Hari Musik Nasional: Sebuah Catatan Biasa Tapi Menjanjikan

Mar 9, 2018

Hari Musik Nasional atau Hari Musik yang jatuh tanggal 9 Maret ini sepertinya menjadi hari yang biasa saja buat masyarakat, terlebih pecinta musik tanah air. Bahwa hari musik yang diambil dari hari lahir WR Supratman mungkin dianggap biasa saja, tak terlalu spesial seperti hari kemerdekaan Indonesia.

Jika itu berkenaan dengan musik, maka hari yang diingat oleh pecinta musik, terutama kaum milennials adalah nanti, tanggal 21 April. Itu adalah hari keramat karena di hari itu, seluruh pecinta musik dunia merayakan Record Store Day, harinya toko musik, yang ironisnya di Indonesia sudah banyak yang gulung tikar (kita akan bicara tentang itu nanti di bulan April).

Jadi, hari musik. Apa yang harus diingat dari musik indonesia hari ini? Millennial mungkin akan lebih tertarik membahas tentang festival musik yang makin hari makin seru. Synchronize Fest yang sudah dua kali digelar, makin sedap! We The Fest, kian mantap! Di lain pihak, Java Jazz agak, maaf, melempem karena kehabisan amunisi.

Di lain pihak, ada upaya-upaya untuk membuat festival yang (ceritanya) dekat ke alam. Lalala Fest di tahun ini menjanjikan lokasi yang aman dari lumpur, berkaca dari citra buruk yang disandang mereka oleh penonton pada festival debutnya. Hanya RRRec Fest In The Valley yang sukses soal bikin festival di alam, meski sayangnya kuota orang yang datang tidak lah sebanyak We The Fest, maklum medan Sukabumi lumayan menantang serta biaya yang belum ramah di kantong.

Kolaborasi berbahaya 2018!

Itu dari festival musik, lalu gimana kabar label rekamannya? Dari beberapa tahun terakhir, udah bukan hal yang aneh kalau label rekaman kini tak lagi jadi ‘tujuan’ band untuk populer. Banyak label rekaman bertebaran, penyanyi bisa bikin label rekamannya sendiri. Raisa dengan Juni Recordsnya, sukses! Vidi Aldiano dengan labelnya, VA Records yang hmm… belum sesukses Raisa sih, tapi ada upaya ke sana. Sisanya adalah label-label independen. Kalau mereka sih udah tak usah ditanya lagi lah. Pengalaman mereka sudah teruji. Volume rilisan sedikit, tapi rooster banyak, memang tak pernah ada pretensi untuk menjadi unggul dari siapapun, hanya meramaikan dan mendokumentasikan saja.

Tulus dan Monokrom: Masih Unggul

Penyanyi solo banyak bermunculan bak jamur, meski band tetap ada, namun penambahan tiap bulannya tak sebanyak artis solo. Bahkan Armand Maulana saja harus mengikuti arus untuk ‘bermain’ di urusan solo ini agar tetap bisa berkarya. Dua hari lalu pergi ke toko Duta Suara dan album Monokrom-nya Tulus masih menjadi Best Seller. Paling tidak itu menurut mas-mas yang jaga. Menarik bukan?

Di sisi lain, ada fenomena unik, the so called folk musician atau musisi akustik tengah naik daun. Bermodal gitar kopong dengan body coak di bawah (cutaway), para musisi folk menulis lagu tentang apa yang mereka rasakan, kebanyakan tentang angin, laut, gunung, hujan, dsb dan dengan mudah kita temukan di Spotify dalam playlist yang menemani waktu minum kopi. Tentu saja, meski penjualan album mereka tak bisa menandingi Tulus (soal ini nanti akan kita bahas di tulisan lainnya), kehadiran mereka tentu saja menjanjikan.

Jason Ranti, yang berbeda dari folk lokal kebanyakan

Selain event, label dan musisi, juga ada hal menarik yang bisa disenggol sedikit dari dunia musik tanah air, yaitu adanya upaya diskusi-diskusi tentang musik dan industrinya. Archipelago Fest, misalnya digelar Oktober tahun kemarin, ini adalah konferensi musik dalam skala menengah yang bertujuan ‘memusikkan masyarakat’ dan ‘memasyarakatkan musik’. Memberikan edukasi tentang dunia indie yang gampang-gampang susah. Dari mendirikan label, menjalankan merchandise band biar sukses. Dan menjaga fans itu kudu dan harus.

Dan ngomong-ngomong konferensi musik, tanggal 7-9 sekarang telah diadakan konferensi musik (mungkin yang ini kelas berat alias skala besar). Digelar di Ambon, ibukota Maluku, meski bukan yang pertama, Konferensi Musik Indonesia ini bakal membahas topik-topik umum seputar industri musik yang melibatkan pelaku dan pengamat musik dengan pemerintah sebagai pemegang keputusan. Mudah-mudahan hasilnya bisa menciptakan pembaharuan tatanan ekosistem musik yang berkelanjutan, serta menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru kreatif Indonesia. Dan ya, bisa jadi akan mendorong pemerintah untuk meluluskan Rancangan Undang-Undang Musik menjadi Undang Undang Musik yang akan mengatur tata keloka industri musik di tanah air.

Meski biasa saja dan kadang tak dipedulikan, namun catatan untuk hari musik ini menyisakan kalau penulis lirik era 80-an bilang ‘ada secercah harapan’ untuk masa depan musik Indonesia ke depannya.

Ya, harapan masih ada.

Selamat hari musik teman-teman.

 

____

Penulis
David Silvianus
Mahasiswa tehnik nuklir; fans berat Big Star, Sayur Oyong dan Liem Swie King. Bercita-cita menulis buku tentang budi daya suplir

Eksplor konten lain Pophariini

Bernadya – Sialnya, Hidup Harus Terus Berjalan

Album perdana Bernadya, Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan, seperti membaca buku peta petunjuk jalan memahami pemikiran dan perasaan seorang perempuan

Petualangan Imajinatif The Superego Lewat Single Vespa Tua

Band indie rock asal Lampung yang bermusik dengan nama The Superego resmi hadirkan karya anyar berupa single dengan tajuk “Vespa Tua” hari Jumat (19/07). Lagu ini mengambil inspirasi dari perjalanan Fuad sang vokalis saat …