewawancarai Sekaranggi tentang kesannya tampil perdana di JJF.

“Ini sangat spesial buatku. Pertama kalinya main di Java Jazz, dan aku ingin memberikan pengalaman baru lewat lagu-laguku dengan sentuhan jazz yang berbeda dari biasanya,” ujar Sekaranggi hari Jumat (16/05).

Sekaranggi beberapa saat sebelum tampil di JJF 2025 / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Penampilan menarik lainnya di Demajors Stage hari itu adalah dari Avalokiteshvara, band jazz bentukan Dharmo Soedirman dari Sentimental Moods dan Giox dari Superglad. Grup ini menandai kemunculan dengan meluncurkan versi cover lagu “Satu Dunia” dari Waiting Room yang merupakan band lama Giox.

Selain Dharmo (kibor) serta Giox (bas), Avalokiteshvara beranggotakan Kalista Maharani Dewi (vokal), Elang Ramadhan (drum), dan Rito Sini (gitar, personel Suri) yang saat itu berhalangan untuk turut tampil.

Avalokiteshvara mendapatkan penggemar baru di JJF 2025 / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

“Jadi bayangin Suri, Superglad, sama Sentimental Moods sok-sokan mau nge-jazz, ya akhirnya begini. Untung ada Kal sama Elang,” jelas Mas Mo tentang Avalokiteshvara.

Saat hari mulai malam, kami dihubungi oleh pihak Media Relation JJF 2025 bahwa sesi wawancara dengan Kris Dayanti, Danilla, Nikita Dompas, dan Bilal Indrajaya yang tergabung di show spesial bertajuk Sing Along akan segera dimulai. Meski begitu, kami tak sempat bertemu dengan Adikara yang juga tergabung di show ini karena ia harus langsung tampil di panggung lain.

Sedikit latar belakang, bahwa show Sing Along merupakan penghormatan kepada Almarhumah Titiek Puspa. Para penampil pun tampil bergantian membawakan lagu-lagu dari sang legenda yang telah berpulang bulan April lalu.

Nikita Dompas yang merupakan Music Director show ini (dan banyak show lainnya di JJF 2025) tentu jadi orang yang pertama kami tanya tentang bagaimana menentukan penyanyi siapa yang menyanyikan lagu apa.

Sing Along jadi salah satu show yang musiknya di-direct oleh Nikita Dompas / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

“Oh, itu pure feeling aja sih sebetulnya. Ngebayangin aja, kalau lagu ini dibawain Mimi KD gimana, kalau Danilla, Bilal, atau Adikara gimana. Jadi aransemennya dibuat menyesuaikan,” ungkap Nikita.

Danilla dan Bilal yang hari itu tampil 2 kali pun mengaku senang dan deg-degan membawakan lagu-lagu Titiek Puspa dengan aransemen baru malam itu. Kris Dayanti menambahkan, bahwa ia merasa tak ada kata terlambat untuk memberikan penghormatan kepada Titiek Puspa, apa lagi di panggung sebesar JJF.

Kris Dayanti merasa tak ada kata terlambat untuk memberikan tribute kepada Titiek Puspa / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

“Tapi dengan diberikan segmen khusus di Java Jazz dan aransemen dari Nikita Dompas ini buat saya istimewa dan tadi cukup packed ya (penontonnya),” ujar Kris Dayanti.

Saat keluar dari ruang media, kami sempat menangkap keseruan tim Danilla yang sedang bersantai di gedung A2. Langsung saja kami minta tolong mereka untuk berpose di depan lensa kamera Anggik.

Tim Danilla berpose / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Jika diperhatikan di foto tim Danilla, di bagian belakang ada sosok familiar yang menarik perhatian. Dia adalah Andien yang di hari pertama tak sempat kami wawancara, karena waktunya bentrok. Langsung saja kami menghampirinya untuk berbincang, karena kabarnya Andien adalah musisi yang tak pernah absen tampil di JJF sejak tahun 2005.

Kami pun mengajak Andien untuk bercerita kenangannya saat tampil di JJF pertama. Musisi yang tahun itu baru menginjak usia 20 tahun menyampaikan saat itu ia sempat menangis sebelum manggung saking deg-degannya.

Andien adalah musisi yang tak pernah absen tampil di JJF / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

“Karena biasanya kan kalau event jazz tuh gak pernah masif gitu kan, waktu itu juga kan gue nyanyi belum lama ya, mungkin sekitar 5 tahun lah. Jadi untuk manggung di panggung yang besar banget, itu menegangkan banget buat gue,” ucap Andien yang ingat saat itu tampil sebelum MALIQ & D’Essentials dan Glenn Fredly.

 

Hari ketiga

Musisi yang menarik untuk diajak berbincang di hari ketiga menurut kami adalah Thee Marloes yang akan melangsungkan tur di Amerika Serikat bulan Juli sampai Agustus mendatang. Dalam perbincangan beberapa saat sebelum manggung, Natassya Sianturi (vokal, kibor), Sinatrya Dharaka (gitar), dan Tommy Satwick (drum) bercerita tentang proses mereka sampai dapat kesempatan langka tersebut.

Natassya bilang bahwa awalnya ia dan rekan-rekannya diajak tampil di Pickathon Festival di Oregon. Sinatrya menambahkan, bahwa Thee Marloes akan tampil di sana 2 kali yaitu tanggal 2 dan 3 Agustus 2025.

Thee Marloes akan tur Amerika bulan Juli-Agustus mendatang / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

“Karena Booking Agent udah bilang sekalian tur aja, jadi kami jalan dari West Coast ke East Coast,” ujar Sinatrya.

Thee Marloes yang salah satu acuan bermusiknya adalah musik-musik Amerika memberikan pandangan mereka tentang kenapa tawaran ekspresi mereka ini bisa berujung pada undangan main di luar negeri.

“Ini analisa gembel ya. Kami punya referensi musik-musik Amerika atau Inggris tahun 60/70-an yang ketika kami mainkan tidak terdengar seperti mereka, tapi kami juga gak berusaha keras untuk menjadi mereka. Mungkin mereka mendengar ada itunya,” ucap Sinatrya.

Persiapan dari sisi kesehatan dan stamina juga jadi perhatian Thee Marloes untuk tur Amerika ini. Tommy menjelaskan, hal ini mereka lakukan karena di sana mereka tidak ingin sekadar tampil di panggung.

“Kami gak menutup kemungkinan cuma main doang, kami juga pengin explore juga kan. Digging alat musik atau plat (vinyl), ya siapa tau bisa bawa sesuatu lah dari sana,” kata Tommy.

JJF 2025 rasanya juga jadi semacam saksi perjalanan karier musisi. Hal ini kami sampaikan karena melihat The Lantis, band yang tahun lalu kami temui juga di JJF, namun saat itu mereka manggung di MLDSPOT Stage Bus. Tahun ini, band yang baru merilis single “Ambang Rindu” tersebut dipercaya mengisi panggung yang lebih besar, tepatnya BYD Hall.

The Lantis tampil di panggung lebih besar di JJF tahun ini / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Para personel The Lantis pun menceritakan apa efek yang mereka dapatkan setelah manggung di JJF tahun lalu, mengingat momen itu adalah pertama kalinya mereka dapat kesempatan main di festival.

“Habis itu jadi lebih sering manggung lagi. Java Jazz tahun lalu lumayan jadi turning point buat kami, dari segi kami sebagai performer dan tim,” jelas Giri, vokalis dan pemain bas The Lantis.

Dalam rangka ulang tahun JJF ke-20, festival ini sekaligus memperkenalkan maskot festival yang selama 3 hari berkeliling menyapa penonton. 2 maskot ini diketahui bernama Jazon dan Jezzy.

Maskot JJF diperkenalkan di usia 2 dekade / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Java Jazz Festival 2025 pun akhirnya ditutup oleh penampilan spesial bertajuk 20 Years of Java Jazz Festival. Di show ini, Nikita Dompas dan Elfa Zulham yang merupakan Program Director JJF tampil bersama barisan musisi yang langganan tampil di sana yaitu Andien, Barry Likumahuwa, Dira Sugandi, Endah N Rhesa, Humania, Indra Aziz, MALIQ & D’Essentials, Rafi M, Teddy Adhitya, Tompi, dan Voxaccord.

Para musisi ini tampil bergantian selama 2 jam penuh membawakan lagu masing-masing dan diakhiri dengan mereka semua naik ke panggung membawakan “Kugadaikan Cintaku” dari Gombloh yang menjadi penanda suksesnya pergelaran Java Jazz Festival 2025.

Penutupan Java Jazz Festival 2025 / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Sebagai perayaan 20 tahun, Java Jazz Festival 2025 tidak terlalu menampilkan desain area yang heboh. Dari kacamata kami, festival ini merayakan momen spesial ini dengan menampilkan banyak show kolaborasi, baik dari musisi lokal dan internasional.

Sekali lagi, selamat hari jadi yang ke-20 Java Jazz Festival dan sampai jumpa di tahun ke-21!

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Lahir Band Baru dari Sukabumi, MiSHCALL Lewat Perilisan Single 23

Band pop alternatif asal Sukabumi, MiSHCALL resmi merilis single berjudul “23” sebagai penanda kemunculan mereka. Single ini merupakan bab pertama dari kisah nyata sahabat lama band yang dulu dekat, lalu pergi, dan meninggalkan catatan …

BIAR Asal Bekasi Rilis Album Mini Berjudul 30 Awal Versi Demo

Band asal Bekasi, BIAR resmi menandai kemunculan lewat perilisan album mini bertajuk 30 AWAL (DEMO). Mereka merasa ini bukan sekadar demo, tapi bukti bahwa rindu untuk main musik itu nyata dan kadang cukup direkam …