Meraba Denyut Kehidupan Ibu Kota melalui Batavia Collective (oleh: Hasan Daffa Abdillah)

Tumbuh kembang di wilayah yang jauh dari ibu kota seringkali membuat saya penasaran dengan hiruk pikuk kehidupan di kota-kota besar, seperti Jakarta. Rasa penasaran itu tumbuh karena telah terlampau lama tidak menginjakkan kaki di daratan ibu kota. Sebuah kawasan yang menjadi muasal berbagai bentuk modernitas itu dibentuk dan dipopulerkan.
Sebagai ibu kota, Jakarta menjadi kiblat gaya hidup muda-mudi dari berbagai kota. Beberapa kali terdengar sebuah ungkapan di skena musik lokal, yang mengutarakan jika ingin sukses bermusik setidaknya harus mampu merambah pasar di Jakarta. Namun dewasa kini, pandangan tersebut sudah tidak sepenuhnya relevan lagi melihat skena musik di tiap kota yang semakin menggeliat. Terlepas dari itu, kenyataan bahwa Jakarta menjadi titik sentral bagi sebuah kultur yang pada akhirnya bisa populer di Indonesia tidak dapat dielakkan lagi.
Rasa penasaran akan riuhnya kehidupan di ibu kota membawa saya ke sebuah perjumpaan dengan salah satu kelompok musisi lokal yang membawa identitas Jakarta dalam diri mereka. Band tersebut adalah Batavia Collective. Sebuah trio musik beranggotakan Doni Joesran (keyboard), Elfa Zulham (drum), dan Kenny Gabriel (synth bass) yang membuat karya bermuatan Jazz dengan sentuhan elektronik, funk, hip hop, dan soul. Elemen tersebut diolah menjadi komposisi materi yang eksperimental dan dinamik. Karyanya melahirkan sebuah sub-genre yang mereka sebut sebagai future jazz.
Perjumpaan dengan lagu-lagu Batavia Collective merupakan pertemuan yang tidak disengaja, meskipun pada dasarnya berangkat dari pengaruh selera musik teman sebaya di lingkungan saya. Kebiasaan eksplorasi musik baru tiap kali mengerjakan tugas-tugas kuliah mengenalkan saya ke salah satu karya mereka berjudul “Joni Indo”. Tanpa mencari tahu terlebih dahulu cerita apa yang ingin disampaikan dalam karya instrumental tersebut, pikiran ini langsung menerka bahwa lagunya menggambarkan sebuah situasi heroik nan genting layaknya di film action.
Mengutip artikel dari laman Hijack Sandals, Joni Indo memberikan gambaran sebuah aksi perampokan yang pernah dilakukan oleh salah satu perampok bernama Johanes Hubertus Eijkenboom atau lebih dikenal dengan nama Johny Indo. Namanya disoroti beberapa surat kabar pada masa itu, seperti Suara Karya karena dialah sutradara di balik perampokan beberapa toko emas di Jakarta pada tahun 1978. Bersama gerombolan Pachinko (Pasukan China Kota), Johny merencanakan dengan matang perampokan beberapa toko emas, seperti Mutiara di Roxy, Sinar Fajar dan Ibukota di Sawah Besar, Garuda di Pasar Jangkrik, serta Sinar Harapan di Jalan Kepu. Dengan berbekal kendaraan, 2 pistol, senjata api jenis Thompson, dan beberapa aksesori penyamar identitas, aksi itu berhasil merampok 15 kilogram emas yang pada masa itu nilainya sekitar 43,5 juta rupiah.
Keberanian Johny rupanya masih belum padam setelah dia diringkus kepolisian. Saat berada dalam tahanan, dia mengorganisir 34 tahanan lainnya untuk melarikan diri dari penjara Nusa Kambangan. Meskipun pada akhirnya berhasil ditangkap kembali oleh pihak berwenang setelah 12 hari pencarian. Keberanian dan kecerdikan taktik Johny itulah yang menjadikan namanya terkenal dan menjadi inspirasi bagi Batavia Collective untuk mengabadikan namanya dalam karya mereka.
“Joni Indo” yang dibuka dengan ketukan drum dengan ritme groove yang rapat dan dinamis, lalu disambut dengan irama elektronya menghasilkan sebuah visualisasi suasana sinematik nan urban di pikiran saat pertama kali mendengarkannya. Selama lagu ini diputar, saya mendapatkan kesan yang urban chase seperti sedang melihat adegan kejar-kejaran di tengah padatnya perkotaan. Irama kombinasi antara instrumen synth bass bersama keyboard yang hadir dengan pola repetitif sepanjang lagu, alih-alih membosankan justru pendengar diajak untuk masuk dalam skenario cerita pelarian Johny dan juga menciptakan visualisasi imajinatif di pikiran mereka.
Musik instrumental tanpa kehadiran vokal yang dibawakan Batavia Collective terutama dalam “Joni Indo”, dapat berdiri sendiri menggambarkan suasana apa yang ingin disampaikan dalam karya tersebut. Selain pendengar dibiarkan bebas menginterpretasikan sendiri nuansanya, menurut saya Batavia Collective berhasil merangkum aksi Johny dan menjadi penggambaran kecil hiruk pikuk serta ketegangan sosial yang seringkali terjadi di Jakarta. Oleh karena itu, “Joni Indo” dan lagu sejenis lainnya yang diciptakan Batavia Collective sangat cocok apabila menjadi musik latar sebuah film action.
Selain “Joni Indo”, semua lagu dalam EP BTVC (2023) yaitu “Senopati Shuffle”, “Interchanges”, dan “Riot On Friday” memang membawa kesan yang mendekatkan pendengarnya terhadap suasana urban yang dinamis. “Senopati Shuffle” mewakili penggambaran malam yang menenangkan di tengah padatnya aktivitas masyarakat kota Jakarta. Lagu ini mewakili kawasan Senopati yang menjadi pusat hiburan beberapa masyarakat Jakarta dalam melepas penat setelah seharian bekerja. Dengan tempo pelannya, “Senopati Shuffle” memberikan suasana Senoparty malam hari yang tenang nan glamor di bawah pendar lampu-lampu bar, club, dan pub yang bertebaran di kawasan tersebut.
Mobilitas masyarakat Jakarta yang terkesan cepat dan terburu-buru karena dikejar tuntutan pekerjaan selama lima hari, mulai terasa lambat memasuki hari terakhir sebelum akhir pekan, yaitu hari Jumat. Jumat merupakan waktu yang ditunggu-tunggu banyak orang sebab di hari itulah mereka akan menjalani akhir pekan. Melepas beban pikiran dan penatnya badan setelah bekerja. Namun, Jumat juga menjadi hari yang penuh misteri, teka-teki, dan pertanyaan tentang kebisingan apa lagi di minggu depan yang memenuhi pikiran para pekerja di ibu kota. “Riot On Friday” dengan jelas membuka wacana tersebut dari awal instrumen dimainkan. Lagu ini seolah menggambarkan sebuah kekacauan yang ritmis — perpaduan antara letupan gejala urbanitas, ritme jalanan, dan dentuman elektronik yang menangkap denyut terakhir kota sebelum larut malam menggantikan hiruk pikuk yang mengitarinya.
Perjumpaan saya dengan karya-karya Batavia Collective merupakan momen yang membekas karena berangkat dari kerinduan akan Jakarta. Segala hiruk pikuk dan gejala urbanitas yang menyelimuti, berkembang menjadi sebuah pikiran liar di kepala yang mempertanyakan seberapa mampu diri ini bertahan hidup di tengah riuhnya Jakarta kelak.
Tentu saja, Batavia Collective bukanlah satu-satunya musisi lokal ibu kota yang berhasil mengemas dinamika Jakarta dalam karyanya. Namun, trio musik ini melalui konsep future jazz dalam menjadi sebuah identitas baru dalam perkembangan musik jazz di Indonesia masa kini. Hadirnya Batavia Collective dalam helatan Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2025 yang diadakan pada 30 Mei-1 Juni 2025 oleh Java Festival Production, menunjukkan bahwa musik yang merupakan bagian dari kultur akan terus berdinamika. Keberanian dan kemampuan mereka menjadikan genre jazz sebagai sebuah media eksplorasi yang dapat dikolaborasikan dengan komposisi lain patut diapresiasi sehingga musik jazz menjadi bentuk kultur yang lebih luas dan beragam coraknya.
Karya tulis mahasiswa Universitas Sebelas Maret jurusan  Ilmu Sejarah (Fakultas Ilmu Budaya), Hasan Daffa Abdillah.
Batavia Collective akan mengisi panggung Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2025 hari Sabtu, 31 Mei 2025 di Jakarta International Expo (Arena JIExpo Kemayoran)

Eksplor konten lain Pophariini
Eksklusif Komunal: 13 Tahun Tanpa Album, Nostalgia Ini Ijazah
Sejak merilis album penuh Gemuruh Musik Pertiwi 13 tahun lalu, Komunal rasanya belum menunjukkan kembali eksistensi mereka lewat perilisan materi holistik sebagai statement keberadaan mereka. Memang, selain masih aktif menghibur KKK (Kawan-kawan Komunal) di …
False Theory Ceritakan Kisah Penyembuhan Luka Masa Lalu di Single Dua Atma
Unit pop punk asal Tana Paser, Kalimantan Timur, False Theory merilis single ketiga bertajuk “Dua Atma” pada Kamis (05/06). Lewat lagu ini, mereka mengangkat cerita tentang dua jiwa yang saling menyembuhkan dari luka masa …