“Haruskah Ke Jakarta Untuk Bermusik?” Oleh Sal Priadi

Oct 23, 2020
Musisi Menulis

Sebenarnya ada latar belakang saya kemudian memutuskan hijrah ke Jakarta. Selain akibat lagu “Ikat Aku di Tulang Belikatmu“ masuk nominasi ajang penghargaan Anugerah Musik Indonesia AMI 2017. Dan sebenarnya pilihan ini juga tidak akan saya ambil jika tidak menemui problematika di kota Malang sendiri.

Pertama, Malang itu potensial untuk menghasilkan banyak musisi bagus. Tapi saya merasa kurangnya kehadiran media di sana. Media yang mapan dan punya kekuatan sosial juga, apalagi yang punya dampak dalam meningkatkan pendengar lebih luas juga kurang. Kedua, kota ini dalam hal produksi punya kemampuan untuk membuat hasil produksi audio yang bagus.

Akan tetapi, untuk yang “lebih”, saya rasa Malang juga masih belum punya infrastruktur yang memadai. Dan Jakarta sangat menawarkan hal itu, terutama dalam hal untuk producing dan pengkaryaan. Ketiga, saya pernah berpikir kalau misalnya berkarya dan berproduksi di Malang saja pasti bisa, tapi setelah mendengar dan melihat banyak senior yang lebih dulu “hijrah” ke Jakarta baru setelah itu kembali lagi ke kotanya, saya jadi berfikir bahwa memang harus ada langkah hijrah itu. Hijrah ke Jakarta itu membutuhkan keberanian. Untuk bertemu banyak orang, mengobrol dan mengetahui tentang seluk-beluk Jakarta. Setelah itu, tergantung pilihannya, kembali ke kota asal atau tidak.

Ketika saya masih di Malang, dan beraktifitas dalam kancah musiknya, ada satu anggapan bahwa kami sebagai musisi Malang masih dikategorikan sebagai “local artist”. Padahal jika sebuah karya dari local artist itu telah memiliki dampak dan pendengar secara luas hingga keluar dari kota asalnya, maka sudah selayaknya musisi tersebut untuk tidak lagi dikategorikan sebagai local artist. Ironinya hal ini tidak terjadi di Malang saja, tapi juga di kota-kota lainnya di Indonesia.

jika band daerah itu memiliki dampak dan pendengar secara luas hingga keluar kota asalnya, Selayaknya musisi tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai band daerah

Istilah artis lokal atau local artist secara terminologi memang cuma istilah. Dan untuk itu, saya masih menerima apabila mendapat julukan artis lokal asal Malang seumur hidup saya. Tapi, sepanjang artis lokal hanya sekedar terminologi. Namun, apabila kata local artist diberi muatan sebagai label pada khalayak umum bahwa musisi lokal di sini artinya hanya menjangkau area lokal, dan tidak bisa menjangkau nasional, dalam hal definisi ini saya sangat tidak bisa menerima. Ketika label artis lokal berarti mengecilkan, sehingga seakan ada kasta antara lokal dan nasional, saya sangat tidak terima.

Pelabelan ini juga saya temui di beberapa penyelenggara acara untuk mendiskriminasi perlakuan untuk artis “nasional” dan “lokal”. Baik dalam adlib maupun dalam hal teknis seperti jatah soundcheck, yang masih pilih-pilih. Malah terkadang tidak dapat jatah sama sekali. Saya dulu cukup sering punya pengalaman tidak mendapatkan jatah backstage. Untuk hal ini saya tidak peduli soal kenyamanan saya, hanya saya tidak bisa meremehkan persiapan teknis dan kenyamanan tim produksi saya untuk mempersiapkan penampilan saya.

Balik lagi ke pertanyaan, apakah bisa jika saya melakukan ini semua dari Malang, minimal bersama tim? Menurut hemat saya, Bisa! Akan tetapi akan terkendala “waktu”. Kita bisa melakukan ini semua tapi akan butuh waktu lama untuk bisa sampai sukses. Sangat logis jika ada pihak luar kota yang punya infrastruktur, medan sosial, tenaga lebih besar dan hal-hal lain yang lebih besar, maka akan memberikan kontribusi lebih besar pula ke kita. Karena itulah saya memutuskan pindah ke Jakarta.

Menurut saya, jika kita membuka ruang selebar-lebarnya untuk kerjasama, yang tentu saja harus adil, pasti akan membawa kita ke arah yang lebih baik. Terlebih lagi untuk media, terutama media radio yang memang masih berdampak besar di Jakarta, hijrah adalah pilihan yang memudahkan. Radio-radio tersebut ternyata sangat mendukung dengan musisi luar ibukota, dan paling minimal memberi slot promosi. Namun, radio-radio di Jakarta tersebut tidak akan memberi akomodasi untuk memberangkatkan kita dari Malang. Dengan kepindahan saya ke Jakarta, kini fasilitas seperti itu terasa lebih mudah diakses dan memberi kemudahan berpromosi bahkan jika harus berangkat membawa diri sendiri tanpa tim.

Masalah akomodasi pun ini, setelah lima bulan saya pindah ke Jakarta baru lebih terasa perbedaanya. Dulu, saat masih di Malang, tawaran pentas dari Jakarta itu banyak bisa sampai dua sampai lima kali, tapi rata-rata mereka berkeberatan membayar akomodasi kami. Paling minim sembilan orang tanpa engineer, dan player pun berperan sebagai engineer dadakan. Dari akomodasi ini saja saya sudah merasa ada diskriminasi. Bayangkan ambil contoh daerah lain, apa bedanya memberangkatkan musisi dari Kalimantan ke Jakarta dengan dari Jakarta ke Kalimantan, apa bedanya? jika hanya for the sake of music atau DEMI MUSIK. Sangat sering ditemui kasus, ketika panitia musik di “daerah” rela memberangkatkan hingga 13 orang kru dan musisi dengan “taraf nasional” sedangkan dari Jakarta, untuk memberangkatkan orang 9 saja masih dinegosiasi. Mengapa masih ada diskriminasi? Sebuah pertanyaan yang tidak hanya perlu dijawab oleh kita para musisi tapi dijawab semua pelaku kreatif.

ketika panitia musik di “daerah” rela memberangkatkan hingga 13 orang kru dan musisi dengan “taraf nasional”. sedangkan dari Jakarta, untuk memberangkatkan 9 orang tim musisi daerah saja masih dinegosiasi

Di samping hal itu, isi positifnya adalah hal ini membuat semua musisi perlu meningkatkan daya tawar selain kemampuan teknis, dengan catatan, bahwa jika telah mempersembahkan kemampuan yang baik janganlah kita diperlakukan semena-mena juga, kawan-kawan. Dengan bisa menjawab tarif yang disepakati dengan jaminan bahwa kita bisa mendatangkan massa yang sepadan dengan kapasitas dan level acara, saya pikir perlakuan diskriminatif itu tidak perlu ada.

Kepindahan ke Jakarta ini juga tidak membuat saya melupakan label “asal dari Malang”. Asal-muasal bagi saya sangatlah penting karena semua memang berangkat kota asal, dalam hal ini Malang. Akan tetapi, saya tidak mempermasalahkan pelabelan yang cenderung regionalitas ini, karena kita bicara tentang musik bukan geografi. Saya rasa, jika kita memang punya kemampuan untuk membuat musik yang bisa didengarkan orang yang lebih luas, pelabelan itu merupakan hak penonton dan pendengar. Bebas!

Bagaimana impian pribadi? Hal ini pernah saya pikirkan ketika saya memutuskan bekerja sama dengan manajemen yang sekarang. Mereka bertanya tentang apa mimpi terbesar saya, dan ternyata setelah berpikir panjang, secara pribadi, mimpi saya hanya ingin mempunyai galeri seni dan guesthouse di kota Batu, Malang. Karena kedua hal itu mewakili dua hal penting dalam hidup saya. Pertama adalah passion dan kecintaan saya kepada dunia seni dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Kedua, yaitu dengan guesthouse, di masa tua nanti saya bisa bertemu dengan orang baru dan mengobrol tentang pengalaman mereka. Kemudian manajemen menanyai saya lagi tentang impian saya di musik, akhirnya saya menemukan bahwa saya cuma ingin mempersembahkan sesuatu hal yang belum pernah dipersembahkan oleh orang sebelum saya, yaitu “pertunjukan” dimana tidak hanya musik yang terlibat di dalamnya.

Saya sadar skill vokal saya yang masih jauh dengan penyanyi-penyanyi lainnya di Indonesia, namun saya punya hal lain yang ditawarkan yaitu kemampuan menulis cerita. Cerita itulah yang saya ingin kemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah pertunjukan komplit.

Kembali lagi ke pertanyaan, apakah harus pindah ke Jakarta untuk bermain musik? Saya bilang tidak perlu. Akan tetapi, perlu saya garis bawahi bahwa konsekuensinya adalah akan memakan waktu yang lama dan terkendala jarak. Kasarnya, kalau kalian ingin sekedar mencari uang, Jakarta memang masih menjadi primadona, tapi jika ingin berkarya saja, untuk musisi Malang,, tidak perlu pindah dari Kota Malang.

harus pindah ke Jakarta untuk bermain musik? Saya bilang tidak perlu.

Kota Malang itu menurut saya, di balik kesantaiannya masih diisi dengan orang-orang yang masih mencari arah, mau dibawa ke mana kota ini. Ya, seakan kultur muda Kota Malang masih mencari-cari jati dirinya. Dan terakhir, Kota Malang, tanpa berusaha membanding-bandingkan, masih belum sekuat kota-kota besar lain di Indonesia, yang memiliki kearifan lokal masing-masing sendiri yang mampu dipromosikan.

Terlepas dari hal itu, saya juga merasa berkewajiban berkontribusi kepada Kota Malang dengan tidak pelit berbagi koneksi terhadap teman-teman di Malang yang ingin juga meningkatkan kemampuan dan daya jelajah dirinya. Saya juga masih sering merekomendasikan musisi-musisi Kota Malang jika bertemu dengan orang-orang di Jakarta.

Terakhir, mimpi saya jika kembali ke Malang, adalah punya label musik untuk membantu musisi-musisi Malang untuk berkarya dan mendistribusikan karyanya ke khalayak ramai.

 

____

Sal Priadi adalah solois penyanyi asal Malang, yang kini telah menikah dan menetap di Jakarta. Baru merilis album debut Berhati (2020) di tahun ini.

 

 

1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Simak tulisan kerennya di sini […]

Eksplor konten lain Pophariini

Band Rock Depok, Sand Flowers Tandai Kemunculan dengan Blasphemy

Setelah hiatus lama, Sand Flowers dengan formasi Ilyas (gitar), Boen Haw (gitar), Bryan (vokal), Fazzra (bas), dan Aliefand (drum) kembali menunjukan keseriusan mereka di belantika musik Indonesia.  Memilih rock sebagai induk genre, Sand Flowers …

Nyala Aksara: 25 Tahun Grindcore Pioner Semarang, AK//47

Saat ini AK//47 berbasis di Oakland, California, Amerika Serikat. Namun, Indonesia, terutama Semarang, tidak dapat dilepaskan dari tubuh AK//47