Getah – From Within…Thus, Without
Saya memulai dari sebuah pertanyaan penting: Apa yang kita harapkan dari sebuah band shock rock/metal seperti Getah yang sudah 25 tahun berkarier di industri musik dengan segala cerita ditolak oleh label dan ditinggal mati oleh 2 personelnya?
Saya pikir, sekadar bertahan bermain di festival saja itu sudah cukup, namun ternyata ekspetasi saya terlalu minim. Lewat album barunya, From Within…Thus, Without ini mereka ingin membuktikan bahwa mereka adalah musisi-musisi yang resah dan ingin menumpahkan rasa kemarahan mereka lewat karya-karya baru. Dari sini saya mulai kagum bagaimana Getah dengan karya barunya ini bisa lebih dari sekadar eksistensi belaka.
Mungkin saja mereka tak punya ekspetasi akan diputar sejuta kali di Spotify dengan melihat ‘persaingan’ lagu-lagu rock dari group baru yang kian muncul dan merebut hati generasinya, namun paling tidak saya sudah cukup puas bahwa mereka bisa menampilkan materi-materi baru yang punya ketajamannya di sana sini.
Saat ini saya sedang memutar ulang “Flowers of Evil”, bagaimana komposisi yang dibuka oleh chant dan gebukan repetitif ibarat sebuah panggilan terhadap malaikat maut dan rima-rima horor berbahasa perancis yang dilantunkan Phil Vezard, seorang vokalis asal Perancis yang somehow membuat bulu kuduk saya berdiri ketakutan. Sementara itu, saya bisa merasakan kemarahan atas kegetiran yang luar biasa di komposisi seperti “Aigre-doux”.
Petikan balada 12 senar sebanyak empat setengah menit di “Frameless” mengalir seperti sungai di cerita film dongeng tentang naga dan peri yang tertawan di kastil. Vokal Alexandra J. Wuisan makin mempertegas imaji saya. Sebagai penutup, kolaborasi Getah dengan Once Mekel, produser album ini lewat “The Wild Hunt” membuktikan bahwa bahkan seorang Once pun bisa terdengar tidak seperti Once yang penuh cinta dan balada.
Overall, di kebangkitan keduanya, Getah berhasil memukau saya. Sebagai sebuah album, From Within…Thus, Without terdengar berisi, bukan sebuah album rock dengan ketukan-ketukan yang sama, album ini lebih tajam, sebuah dongeng, sebuah balada akan kegetiran, sebuah satir akan kemarahan yang dipendam dan dikeluarkan diam-diam. Gokil!
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …
Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024
Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …