Eksplorasi Bermusik: Sebuah Momok Bagi Musisi?

Jun 20, 2019

Kilas balik sedikit, saya ingat ketika pertama kali mendengar album Propaganda (2000) dari band bernama Waiting Room. Band yang terkenal sebagai band ska/punk lewat album Buayaska (1997) ini mendadak ber ‘acid jazz ria’ di album ini. Meski 3 tahun, namun band ini tak butuh banyak album untuk bereksplorasi. Hasilnya? Saya lupa, mungkin band ini kehilangan penggemar jaman ska dulu. Atau album Rotor yang paling ‘tidak thrashmetal’ seperti Menang (1997), yang sulit dikunyah. Gagasan industrial rock yang mungkin jaman itu mungkin tidak populer.

Ataukah eksplorasi bagi sebagian musisi mungkin dianggap sebagai momok? Kalau iya, ini mungkin menjadi alasan banyaknya band yang enggan untuk mengubah wajah musik mereka, baik sebagian apalagi total. Ada banyak pertimbangan menyertainya, dari takut albumnya nggak laku, takut dikritik – atau yang paling parah – pelan-pelan ditinggal penggemar. Apa iya?

Menjalankan eksplorasi dalam mencapai kesempurnaan sebuah karya musik memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif musisinya.

Kalau itu alasannya, mungkin saja Tulus, Payung Teduh atau Fourtwnty misalnya adalah band enggan (atau malas) bereksplorasi daripada zona nyaman mereka terganggu. Kendornya energi musisi akibat jadwal-jadwal panggung yang dihabiskan rapat selama setahun ditengarai menjadi alasan minimnya sebuah eksplorasi musik di sebuah karya musik.

Padahal, jika mengikuti prinsip klasik yang dianut Efek Rumah Kaca, ‘pasar bisa diciptakan’ seharusnya momok itu nihil. Oiya, bicara Efek Rumah Kaca, saya suka manuver eksploratif di Sinestesia. Pendekatan ‘album konsep’ yang didasarkan atas komposisi warna tiap lagu berdurasi panjang ini mungkin awalnya bukan upaya populis bagi penggemar band yang senang ber-sing-along atas lagu-lagu lepasan yang pendek durasi. Meski demikian, karya-karya Sinestesia masih bisa diapresiasi sampai sekarang. Lalu dimana momoknya?

Efek Rumah Kaca. dok. istimewa

Banyak musisi dan band hari ini hadir dengan beragam ekspresi yang menarik. Namun saya ragu apakah mereka lantas bisa sebegitu bebasnya melakukan eksplorasi musik di perjalanan album mereka atau mereka lantas terbuai -jika tidak terperangkap-dalam karya-karya indah mereka dan buaian jadwal panggung dan apresiasi fans.

Menjalankan eksplorasi dalam mencapai kesempurnaan sebuah karya musik memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif musisinya. Apapun alasannya, musisi berhak melakukannya atau tidak. Karena subyektif, saya pun berpendapat jika eksplorasi musik adalah hal yang penting dilakukan musisi. Bahkan lebih dari itu, eksplorasi musik adalah kewajiban sejati dari musisi dalam berkarya.

Balik lagi ke pertanyaan besar di tajuk. Sebuah pertanyaan yang lebih tepatnya ditujukan untuk segenap musisi yang membaca tulisan ini.

 

____

1
2
Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Marsahala Asal Denpasar Rilis Single Kedua Bertajuk Love Yourself

Solois yang mengusung gaya musik soul alternatif asal Denpasar bernama Marsahala resmi meluncurkan single anyar bertajuk “Love Yourself” hari Jumat (26/04). Sebelumnya sang musisi sudah menandai kemunculannya lewat single “Still Spinning” bulan Februari lalu. …

Setelah 7 Tahun, Risky Summerbee & The Honeythief Kembali Rilis Karya Anyar

Setelah beristirahat 7 tahun, Risky Summerbee & The Honeythief asal Jogja akhirnya resmi kembali lewat single anyar bertajuk “Perennial” hari Minggu (21/04). Lagu ini merupakan karya pembuka untuk album mini terbaru yang mereka jadwalkan …