Hanya di Internet: Yang Tuna Nada, Yang Viral

Nov 27, 2022
Tuna Nada

Media sosial adalah tempat orang bisa mengunggah konten apapun untuk dikonsumsi publik. Meski demikian, konten-konten tertentu, yang mengganggu kenyamanan pandangan, sadis, bikin eneg dan risih, tentu bisa dilaporkan ramai-ramai untuk kemudian dihapus oleh admin media sosial.

Nah, tapi kenapa yang kerap dilaporkan dan diturunkan itu hanya hal-hal yang mengganggu pandangan mata? Bagaimana dengan konten yang mengganggu pendengaran alias bikin telinga tidak nyaman? Rasanya jarang orang melakukan report ramai-ramai hanya karena mereka tidak suka pada aspek audio dari suatu konten.

Alasannya mungkin sederhana: Kalau tidak suka suaranya, tinggal di-skip saja kontennya, atau di-mute saja audionya. Menariknya, alasan yang sama belum tentu bisa diterapkan pada konten visual (hal yang mengganggu mata kadangkala tidak hanya di-skip, tapi juga sekaligus di-report).

Di media sosial, konten-konten tertentu, yang mengganggu kenyamanan pandangan, sadis, bikin eneg dan risih, bisa dilaporkan ramai-ramai untuk kemudian dihapus. Tapi kenapa yang kerap dilaporkan dan diturunkan itu hanya hal-hal yang mengganggu pandangan mata?

Salah satu conton konten yang mengganggu pendengaran adalah orang menyanyi tapi dia tuna nada (tone-deaf). Tuna nada berbeda dengan fals. Sebelum masuk pada urusan tuna nada, kita bahas sedikit tentang fals terlebih dahulu. Orang yang nyanyi, atau main musiknya fals, atau secara bahasa diartikan sebagai “menyimpang”, artinya ia tidak bisa mencapai pitch tertentu dalam suatu nada.

Jika diibaratkan suatu nada ada pada garis lurus, cara nyanyi / main musik orang tersebut tidak sesuai pada garis lurus itu, entah lebih tinggi atau lebih rendah.  Itu sebabnya, fals nada sering disebut juga sebagai fals vertikal. Selain fals vertikal, ada juga fals horizontal, atau biasa disebut juga dengan fals ketukan. Pada kasus semacam ini, seseorang kerap melakukan kesalahan dalam mengenali ketukan. Salah satunya kita temukan pada orang yang jika menyanyi atau main musik, sering “salah masuk”.

Bagaimana dengan konten yang mengganggu pendengaran alias bikin telinga tidak nyaman? Salah satu contoh konten yang mengganggu pendengaran adalah orang menyanyi tapi dia tuna nada (tone-deaf). Tapi tuna nada berbeda dengan fals.

Oke, itu adalah fals. Sekarang, apa itu tuna nada? Sebagai awalan, fals mungkin “mengganggu”, tapi tuna nada bisa jadi “mencengangkan”. Mencengangkan karena orang yang menyanyi tersebut bisa saja tidak fals, suaranya indah, tetapi tidak nyambung dengan musiknya. Ia bisa bernyanyi hingga selesai, tanpa merasa ada satupun kekurangan, tetapi orang-orang yang mendengarkannya, terutama yang tidak tuna nada, akan sangat terganggu. Ibaratnya, musiknya main di nada dasar A, si penyanyi main di nada dasar B, dan nyanyiannya ini bisa tidak fals nada dan tidak fals ketukan. Hanya saja, itu tadi, tidak nyambung.

Tuna nada, atau amusia, tone-deafness, tune-deafness, dysmelodia, dysmusia, adalah kondisi seseorang yang tidak bisa mengenali nada, ritmik, atau hal-hal yang berhubungan dengan bebunyian, khususnya musik. Pendengarannya sama sekali tidak bermasalah, tetapi orang dengan tuna nada mengalami masalah untuk mempersepsikan nada di otak mereka. Mengapa bisa demikian? Penelitian awal-awal tentang tuna nada dilakukan oleh Grant Allen tahun 1878. Ia meneliti orang berusia 30 tahun dengan level pendidikan yang tinggi, tetapi mengalami tuna nada dengan tidak mampu mengenali melodi-melodi yang familiar, tidak mampu membedakan nada mana yang lebih tinggi dan lebih rendah pada dua nada yang berurutan, termasuk tidak bisa menyanyi sesuai nada dasar yang ada pada iringan.

Fals mungkin “mengganggu”, tapi tuna nada bisa jadi “mencengangkan”. Karena orang yang menyanyi tersebut bisa saja tidak fals, suaranya indah, tetapi tidak nyambung dengan musiknya. Ia bisa bernyanyi hingga selesai, tanpa merasa ada kekurangan, tetapi yang mendengarkannya, terutama yang tidak tuna nada, akan sangat terganggu

Mungkin kita beranggapan bahwa orang tersebut jarang sekali mendengarkan musik sejak kecil, tetapi temuan Allen justru menemukan hal sebaliknya: orang tersebut pernah belajar musik saat masih anak-anak! Penelitian itu hendak mengatakan, amusia tidak berhubungan dengan latar belakang pendidikan seseorang dan tidak berkaitan dengan intensitas persentuhan seseorang dengan musik.  Nyaris seratus tahun kemudian, penelitian Geshwind tahun 1984 menunjukkan bahwa terdapat orang yang mampu berbicara tiga bahasa sekaligus secara lancar, rajin diperdengarkan musik oleh orangtuanya sejak kecil, dan bahkan sempat mengambil les piano, tetap bisa mengalami tuna nada.

Dengan demikian, apa sebenarnya masalah dari amusia? Sejauh ini berbagai penelitian menyebutkan bahwa masalahnya ada pada otak. Sebagai contoh, sebuah penelitian dari tahun 2009 oleh sekelompok peneliti di Boston, Amerika Serikat, menemukan bahwa pada orang tuna nada, terdapat adanya koneksi yang lebih sedikit antara dua area otak yang menganalisis dan memproduksi suara atau bunyi. Lantas, apakah tuna nada dapat disembuhkan? Sejauh ini, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa tuna nada bisa disembuhkan secara menyeluruh. Latihan kuping (ear-training) yang intens bisa saja memperbaikinya secara perlahan.

Alih-alih diperlakukan sebagai konten tidak menyenangkan, konten dari orang-orang dengan tuna nada justru bisa dirayakan di dunia permedsosan. Jika kita cek Youtube atau TikTok dan mencari orang-orang yang “tidak bisa menyanyi”, maka tidak jarang beberapa konten semacam itu justru menuai viewers hingga ratusan ribu

Yang Tuna Nada, Yang Viral

Alih-alih diperlakukan sebagai konten tidak menyenangkan, konten dari orang-orang dengan tuna nada justru bisa dirayakan di dunia permedsosan. Jika kita cek Youtube atau TikTok dan mencari orang-orang yang “tidak bisa menyanyi”, maka tidak jarang beberapa konten semacam itu justru menuai viewers hingga ratusan ribu.

Di Korea bahkan sejumlah “penyanyi tuna nada” ini ditampilkan dalam acara sangat laris bernama I Can See Your Voice yang berlangsung sejak tahun 2015 dan telah berjalan hingga 119 episode (sampai April 2022). I Can See Your Voice telah diadopsi oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Belanda, Belgia, Filipina, Malaysia, dan juga Indonesia.

Dalam I Can See Your Voice, sejumlah “penyanyi misterius” dihadirkan dan hal yang kita ketahui tentang mereka hanya pekerjaannya. Penyanyi tamu kemudian diminta untuk memilih mana penyanyi bagus dan mana penyanyi jelek tanpa mendengarkan mereka menyanyi. Letak keseruan acara tersebut adalah saat penyanyi misterius akhirnya menyanyi dan kita akhirnya tahu apakah ia bisa menyanyi atau tidak. Saat ternyata penyanyi tersebut tidak bisa menyanyi, biasanya seisi studio menertawakannya. Menariknya, “penyanyi jelek” justru mendapat hadiah uang sebesar lima juta won atau sekitar 60 juta rupiah.

Sebelum media sosial mulai marak, atau saat dunia informasi masih dikuasai oleh media massa dengan segala gatekeeper-nya, orang-orang tuna nada nyaris tidak pernah diberi kesempatan. Hampir tiada satupun media massa yang mau mengambil risiko menampilkan sebaliknya untuk menyanyi, kecuali jika mereka mau rating-nya terjun bebas

Mengapa kemudian yang tuna nada ini justru bisa berjaya? Media sosial adalah kuncinya. Rasanya, sebelum media sosial mulai marak, atau saat dunia informasi masih dikuasai oleh media massa dengan segala gatekeeper-nya, orang-orang tuna nada nyaris tidak pernah diberi kesempatan. Mereka yang tampil di televisi, radio, pastilah hanya orang-orang yang “bisa menyanyi”. Hampir tiada satupun media massa yang mau mengambil risiko menampilkan sebaliknya untuk menyanyi, kecuali jika mereka mau rating-nya terjun bebas.

Adapun orang seperti Bob Dylan, yang seringkali dituding “tidak bisa menyanyi”, kita tetap tidak bisa menyebutnya sebagai tuna nada. Bob Dylan tetap melek nada, hanya saja, mungkin bagi sebagian orang, suaranya dinilai tidak terlalu istimewa.

Media sosial adalah etalase yang bisa menampilkan hal-hal yang tidak bisa kita temukan di era media massa. “Lagu jelek”, “penyanyi jelek”, adalah konsumsi sehari-hari warganet yang mungkin sudah eneg dengan hal-hal yang serba bagus dan indah

Media sosial adalah etalase yang bisa menampilkan hal-hal yang tidak bisa kita temukan di era media massa. “Lagu jelek”, “penyanyi jelek”, adalah konsumsi sehari-hari warganet yang mungkin sudah eneg dengan hal-hal yang serba bagus dan indah. Dengan semangat pro kesetaraan, warganet memberi kesempatan bagi orang-orang tuna nada untuk “mendapat panggung” dan bahkan meraup keuntungan finansial dari sana.

Sekarang tinggal kita renungkan: apakah mengonsumsi mereka dengan menertawakannya adalah sebentuk diskriminasi? Atau justru sebentuk penerapan prinsip keadilan dalam rangka mengimbangi “penyanyi bagus”? Pertanyaan tersebut silakan dijawab oleh masing-masing pembaca.

 


 

Penulis
Syarif Maulana
Pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, mahasiswa doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan inisiator kelas belajar filsafat Kelas Isolasi

Eksplor konten lain Pophariini

Merindink Disko Rilis Single Kedua yang Tercipta Spontan

Duo elektronik pop asal Aceh bernama Merindink Disko resmi merilis karya teranyar bertajuk “Bersukacita” hari Jumat (22/03). Lagu ini menceritakan kelanjutan kisah tokoh Louie dan Nancy yang sudah mereka ceritakan di single sebelumnya, “Saturday …

Fulgur Rilis Album Mini Perdana dengan Genre Blackened Sludge

Beres merilis karya musik dengan format single, band blackened sludge asal Bandung bernama Fulgur resmi meluncurkan album mini perdana dalam tajuk Tangled Sacrifice hari Jumat (15/03). Tangled Sacrifice by Fulgur   Fulgur yang terbentuk …