Dongker – Ceriwis Necis
Kalian tidak harus sependapat dengan saya, “Bertaruh Pada Api” adalah lagu punk rock yang menyayat hati. Dinyanyikan bersama kebanggaan dan keharuan seekor pecundang urban yang mengais harapan di antara luka kehancuran zaman. Lagu itu melawan penguasa. Kau akan merasa heroik bila melakukannya, melayangkan dua kepal tinju menyela kolong langit, melolong di verse terakhir dari sebuah anthem kekalahan. Tetap teguh kita terbakar, renggut dan mati.
‘Tak’ kan menyerah di bawah tanah,’ pekik kalian menanti satu kabar baik yang mungkin tak akan pernah terjadi ketika akhirnya, ‘datang hari tanpa batas, tanpa negara, tanpa agama.’
Saya harus mengakui betapa gagahnya baris itu dituliskan. Dengan basis ketabahan, Dongker menyelamatkan mimpi basah anarki dari kegagalannya sendiri. Mendengarkannya membuat saya malu sempat pernah berpikir ingin mencoblos muka Ganjar-Mahfud. Untung diurungkan. Tidak ada sikap yang pantas diputuskan selain golput jika kau berang menyadari pembodohan terstruktur yang dilakukan oleh institusi besar bernama demokrasi palsu. Dan karena itu jugalah, meski sebenarnya tidak harus perlu—karena jadi politikus adalah hak individu—terserah kau punk rock atau tukang jilat pantat, saya menghormati langkah waras Delpi Suhariyanto untuk cabut dari percaturan politik praktis yang dapat dengan mudah menyeretnya turun ke level Gibran dan Kaesang; terjerat dugaan seekor punk rocker pelaku dinasti.
Dengan melakukan hal itu, ia pun berhasil menyelamatkan Dongker dan lagu utopia-nya dari preseden buruk al-munafiqun. Apalagi partai yang mengusungnya diketuai oleh Anas Urbaningrum, seekor politikus demokrat yang mengingkari janjinya untuk gantung diri di Monas jika terbukti korupsi. Nyatanya dia dibui selama 8 tahun akibat terlibat dalam gurita mega proyek Hambalang sebelum kemudian bebas dan ikut mendirikan Partai Kebangkitan Nusantara. Saya tidak bisa membayangkan perasaan mual yang menjijikkan saat melihat seekor anggota dewan bermain gitar di sebuah band punk yang menyanyikan lagu tentang penghapusan negara.
Tetapi, sayangnya cuma itu. Maksud saya, kelebihan Dongker. Empat single lain yang mereka keluarkan di sepanjang 2023 silam tidak pantas bersanding dengan “Bertaruh Pada Api” di bawah satu nama. Dongker terdengar seperti band yang berusaha keras menanggalkan stereotip tiga akor gitar punk rock. Bertele-tele. Dan solo gitar Delpi tidak ada yang enak.
Saya menyebutnya satu percobaan gagal mencontoh Minutemen. Dongker tidak cukup eksentrik untuk itu. “Sepenggal Sadar” masih menyisakan clean overdrive bertempo cepat, warna akar demo album mereka di tahun 2019 yang sedikit demi sedikit berupaya dikembangkan membentuk otentisitas punk rock epik berbahasa Indonesia yang tidak pernah kita dengar sebelumnya; percampuran Belfast punk dengan power pop dan sound garage seperti “Luka di Pelupuk Mata” yang jelas memperlihatkan pengaruh folk Dead Milkmen dan Hüsker Dü.
Penjejalan eksplorasi otomatis melebarkan durasi lagu-lagu Dongker, yang tadinya di dua EP Upaya Memaki (Greedy Dust, 2019) dan Menghibur Domba di Atas Puing (Greedy Dust, 2020) hanya membutuhkan, bahkan kurang dari semenit power riff, kini menggelembung menjadi komposisi kompleks nan tambun hingga harus mengundang sound designer Tomy Herseta untuk menciptakan efek dramatisasi lagu putus asa “Tuhan di Reruntuhan Kota”. Dilengkapi balada pusang “Sedih Memandang Mimpi”, lima single ini tampak seperti versi prototipe dari debut album Ceriwis Necis.
“Saya tak terbiasa menggunakan termin ‘power pop’. Termin-termin catchy, pendeskripsian cap cip cup macam itu hanya berlaku bagi dilettantes dan para jurnalis. Saya beranggapan musik-musik kayak ‘gitu (power pop) banci dan harus dihentikan.”
— Steve Albini
Rest in pissed, Albini. Tapi sampai sekarang saya belum bisa menemukan istilah selain power pop untuk menjelaskan musik rock anti-hero dengan hook vokal renyah hampir menyerupai melodi-harmoni Beach Boys, namun diiringi geberan riff gitar crunchy baptisan Pete Townshend yang mempertemukan British Invasion dan garage punk Nuggets di tiga menit—atau kurang lagu-lagu one hit wonder yang sejujurnya membosankan bila didengar berlama-lama. Formulais. Enak didengar, mudah dilupakan – tergolong berisik untuk sound yang minimalis. Tidak diperlukan skill tingkat tinggi, tentu saja, untuk memainkannya—suatu hal yang melekatkan power pop pada estetika punk sekaligus obskuritas dari band-band tak dilirik macam Raspberries, Vapors, Romantics, Muffs, Replacements, atau Exploding Hearts.
Jika hendak menyangkutkannya ke Dongker, maka influence dapat dipoles lagi sedikit ke arah The Jam dan Descendents. Tarikan vokal Arno Zarror secara ngasal mengingatkan saya pada Stiv Bators, entahlah, mungkin karena faktor 70’s punk yang natural terserap. Delpi sebagai penulis lagu utama berpikir, ‘mending gua serius jadi caleg daripada band gua kejebak di pusara punk-punk-an, ngandelin fast tempo crunchy dan catchy hook doang.’ Sebab formula itu terbukti menggiring kebosanan sejak lagu-lagunya terdengar hampir mirip-mirip. Coba saja bandingkan, salah satunya “Merusak Kesenangan” dengan “Bertaruh Pada Api”, keduanya seperti hasil kawin inses Oedipus complex.
Tapi tak bisa dipungkiri formula itulah (power pop) yang membuat Delpi tahu nada enak. Ketika tadi saya agak meremehkan, ‘kelebihan Dongker cuma segitu saja’, bukan berarti saya tidak menyadari kemampuan band ini mencetak hit. Dan saya kira ini juga bukan perkara suka atau tidak, melainkan paham atau tidak. Saya tidak suka Dongker, tapi mereka mampu memahami saya lewat lagu “Mati Saja”. Mereka mendirikan puri persembahan bagi para pemangsa nelangsa, memakamkan kebanggaan dengan upacara megah di frekuensi low self-esteem.
Lagu itu bagus karena juga sukses bikin saya sakit pinggang. Ngehek memang, setiap kali memutarnya berulang-ulang dan kegelapan itu kembali menyapa, punggung saya selalu menekuk mencari ringkuk—dalam posisi duduk mengetik selama 14 jam terakhir ini rasanya nyeri-nyeri sedap scoliosis, menekuri koor angelic-nya, mengakui curah post punk-nya, terbujur menelan levitasi-nya yang menopang dagu. Saya menganggapnya sebagai pencapaian terbaik mereka dalam ambisi menjadi kolosal—Dongker lebih memilih berkembang kolosal dibanding psikedelik—yang mana terasa begitu mencolok di album ini.
Dongker tipe band yang bisa tertebak nanti bakal punya album orkestra. Berkhayallah muluk, di kalender 2026 Remy Sylado bangkit dari kubur meminta Dongker mengisi skor untuk drama gres buatannya, oleh-oleh picisan dari tikar bordil kavling penyair jahanam, berjudul Ada Pelangi di Biji Klentitmu. Lalu kena tuduhan seksis dan dengan kool meminta berak moral netizen agar cancel saja sana Bung Remy ke neraka.
Sejauh saya menikmati album dengan judul jelek ini, saya penasaran kenapa mereka mesti menjejalkan 17 lagu ke sebuah album debut yang sebenarnya, kasarnya setengah basi karena seperempi isinya sudah dihafal orang-orang. Saya merasakan apa yang mungkin tersilap oleh produser Delpi Suhariyanto, tidakkah menyertakan 17 lagu ke dalam album dengan judul jelek ini terasa menggembrotkan?
Seandainya saya punya kesempatan lebih cepat mengemukakan pendapat ini, saya akan memberinya saran gratis sebaiknya lemak macam “Jalinan Di Antara Dosa” dan “Jadilah Segalanya” disedot keluar dari repertoar. Demi efektivitas redundan, toh dua lagu itu tergolong paling monoton dibanding kawan-kawan lainnya. Itulah yang saya maksudkan dengan Dongker bertele-tele. Lalu cabut juga lima single lama prototipe itu. Orang tidak perlu mengetahui dua kali kalau kita memiliki lagu keren. Justru akan menarik, apakah album ini tetap layak diponten bagus tanpa “Bertaruh Pada Api” atau “Tuhan di Reruntuhan Kota” di dalamnya?
Uhm. . . kenapa ragu, kita masih punya “Hari Tanpa Badai”. Quirky. Saking kolosalnya lagu itu saya menebak-nebak siapa yang doyan nyekokin progressive, neh? Diundangnya unit psikedelik Kinder Bloomen memberikan sentuhan new rave nomor “Rima Ini Mekar Dengan Amat Biru”. Favorit saya lainnya menyelipkan, “Di Neraka” sebuah humor ngenyek kemuakan, Arno menyanyikannya dengan geram karakter vokal. “Natrium Benzoat” diperuntukkan bagi sejawat old school power pop punk. Dan saya mengendus satu trivia indie rock di “Kau Si Lagu Sedih”, satu akor yang menyiratkan kesukaan Delpi terhadap Monkey To Millionaire. Saya tidak akan membocorkan lebih rinci lagi, supaya kalian mendekatkan telinga. Sementara itu saya tidak mempermasalahkan bagian hip hop di bridge lagu “Dengarkan Tanah” dan memahaminya sebagai upaya pemuasan berahi eksperimentasi.
‘Susah payah kutemukan,
dengan payah kuhancurkan.
Menyenangkan untuk kalah,
dan berpura menang.’ — “Di Neraka”
Perbedaan antara saya dan Dongker terletak di retorika kami memandang harapan. Mereka empat ekor punk rocker optimis, benarkah, yang mencium harapan sebagai sebuah fase kebangkitan. Sedang saya seekor sinis—catat: bukan pesimis—yang memutuskan berhenti punya harapan, dan menggantinya dengan sebuket hujan di sepertiga malam. Apa yang coba dipantik Dongker dalam lagu-lagunya adalah tentang menilik bagaimana kekuasaan dapat mengintimidasi ruang personal yang rapuh. Agama, negara, budaya, keluarga, pertemanan, cinta, dendam, senioritas, klub sepakbola, ormas, atau institusi apa saja yang merasa superior dan menuntut minta dibela, itulah kekuasaan.
‘Akulah patriarki, yang kekar menyelimutimu.
Diriku hanya kejujuran.
Irama ini tak henti, dan tak akan pernah berarti.’ — “Luka di Pelupuk Mata’’
Secara random saya terngiang lagu “Suara Air” milik kawan sebangsa, post HC Malaysia, Killeur Calculateur. Mereka bilang, ‘gulung di tangan bersilih ganti – diskusi radikal tak kunjung mati/Dari bawahtanah berakar umbi, terus mengalir suara air.’ Mood serupa dirasakan ketika mendengar “Bertaruh Pada Api”, sejujurnya cuma itu satu-satunya lagu Dongker dari album ini, yang dari musik hingga lirik, kena di hati. Lainnya setengki-setengki.
Banyak orang suka dengan lirik-lirik Dongker, di sisi berseberangan saya biasa saja. Tidak ada yang cukup menggugah. Retoris. Puitis pun tidak terlalu juga. Tapi itu bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan berlarut. Dari semua peluh tentang kekecewaan yang tersaji, saya menangkap pesan, ini merupakan album cinta, kekurangan cinta lebih tepatnya. Derita jadi manusia yang bertakdir di Indonesia, capek makan ati, sehingga usai Arno menyanyikan bait, ‘Bersyukur ateis di kota yang bengis. Papan iklan menyilaukan, hidup kian memilukan. Dituntut harapan. Ribuan mata, ribuan mimpi, ribuan bunga jadi luka,’ saya jadi berburuk sangka, apakah benar Tuhan hadir di reruntuhan kota, yang telah ambruk digondol negara dan tak bernyawa dirudal tentara, menatap perih mayat seekor lelaki tanpa kepala di samping istri dan anaknya yang mendendam tak berdaya.
Meski nyangkut di tiga lagu (saja), setelah mendengarkannya ulang ribuan kali sampai meletek, Ceriwis Necis (njing, gue masih gagal nemuin unsur humor di balik titel itu) belum mampu mengubah selera punk rock saya jadi menyukai Dongker. Tidak peduli Dongker sedang menyongsong masa depan cerah sebagai salah satu pahlawan generasi. Dengan 17 balaclava dan ilustrasi artwork mirip maket, album ini bener Dongker, bodong dan keker, akan terlupakan oleh algoritma sebentar lagi.
Itu menurut saya, terserah kalian. Kita tak melulu harus sependapat, kan?
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Di Balik Panggung Serigala Militia Selamanya
Seringai sukses menggelar konser Serigala Militia Selamanya di Lapangan Hockey Plaza Festival hari Sabtu (30/11). Bekerja sama dengan Antara Suara, acara hari itu berhasil membuat program pesta yang menyenangkan untuk para Serigala Militia tidak …
Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta
Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara …