Funk Jaman Now. Diskusi Showcase Electric Love: Funkified

Jan 22, 2018

Musik funk memang tak pernah jadi “anak emas” di industri musik Indonesia. Kalau pun muncul band-band yang mengusung musik funk itu tak lebih dari sekedar – mengutip tulisan dari vokalis 70sOC Anto Arief – “pemanis” atau “MSG”. Padahal musik funk sudah muncul sejak lama. Pada tahun 1970-an muncul band The Rollies yang dianggap seperti James Brown-nya Indonesia hingga nuansa funk dalam karya-karya Benyamin.

Pada diskusi tentang “Funk Jaman Now” yang menjadi bagian dari acara hearing session, diskusi dan showcase 70sOC Electric Love: Funkified di Spasial Bandung, 18 Januari 2018 lalu, para personil trio funk 70sOC yaitu Anto Arief, Bagan Gantira, dan Fabian Gifarian, serta dua narasumber yang pernah bersentuhan dengan musik funk, Reynaldo Marshall, gitaris Kelompok Penerbang Roket (pernah punya band funk, Speakeasy) dan Tanto Putrandito, kibordis The Groove menyimpulkan bahwa musik funk memang tak pernah “besar”. Musik funk masih sulit diterima oleh kuping masyarakat Indonesia.

Funk adalah genre musik yang tumbuh populer di Amerika sebagai eksplorasi dan perkembangan dari genre musik Soul/RnB. Ciri khas dari genre musik ini terutama pada permainan gitar yang cenderung memainkan bunyi efek wah dan suara gitar berdecit, permainan bass dan drum yang lebih berirama dan groovy sehingga cenderung mengajak penonton untuk bergoyang.

Pada diskusi kemarin menarik membahas upaya funk meleburkan diri dalam konteks industri dan budaya masyarakat Indonesia. Geliat funk sebagai musik yang mengajak penonton bergoyang tentu masih kalah pamor dengan dangdut yang tak bisa disangkal lagi masih menjadi idola untuk masyarakat kita. Apalagi urusan goyang.

“Kalau dilihat di Amerika sana, saat band funk maen itu hampir semua penontonnya bergoyang. Tapi kalau di sini (Indonesia) engga. Kayanya sih kalah pamor sama musik dangdut,” ujar Anto yang mengaku menyukai funk gara-gara soundtrack film aksi 70an. Persoalan apresiasi ini yang kemudian membuat musik funk agak sulit diterima dalam konteks budaya di Indonesia. Padahal menurut Anto, identitas funk yang kental dengan Afro-Amerika (seperti rambut kribo) ini pernah jadi geliat budaya populer yang besar di dunia, termasuk di Indonesia, seperti lewat film-film Indonesia tahun 1970-an.

“Ciri khas identitas funk itu kan memang kental dengan budaya Afro-Amerika, dulu sempat populer di sini. Apalagi kalau disimak di film-film lama Indonesia tahun 70an, identitas Afro seperti rambut kribo selalu identik dengan karakter penjahat,” terangnya sambil tertawa.

Pada pertengahan 1990-an itu yang kemudian membuat identitas funk sempat menghilang di masyarakat Indonesia. Identitas anak muda Afro kemudian digantikan dengan yang lebih trendi dan populer seperti rambut gondrong, rambut poni, atau kemeja flannel sesuai dengan tren musik yang berkembang pada masa itu seperti heavy metal, punk, grunge, atau pop. Perkembangan akulturasi ini pun menjadi salah satu faktor sulitnya funk “berbaur” dalam kebudayaan masyarakat kita.

Musik funk sebagai hibrid dari musik pop dan rock memang cukup berkembang pada tahun 1990-an. Saya pikir momen emas musik funk ini bergeliat dan berkembang ketika memasuki tahun 1990-an. Banyak kemudian band-band yang memasukkan musik funk, meskipun itu hanya sekedar “pemanis”. Seperti misalnya Pas Band pada album Individuality (1997) yang cukup kental dengan funk. Tapi pada masa itu Pas Band lebih banyak dikategorikan mengusung musik “alternatif”. Begitu pun misalnya ketika munculnya Funky Kopral yang memiliki warna funk sangat kental pun lebih banyak dikategorikan sebagai musik “rock”.

Funk seolah menjadi “anak tiri” di industri musik Indonesia. Tanto bersama The Groove, misalnya, ketika mengusung musik funk akhirnya mesti berkompromi dengan pasar ketika gabung major label. “Pada saat kami gabung major label tuh, benchmark semua label itu kayaknya Sheila on 7. Semua label pengen punya band kayak mereka. Akhirnya itu yang membuat kami berkompromi untuk akhirnya lebih mengusung genre pop,” ujar Tanto. Hal senada pun diutarakan oleh Rey yang punya pengalaman ketika bermain musik funk ujung-ujungnya harus atau terpaksa berkompromi pasar.

Perkembangan musik funk memang tak pernah terlalu bergeliat. Atau seperti kata pepatah, “hidup segan mati tak mau”. Padahal menurut Anto, beberapa musisi pop seperti Tulus hingga Rizky Febrian pun menyelipkan unsur funk dalam beberapa lagunya. Musik funk kalau disimak memang masih enak untuk dibuat bergoyang. Terutama musik disko sebagai perkembangan dari musik funk yang dalam beberapa tahun terakhir bangkit kembali dimainkan di klab-klab oleh DJ-DJ anak muda. Akhirnya funk memang menjadi “pemanis” untuk musik pop atau rock.

Rey (KPR), Ant (70sOC) & Tanto (The Groove)

Moderator, Idhar Resmadi

foto: Jovy Akbar https://www.instagram.com/shutterbeater_/

 

____

Penulis
Idhar Resmadi
Nama Idhar Resmadi sudah dikenal di kalangan jurnalis musik tanah air. Music Records Indie Label (2008), Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 (2011), dan Based on A True Story Pure Saturday (2013) adalah karya yang sudah ia rilis. Selain itu, ia juga merupakan peneliti lepas, pembicara, moderator, atau pemateri untuk bahasan musik dan budaya.

Eksplor konten lain Pophariini

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …