(Ekosistem) Musik Semarang: Gegap Gempita atau Gagap Gempita?

Mar 16, 2023
Musik Semarang

Selayaknya kota-kota lain, pascapandemi geliat musik di Semarang cukup bergejolak. Nampaknya, kurang-lebih dua tahun tanpa geliat musik membuat para pelaku Semarang memiliki waktu untuk berpikir dan membayangkan nasib musik di kota mereka.

Satu hal yang jelas, saat ini kancah musik Semarang sedang dipegang oleh para pelaku baru. Setidaknya lima tahunan terakhir terdapat regenerasi cukup besar di permusikan Semarang. Tidak hanya urusan band atau musikus, kolektif dan penonton pun diisi banyak wajah baru. Ini tentu saja fenomena yang menggembirakan, tetapi juga menjadi tantangan untuk direspon dengan baik oleh para pelaku musik Semarang agar tidak menjadi selebrasi belaka.

Semarang punya perjalanan panjang soal musik. Sialnya, tradisi pencatatan dan pengarsipan di kota ini bisa membikin kepala pening. Bahkan, Garna Raditya (AK//47) dan Kesit Agung (ex-AK//47, Serambi, Yagim Grind) pernah menyebut periode 2010-2015 adalah “periode yang hilang” sebab para pelaku musik di Semarang sangat jarang mencatat.

Nampaknya, kurang-lebih dua tahun pandemi tanpa geliat musik membuat para pelaku Semarang memiliki waktu untuk berpikir dan membayangkan nasib musik di kota mereka

Namun, harus diakui bahwa geliat musik independen di Semarang selalu dekat dengan musik keras. Pada 1980-an hingga awal 1990-an glam-rock sedang merajai tongkrongan, tetapi banyak anak muda yang membutuhkan musik lebih agresif. Muncul Celcius yang memainkan repertoar Iron Maiden dan Metallica di akhir 1980-an. Pada 1991, Angelator dan Brutalator hadir dengan memainkan karya-karya Sepultura. Mereka lalu berganti nama menjadi Radical Corps dan Syndrome dan mulai menulis lagu sendiri.

Metal lalu ramai di Semarang. Band dan kolektif mulai bermunculan. Gedung Ki Narto Sabdo yang bertempat di Taman Hiburan Rakyat (kini menjadi Taman Budaya Raden Saleh/TBRS) mulai dijadikan lokasi gigs hampir setiap minggu.

Pernah satu waktu Rudy Murdock (Radical Corps) bercerita bahwa pada 1991 ia dan Lutfi Debronzes (Syndrome) membuat selebaran fotokopian (istilah zine belum dikenal) sebagai kanal informasi metal di komunitas mereka. Sayang artefak selebaran ini hilang sehingga klaim tersebut belum bisa dibuktikan.

Harus diakui bahwa geliat musik independen di Semarang selalu dekat dengan musik keras. Pada 1980-an hingga awal 1990-an glam-rock sedang merajai tongkrongan, tetapi banyak anak muda yang membutuhkan musik lebih argresif

Menjelang akhir 1990-an, gerombolan hardcore-punk muncul. Mereka biasa nongkrong di trotoar Bank Indonesia dekat Undip Pleburan. Band-band yang membawakan punk dan hardcore bermunculan dan membuat gig sendiri. Geliat ini didokumentasikan dalam kompilasi Semarang Independent Youth (2000, Rembol Records) yang berisi 14 band, di antaranya G-Squad, Reject, Suck It Fruit, Ejakulator, AK//47, Local Noise, dan Clinic (Nuki, manajer Bangkutaman, adalah personel Clinic).

Memasuki dekade 2000-an, musik Semarang relatif lebih dinamis. Punk, metal, dan hardcore tetap merajai. Kemunculan band-band baru seperti Harvest, Anjing Gladak, Don’t Look Back, dan Hearted mewarnai skena hardcore-punk. Sunday Sad Story, Bring Her Head to Athena, Octopus, dan beberapa nama lain meneruskan agresifitas metal di Semarang.

Penonton dalam acara Youth Attack / Foto: Bima – @rottenslice

Vica Versa di acara Youth Attack / Foto: Bima – @rottenslice

Time Throw Youth Attack / Foto: Bima – @rottenslice

Pada 2006 muncul dua gigs penting di kota ini: Youth Attack yang jadi ajang pesta hardcore kids dan Semarang Bernyanyi Bersama yang dikelola para punker. Semarang Bernyanyi Bersama mencapai gelarannya yang ke-14 pada September 2022 lalu. Sementara Youth Attack, yang digelari “lebaran hardcore”, sedang dalam perencanaan helatan ke-13 pada tahun ini.

Pada dekade 2000-an juga indiepop, indierock, dan musik elektronik muncul di Semarang. OK Karaoke, Le Bench, Ceriakan Hatiku, Lipstik Lipsing, dan Chocolate Dream Berry mulai mengkiblati musik pop/indiepop Inggris. Sementara Terror/Incognita dan ritmeSEMU mengisi bab musik elektronik.

Pada 2005, berdiri Avant-Garden Society, tongkrongan muda mudi indies-keminggris. Tongkrongan ini yang menjadi wadah beberapa band indies di Semarang.

Dekade 2000-an indiepop, indierock, dan musik elektronik muncul di Semarang. OK Karaoke, Le Bench, Ceriakan Hatiku, Lipstik Lipsing, dan Chocolate Dream Berry mengkiblati musik indiepop Inggris. Sementara Terror/Incognita dan ritmeSEMU mengisi bab musik elektronik

Dari geliat pop 2000-an di Semarang ini, ada dua nama yang mendapat pengakuan secara nasional: Wiwiek ‘n Friends dan Lipstik Lipsing. Wiwiek mulai dikenal luas setelah lagu-lagu dalam EP Hey! (2007) dijadikan sondtrack untuk film Planet Mars (2008, Ganesa Perkasa Film). Sementara Lipstik Lipsing melalui EP Room for Outside (2009) menjadi salah satu pemenang Best New Comer dalam Indonesia Cutting Edge Music Awards 2010 bersama Monkey to Millionaire, Stereocase, Murasaki, dll.

Menurut Adiyat Jati (OK Karaoke), ramainya band indies-keminggris ini dipengaruhi oleh banyaknya perantau dari Bandung dan Jakarta yang mulai berkuliah di Undip. Mereka membawa referensi musik non-keras ke tongkrongan. Namun, metal, hardcore, dan punk selalu dominan sehingga musik indies-keminggris tidak terlalu berkembang di Semarang.

Dekade 2000-an juga menjadi era penting aspek media di kancah musik Semarang. Selain zine-zine yang mulai tersebar dan berdirinya webzine Semarang On Fire pada 2003, ada MOSH! Magazine (2006-2008) dan Houtskools (PDF magazine, 2010-2015) yang mewarnai publikasi musik di Semarang. MOSH! dalam salah satu edisi tahun 2008 menjadikan CD EP Sail Off the Storm milik OK Karaoke sebagai bonus. Sementara Houtskools sering menulis dan menjadikan band-band Semarang sebagai foto sampul majalahnya.

Dekade 2000-an juga menjadi era penting aspek media di kancah musik Semarang. Selain zine-zine yang mulai tersebar dan berdirinya webzine Semarang On Fire pada 2003, ada MOSH! Magazine (2006-2008) dan Houtskools (PDF magazine, 2010-2015) yang mewarnai publikasi musik di Semarang

Band-band lokal Semarang juga mulai memanfaatkan jaringan mereka pada radio-radio di Semarang. Kedekatan yang hadir karena sering nongkrong dan sesama mahasiswa Undip membuat band-band Semarang memiliki akses untuk mengisi program atau memutar lagu di radio-radio tersebut. Dari sana, publikasi musik mereka jadi semakin luas.

Bagi Adiyat, era itu adalah era saat musik Semarang bisa disebut ekosistem, meski tidak ideal-ideal amat. Para pelaku musik di Semarang tidak hanya berpenuh-penuh membuat band, tetapi juga mulai mengisi pos lain seperti media. Ekosistem dan pembagian kerja akhirnya menjadi permasalahan krusial di Semarang sampai saat ini.

Seperti yang saya bilang tadi, regenerasi cukup besar sedang terjadi di Semarang. Kita tidak lagi tergagap-gagap dan mentok pada AK//47, Power Slaves, Nasida Ria, atau Good Morning Everyone saat membicarakan “musik Semarang”.

KANINA / Foto: Bima – @rottenslice

Rrefal menjadi pembuka Snail Mail pada 2018 bersama Much dan Grrrl Gang. Belakangan Soegi Bornean bikin jagat media sosial kena demam. Pada 2021, Kanina merilis album Ode to All Odds, debutnya yang memukau sekaligus “menantang” sejawatnya di Semarang. Ode to All Odds bahkan masuk 10 Album Terbaik 2021 versi The Jakarta Post. Tidak perlu juga diingatkan betapa Mandoors muncul dalam beberapa artikel terbitan Pophariini.

Seperti yang saya bilang tadi, regenerasi cukup besar sedang terjadi di Semarang. Kita tidak lagi tergagap-gagap dan mentok pada AK//47, Power Slaves, Nasida Ria, atau Good Morning Everyone saat membicarakan “musik Semarang”

Di samping mereka, geliat bawah radar pun cukup menarik. Lima tahunan ini juga, banyak band baru berdiri dan merilis karya-karya potensial. Ada Vice Versa, Trap Inside, Time Throw For All, Slakter, Ventor, Ahool, dan Balau yang meneruskan panji hardcore, punk, dan metal.

Infuturo dan Laughter menjadi aroma segar di Semarang sebab membawakan post-punk/dark-wave, musik yang sebelumnya tidak pernah hadir di Semarang. Sayang baru Infuturo yang merilis rekaman mereka.

Mandoors / Foto: Bima – @rottenslice

Sementara tongkat indies (umbrela term untuk indie-pop, indie-rock, alt-rock, dan shoegaze) diteruskan oleh BeverlyLine, Woll, faed, Pale Harbor, dan Femm Chem (dari nama, kita paham kalau mereka dipengaruhi Nice Biscuit). Setelah sekian lama, tongkat indies Semarang tidak hanya dipegang Moiss.

Selain di ranah band/musikus, kolektif gig organizer juga mulai tumbuh. Ada Gemuruh, Suddenly, Whocares, 024 Hardcore Crew, Gigs Hari Ini, dan Bikin Sendiri. Dari kelima nama ini, hanya dua kolektif (024 Hardcore Crew dan Whocares) yang terhitung agak tua

Selain di ranah band/musikus, kolektif gig organizer juga mulai tumbuh. Ada Gemuruh, Suddenly, Whocares, 024 Hardcore Crew, Gigs Hari Ini, dan Bikin Sendiri. Dari kelima nama ini, hanya dua kolektif (024 Hardcore Crew dan Whocares) yang terhitung agak tua. Kedua kolektif itu pun banyak diisi wajah baru.

Di tengah ramainya geliat band, mekanisme ekosistem untuk menangkap gejolak ini menjadi penting. Sayangnya ekosistem, terutama yang dirasa ideal, masih menjadi angan-angan untuk Semarang.

Di tengah ramainya band dan gig organizer, Semarang defisit media. Media yang saya maksud di sini bukan yang hanya jadi tempat mejeng poster gig/event, tetapi juga aktif mengapresiasi, membentuk wacana, menarasikan kota, juga mengisi aspek kritik dan pengarsipan.

Di tengah ramainya geliat band, mekanisme ekosistem untuk menangkap gejolak ini menjadi penting. Sayangnya ekosistem, terutama yang dirasa ideal, masih menjadi angan-angan untuk Semarang.

Di tengah ramainya geliat band, mekanisme ekosistem untuk menangkap gejolak ini menjadi penting. Sayangnya ekosistem, terutama yang dirasa ideal, masih menjadi angan-angan untuk Semarang.

Pos ini sempat diisi Semarang On Fire, tetapi sejak 2019, webzine ini vakum dan itu bukan vakum yang pertama. Kabarnya media ini sedang diupayakan untuk bangkit.

Selain itu, ada satu pos yang cukup krusial dan sangat sepi di Semarang: record label. Record label memiliki posisi penting dalam perkembangan ekosistem musik kota. Label mengisi urusan-urusan non-musik dan pascaproduksi, seperti narasi, publikasi, dan distribusi. Urusan-urusan pascaproduksi ini adalah aspek yang seringkali luput. Rasanya masih banyak band Semarang yang miskin imajinasi atau pengetahuan perihal urusan pascaproduksi.

Di tengah ramainya geliat band, mekanisme ekosistem untuk menangkap gejolak ini menjadi penting. Sayangnya ekosistem, terutama yang dirasa ideal, masih menjadi angan-angan untuk Semarang.

Belakangan baru ada HILLS. dan Irama Records yang mengambil pos ini. HILLS. berubah dari kolektif menjadi record label pada 2019. Melalui para rosternya (Kanina, Cosmicburp, Mandoors, Femm Chem, Ekklefa, dll), HILLS. membawa kesegaran pada lanskap musik Semarang.

Di tengah begitu ramainya kancah musik Semarang, kita bisa menilai apakah dua label ini mampu menaungi semua gejolak ini?

Selain urusan label dan media, sebenarnya para gig organizer memiliki catatan lain. Sejauh ini mereka baru akan mengadakan gig saat ada band dari luar Semarang yang tur ke kota ini. Menjamu band tur jelas bukan hal buruk, malah bermanfaat untuk membangun silaturahmi dan memperluas jejaring. Sayangnya, kondisi ini membuat helatan musik di Semarang menjadi sangat tergantung pada ada atau tidaknya kunjungan. Maka, jika tidak ada band yang tur, reduplah gig musik di kota ini. Padahal panggung adalah aspek penting dalam pendewasaan band.

Dari beragam kondisi yang ada, saya mendakwa bahwa sampai saat ini alih-alih ekosistem, Semarang masih sebatas “lokasi” atau basis dari para musikus. Semarang belum bisa menjadi kota yang berkontribusi pada perkembangan para pelaku musik di dalamnya

Dari beragam kondisi yang ada, saya mendakwa bahwa sampai saat ini alih-alih ekosistem, Semarang masih sebatas “lokasi” atau basis dari para musikus. Semarang belum bisa menjadi kota yang berkontribusi pada perkembangan para pelaku musik di dalamnya.

Beberapa pos yang masih kosong dan gig-gig yang masih tergantung pada pelaku di kota lain akhirnya membuat perkembangan musik Semarang menjadi lambat.

Selain urusan label dan media, sebenarnya para gig organizer memiliki catatan lain. Sejauh ini mereka baru akan mengadakan gig saat ada band dari luar Semarang yang tur ke kota ini

Tidak percaya? Coba lihat diskografi musikus asal Semarang dan hitung berapa banyak rilisan yang mereka punya selama karir bermusik mereka? Lalu coba bandingkan dengan musikus/band kota lain yang memiliki rentang usia yang relatif sama.

Kurang kuat? Coba juga perhatikan media sosial mereka dan hitung berapa banyak mereka tampil di Semarang? Lebih jauh lagi, berapa kali mereka tampil di gig/event yang dibuat bukan untuk menyambut band tur?

Saya rasa para pelaku musik di Semarang perlu lebih memperluas imajinasi mereka sambil berupaya melakukan inisiatif-insiatif baru. Tidak perlu yang rumit-rumit, setidaknya pos-pos dalam ekosistem yang memang diperlukan bisa terisi. Setelah itu, merawat konsistensi dan mulai bereksperimen di ruang tersebut.

Akhirnya, sekali lagi, ramainya geliat kancah musik Semarang beberapa tahun ini adalah tantangan bagi para pelaku di dalamnya. Apakah geliat-geliat para pelaku baru ini bisa ditangkap dan direspon dengan baik atau akhirnya menjadi siklus lima tahunan yang membuat musik Semarang jalan di tempat? Kita tunggu saja.

 


Penulis: Gregorius Manurung | Instagram: @gregoriusthmanurung
Mahasiswa off-side Sastra Indonesia Undip dan staf redaksi Highvoltamedia.com. Tulisannya terbit di Highvoltamedia.com, Tirto.id, dan beberapa webzine/zine. Sedang merencanakan pendirian penerbitan musik dan subkultur lokal, terkhusus Semarang.

Penulis
Gregorius Manurung
Mahasiswa off-side Sastra Indonesia Undip dan staf redaksi Highvoltamedia.com. Tulisannya terbit di Highvoltamedia.com, Tirto.id, dan beberapa webzine/zine. Sedang merencanakan pendirian penerbitan musik dan subkultur lokal, terkhusus Semarang.

Eksplor konten lain Pophariini

Bank Teruskan Perjalanan dengan Single Fana

Setelah tampil perdana di Joyland Bali beberapa waktu lalu, Bank resmi mengumumkan perilisan single perdana dalam tajuk “Fana” yang dijadwalkan beredar hari Jumat (29/03).   View this post on Instagram   A post shared …

Bentuk Pendewasaan Jason Ranti dalam Single Hari Hari Musik

Jason Ranti mengakhiri masa rehat lewat peluncuran materi anyar berupa single dalam judul “Hari Hari Musik” bertepatan dengan Hari Musik Nasional tanggal 9 Maret 2024 lalu.   Setahun terakhir solois yang akrab disapa Jeje …