Efek Rumah Kaca – Rimpang

Feb 4, 2023

Ada banyak faktor yang menyebabkan sebuah album kuat dan layak disebut terbaik. Kekuatan album lahir dari bagaimana ia disajikan dan diamini secara utuh, bukan potongan single semata. Rasanya juga tidak mungkin kita menyukai sebuah buku atau novel bagus hanya dari membaca satu atau dua bab. Sebuah album juga bisa kuat ketika ia berhasil merespon kegelisahan terkini. Sejauh ini, layak dikatakan bahwa Rimpang , album keempat Efek Rumah Kaca adalah album yang kuat karena memenuhi unsur-unsur tersebut, tapi apakah yang terbaik? Hmm, mari duduk untuk membicarakannya.

Ketimbang single-single yang sudah pasti jadi lagu favorit tiap fans, namun sebagai sebuah album, Rimpang jauh lebih kokoh menancap ketika diselami secara utuh. Untuk itu, saya sarankan untuk menyediakan ruang dan waktu khusus menyimak album ini tanpa intervensi apapun, meskipun baru bisa dinikmati secara streaming yang rentan gangguan.

Beruntung Rimpang sudah disajikan lengkap dengan lirik, kita jadi tahu kegelisahan apa yang kali ini dirasakan Cholil, Akbar, Poppie dan Reza – formasi terbaru ERK di penggarapan album ini. Untuk itu, menjadi jurnalis musik sudah pasti menjadi yang diuntungkan. Mengapa? Karena kami mendapatkan siaran pers tentang bagaimana album ini tercipta yang ini tentunya sudah kami beritakan sebelum ulasan ini dan akan saya cangkulkan sedikit di sini.

Mari memulainya dengan cerita tentang bagaimana saya mengenal mereka.

Menjadi band yang pada awalnya bukan berada di industri membuat Efek Rumah Kaca bisa berjalan bebas, meski senyap. Saya jadi ingat betapa mereka pada awalnya hanyalah tiga musisi minimalis yang membawakan lagu-lagu berbahasa Indonesia bermain di Heyfolks, sebuah venue di Jalan Bumi, Jaksel. Sedikit yang menonton, namun diantaranya adalah orang-orang penting di musik independen: Musisi, jurnalis, manajer band, mereka lah fans pertama band ini sebelum akhirnya ERK berubah menjadi band stadium dengan ribuan penonton.

Dua album, Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008) yang kala itu dibuat secara sederhana: Merajut jalinan gitar, vokal, bass dan drum menjadi album favorit banyak orang yang sudah mengapresiasi mereka, terkhusus di kunjungan-kunjungan tur awal, dimana saya dan band ikut menemani. Kami lah saksi dinamika formasi klasik ini: Cholil, Adrian dan Akbar di masa-masa awal merengkuh banyak insan yang  mengapresiasi musik mereka.

Dalam perjalanannya, karena kesibukan baik sebagai jurnalis dan musisi, saya kehilangan radar dan nyaris luput dari dinamika ERK sampai akhirnya 8 tahun kemudian muncul Sinestesia. Sinestesia sebuah magnum opus yang menjadi catatan penting dalam pencapaian band ini selama bertahun-tahun, punya banyak pencapaian menarik: Kompleksitas sound, kecerdasan gagasan menghasilkan album dengan ledakan apresiatif yang dahsyat. Namun dari sini kekhawatiran pun timbul: Apakah karya-karya setelah ini bisa memiliki level yang sama seperti yang pernah dibuat?

Kekhawatiran ini terjawab di Rimpang, lahir delapan tahun kemudian sama seperti Sinestesia. Sepuluh lagu ini ‘mengenalkan kembali’ Efek Rumah Kaca kepada fansnya. Ada banyak hal yang bisa diceritakan namun untuk mengawalinya, Rimpang bagi saya adalah menemukan ceruk dua album pertama: Efek Rumah Kaca dan Kamar Gelap dengan bumbu Sinestesia: kompleks, progresif, tapi tetap tertata dengan rapih.

Ada banyak elemen pendukung kualitas suara album ini: panning yang tepat, sound yang lebar serta pemakaian instrumen yang proporsional menjadikan setiap lagu bukan tumpukan suara mengawang berantakan, namun sebuah set ‘kamar musik’ tertata rapih membuat pendengar serasa ingin berbaring di dalamnya. Mendengarkan Rimpang dengan mata tertutup adalah teknik yang sip untuk menyimak album secara tekstural dan merasakan setiap kejutan bebunyian yang ada.

Resep keren Rimpang bukan hanya terdapat pada kekompakan mereka sebagai sebuah entitas, bukan Cholil dan Akbar semata sebagai penulis lagu. Tanpa menafikan peran mereka berdua, Rimpang adalah tentang bassist Poppie Airil dan gitaris Reza Ryan, dua elemen baru di ERK (catatan: Rimpang adalah album pertama Poppie dan Ryan). Duo maut ini terbukti mampu memercikkan bias warna bagus ke kanvas musik ERK.

Sejak track pertama “Fun Kaya Fun” dimainkan, kita lihat mendengar bagaimana kanvas ini dilukis dengan baik oleh gaya permainan bass Poppie yang santai dan groovy. Bagaimana kualitas permainannya di atas bass Fender dengan senar flatwound bisa menghasilkan suara yang empuk dan legit. Sesekali saya bisa mendengar ‘percakapan hangat’ bass dan drum Akbar yang terkadang diluar ketukan. Ciri khas Poppie yang kerap mengambil ruang-ruang kosong diluar ketukan drum ini jadi terkesan tak kompak dengan Akbar, namun sebetulnya ini justru rajutan yang baik.

Jangan lupakan momen akrobatik 25 detik (dimulai dari menit ke-2:24) di lagu “Heroik”, bagaimana jempol dari bassist yang juga punya moniker Bing Renang ini menari-nari dengan luwesnya, sebuah gerakan balet yang mungkin belum pernah terdengar di komposisi ERK sebelumnya.

Selain bassist yang bagus, Poppie juga penulis lagu yang baik. Kita lihat bagaimana “Rimpang”, komposisi khusyuk yang didaulat menjadi tajuk album, lahir dari karya luar biasa Poppie. Di luar itu, ia juga menulis “Tetaplah Terlelap”, nyanyian syahdu tentang dinamika masyarakat miskin di situasi pandemi.

Reza dilain pihak tak kalah kerennya. Sayatan-sayatan panjang e-bow-nya di “Fun Kaya Fun” adalah mutiara, begitu pun di beberapa lagu lainnya, termasuk paling fenomenal adalah di “Sondang”, lagu hampir 5 menit yang mengawang, menyedihkan dan memilukan. Selain gitaris, Reza juga adalah multi instrumentalis yang cerdas. Kita mendengar belaian-belaian penyintesis di beberapa lagu, meskipun yang paling manis adalah solo dua menitnya lagu “Rimpang”. Bagaimana belaian-belaian penyintesis manis dimainkan mengawang, mendekati gaya-gaya Yockie Suryo Prayogo di album Puspa Indah Taman Hati, terlalu manis untuk dilupakan.

Seperti Reza, peran Suraa (pseudonim Cempaka Surakusumah) juga tak bisa dilupakan, suara lirihnya di “Fun Kaya Fun” memberikan selimut hangat terhadap keutuhan tekstur yang kompleks, baik di lagu juga di keseluruhan album ini, tak terkecuali barisan vokal latar lainnya: Adrea, Irma dan Nastasha di beberapa lagu.

Dari lirik, petunjuk teori Rhizome oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari – didapat dari siaran pers – yang jadi inpirasi ERK kali ini menjadi petunjuk menarik. Sedikit riset, A Thousand Pleateaus, buku yang ditulis mereka berbicara keterhubungan, tentang bagaimana ‘relasi-relasi rizomatik’ bisa saling terhubung tanpa hirarki, tak linier, tak mengenap atasan bawahan yang menurut dua teoris ini sebagai diversitas atau multiplitas. Relasi ini kemudian menjalar makin luas dan membentuk sebuah rakitan dari skala kecil sampai yang besar yang bisa diterjemahkan menjadi emosi dan harapan-harapan yang disampaikan ERK di album ini.

Cholil cerdik memainkan teori rizoma ini dalam situasi pandemi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lahirnya Rimpang. Bagaimana pandemi dari virus ini akhirnya melahirkan sebuah harapan-harapan yang muncul dari gerakan rizomatik yang menjalar diam-diam di akar rumput: Dari lingkungan pribadi, relasi antar keluarga, kerabat yang jumlahnya banyak. Kegelisahan dan harapan ini tersampaikan secara khusus di lirik lagu “Rimpang”.

Kritik – otokritik banyak dimainkan ERK hari ini. Di “Fun Kaya Fun” misalnya, dengan jeli mereka menyoal perihal masyarakat pragmatik (Digambarkan dengan cerita tentang gemerlap dan membiusnya konser musik) yang luput dengan kemungkinan berproses dan ingin segalanya serba instan untuk bisa keluar dari kesusahan situasi hari ini.

Kritik-otokritik juga tercermin di “Heroik” yang bicara tentang pahlawan kesiangan, mungkin idola reformis yang terkikis, bisa siapa saja. Ironis dengan “Sondang” yang justru bicara tentang penyesalan dan kemarahan terpendam akan kehilangan pahlawan sesungguhnya. Kalimat “Sumbu yang kau nyalakan, padam sendirian” juga mengandung otokritik terhadap situasi ketika musik dan kritik kerap dinyanyikan, namun luput melihat aktivis mati terbakar sendirian. Kritik terhadap aparat dinyanyikan merdu di “Ternak digembala” termasuk getirnya hidup rakyat kecil di “Tetaplah Terlelap”. Di lain pihak “Kita Yang Purba” menyajikan otokritik berubah menjadi pesismisme yang disampaikan dengan riang, sebuah sikap politik mereka berkaca dari situasi pada 2 tahun lalu hingga hari ini.

Kehadiran Ucok Homicide a.k.a. Morgue Vanguard di “Bersemi Sekebun” mungkin mengejutkan, namun dengan melihat kedekatan sebagai sesama musisi kritikal angkatan ’98, nampaknya masuk akal. Yang mengejutkan adalah ketika pendengar mengharapkan rapalan meluap-luap, justru yang muncul adalah sajak manis tentang kenangan masa silam dan petuah bijak hari ini. “Beberapa perang bukan untuk dimenangkan / Beberapa kemenangan bukan untuk dirayakan”, sebuah kalimat yang mendukung gagasan sebuah harapan untuk perubahan yang menjadi inti dari gagasan Rimpang.

Di mata saya, Ucok dan Cholil adalah pribadi yang punya irisan yang banyak. Di luar mereka sebagai musisi dan pribadi yang kritis, namun tak bisa dinafikan bahwa mereka juga adalah bapak bagi anak-anak yang sarat akan dinamika kehidupan rumah tangga yang lebih menarik untuk didengar. Dari sini, saya sebetulnya lebih berharap kolaborasi ini justru bisa dikemas menjadi sebuah fragmen kecil tentang bagaimana mereka tumbuh menjadi ayah, berada dalam keluarga, tentang bagaimana mereka memandang kehidupan hari ini dari kacamata orang yang berumur, apakah mereka tetap bertahan dengan prinsip ataukah semua telah berubah, topik-topik ini yang mungkin lebih menarik.

Pada akhirnya, musisi adalah manusia yang akan menua. Berkaca kepada album-album dari musisi dunia yang masih rajin merilis, di tahap ini, nyaris mustahil bahwa mereka akan mengulang formula yang sama seperti kala muda. Dalam kasus Efek Rumah Kaca, Sinestesia sukses menjadi buah atas obsesi menjadi kolosal, akan menjadi basi jika puncak kreativitas ini direpetisi. Hasilnya malah sebuah stagnasi yang hanya dibuat sekadar memenuhi kepuasan penggemar yang kangen saja. Atas alasan itulah Rimpang sebetulnya sukses menjadi jalan keluar dari stagnasi tersebut. Dengan mengambil formula album 1 & 2, menggayung kompleksitas Sinestesia, diramu dengan tekstur yang lebih on point dan gagasan tentang kekinian, album ini berhasil menancap kuat.

Pertanyaan pamungkas adalah, apakah dengan segenap kekuatannya, Rimpang layak menjadi album terbaik? Saya kembalikan lagi ke pendengar atau bisa saja kita beri waktu untuk saling mendengar dan membicarakan album ini lebih sering. Namun yang jelas dengan berpegang kepada harapan yang tak gersang, Rimpang adalah awalan yang baik untuk lahirnya pembaruan lain di karya Efek Rumah Kaca.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.
3 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
gon
gon
1 year ago

thankyou pop hari ini!

Sigit
Sigit
1 year ago

Sebuah ulasan yang sangat menarik, pembawaan tulisan yang sangat luwes dan tegas serta membuat saya sangat menikmati kalimat demi kalimat. Tidak hanya itu, ulasan ini juga membawa saya kembali dalam sebuah petualangan ruang waktu ke album-album efek rumah kaca sebelumnya. Terima kasih Pophariini dan terima kasih kepada penulis.

cici
cici
11 months ago

ulasan yang keren mendalam dan detai. terimakasih

Eksplor konten lain Pophariini

Setelah 7 Tahun, Risky Summerbee & The Honeythief Kembali Rilis Karya Anyar

Setelah beristirahat 7 tahun, Risky Summerbee & The Honeythief asal Jogja akhirnya resmi kembali lewat single anyar bertajuk “Perennial” hari Minggu (21/04). Lagu ini merupakan karya pembuka untuk album mini terbaru yang mereka jadwalkan …

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang