Heals – Emerald
Tak dipungkiri, dirilisnya album baru dari grup asal Bandung, Heals tak berselang dengan dirilisnya album dari Polyester Embassy adalah kabar naik bagi scene musik di Bandung. Ini bukti bahwa Bandung tengah menggeliat secara artistik.
Namun tetap, urusan resensi adalah urusan selera subyektif. Namun terlepas dari resensi ini nanti, saya tetap akan mengacungkan jempol dari anak-anak Heals yang masih gatal untuk bermain dan meramu musik dan menghasilkan sesuatu yang patut dipertanggungjawabkan.
Ada banyak sebab mengapa secara artistik, musik Heals berubah di album keduanya ini. Mungkin saja, jeda enam tahun dari 2017 jadi salah satu faktor penting, selain dari meningkatnya referensi dan skill bermusik dan rekaman mereka. Asupan-asupan dari luar juga kegelisahan musisi akan pencapaian artistik juga bisa jadi elemen penentu mengapa album ini sulit untuk dicerna.
Bagaimana tidak, seseorang yang bukan fans akan dibuat bingung, bagaimana sebuah band nu gaze akan memasukkan instrumen saksofon di sana (coba tengok lagu “Oxymoron”) atau tiba-tiba ketukan tabla yang aneh (coba tengok “Walking Cliche”). Ini belum termasuk ketukan-ketukan ganjil yang hanya segelintir orang bisa masuk dan larut di dalamnya.
Mendengarkan Emerald, saya tidak melihat sosok Heals yang dikenal sebagai shoegaze/nu gaze. Di album ini, mereka menjadi mahluk-mahluk berbeda, yaitu musisi-musisi progresif kelas tinggi yang mencoba memeras sedemikian rupa daya berpikir dan sensitifitas rasa mereka akan musik. Apresiasi pendengar pun jadi nomor dua, yang penting adalah semua ide di kepala bisa dikeluarkan.
Sebelas lagu Heals di dalam Emerald butuh waktu dan perhatian khusus untuk diresapi. Tak seperti album Spectrum yang langsung kena begitu di tarikan pertama. Pada kenyataannya, Heals dan Emerald tidak sendiri, sadar atau tidak, dunia musik kita telah lama disodorkan dengan warna-warna musik prog-rock, math rock yang kesemuanya punya spektrum dan pola serta arsitektur musik yang mirip.
Saya memberikan jempol kepada bagaimana mereka menulis lirik lagu-lagu berbahasa Indonesia, sesuatu yang belum pernah mereka coba di sepanjang karier mereka. Coba dengar “Silau” dan “Air Emas”, salah satu favorit saya di album ini.
Bagaimana ketukan konstan yang saya rindukan, sayatan-sayatan gitar bersahut-sahutan di kiri kanan earphone, perkawinan ryhthm section yang dikemas groovy aduhai membuat lagu ini sedikit mengembalikan muatan Heals yang saya kenal, tentunya dengan unsur pembaruan di sana-sini.
Jangan-jangan Heals memang harus lebih banyak menulis lagu dengan bahasa Indonesia, dengan itu musik mereka bisa lebih straight-forward dan mengalir tanpa adanya elemen yang ganjil di sana-sini. Terlepas dari itu, this is just another good album.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …