Kampungan Versus Gedongan: Bagaimana Selera Musik Kelas Menengah di Indonesia Terbentuk?

Oct 18, 2018

Kampungan dan Gedongan

Achmad Albar berduet dengan Rhoma Irama di Istora Senayan jakarta 31 Desember 1977. Foto: Majalah Aktuil edisi 1978 | https://dennysakrie63.wordpress.com

Pada pertengahan 1970-an, terdapat dua genre musik yang saat itu tumbuh besar di Indonesia yaitu rock dan dangdut.. Musik pop dan rock yang datang dari Barat begitu dikekang di era Orde Lama karena Pemerintah Soekarno saat itu mencoba mengglorifikasi kebudayaan dan musik “tradisi” Indonesia. Selepas masa Orde Lama, musik rock tumbuh pesat dan kian digemari anak muda kelas menengah di Indonesia. Sedangkan dangdut adalah sebuah genre musik derivasi dari orkes melayu Deli yang dicampur dengan musik-musik India. Dulu tak ada istilah musik dangdut, yang ada hanyalah orkes melayu.

Tumbangnya Pemerintah Soekarno dan munculnya era Orde Baru di era Pemerintahan Soeharto membuat musik pop dan rock kembali bergeliat. Kemudian dampak dari oil boom pada tahun 1970-an membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat dan dianggap sebagai salah satu “Macan Asia”. Indonesia yang sedang pada masa tinggal landas (the take off) di bidang ekonomi membuat banyak bermunculan OKB (Orang Kaya Baru) atau golongan kelas menengah baru. Jumlah kelas menengah yang terus membesar jadi faktor penting dalam konstruksi identitas melalui konsumsi dan selera musiknya.

Musik “gedongan” memiliki citra positif dan terdidik. Mereka mampu membeli alat musik termutakhir dan rekaman-rekaman album baru dari luar negeri.

Pada masa kontestasi antara rock dan dangdut, muncul istilah “Kampungan versus Gedongan”. Muncul gesekan sosial di antara anak muda di Indonesia yang direpresentasikan melalui selera musik. Musik rock dan pop yang datang dari barat dianggap mewakili selera musik kaum “gedongan” atau kaum orang berduit. Biasanya konsumsi musiknya lebih kepada segala sesuatu yang gaul dan keren yang datang dari Barat. Mereka meniru dan mengidolakan band-band rock Barat. Band-band rock Indonesia kemudian mulai bermunculan seperti misalnya Godbless, The Giant Step, Panbers, dan masih banyak lagi. Musik “gedongan” memiliki citra positif dan terdidik. Mereka mampu membeli alat musik termutakhir dan rekaman-rekaman album baru dari luar negeri. Mereka orang “berpunya” (the haves).

Sebaliknya, ada istilah “Kampungan” sebutan untuk penggemar musik dangdut. Dangdut adalah musik pinggir jalan, warung, kampung, dan lapangan. Musik “kampungan” ini dianggap lebih vulgar dan seronok yang tercermin dari lirik dangdut. Penggemar musik dangdut datang dari kalangan orang tak berpunya (the have not) dan secara sosial termarjinalkan karena dianggap pemuda miskin, pengangguran, pemalas, pemabuk, suka berjudi, dan hal-hal negatif lainnya. Dari istilah tersebut bisa terlihat kontestasi selera yang terjadi di kelas menengah, terutama pada kaum muda Indonesia.

Pembentukan selera tersebut tentu tidak datang begitu saja. Salah satu pembentuk selera yang muncul pada masa itu adalah media massa cetak terutama majalah-majalah remaja dan koran-koran populer. Media massa punya peran besar dalam mengonstruksi identitas anak muda kelas menengah di Indonesia.

Dangdut adalah musik “kampungan” yang tercermin dari lirik dangdut. PenggemarNYA kalangan orang miskin, pengangguran, pemalas, pemabuk, suka berjudi, dan hal-hal negatif lainnya.

Artikel-artikel koran dan majalah sepanjang 1970-an, yang tidak akan pernah terbaca oleh sebagian besar penggemar dangdut, terselip di antara iklan produk-produk dari mulai alkohol mahal, hotel mewah, golf, dan peralatan elektronik canggih yang notabene tidak akan dikonsumsi oleh penggemar dangdut. Massa yang menjadi khalayak dangdut umumnya dibayangkan secara negatif sebagai tidak berpendidikan, bodoh, dan irasional. Mereka dipandang tidak mau bertindak bersama-sama secara terorganisir. Mereka dituduh selalu susah diatur dan beringas (Weintraub, 2012).

1
2
3
4
Penulis
Idhar Resmadi
Nama Idhar Resmadi sudah dikenal di kalangan jurnalis musik tanah air. Music Records Indie Label (2008), Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 (2011), dan Based on A True Story Pure Saturday (2013) adalah karya yang sudah ia rilis. Selain itu, ia juga merupakan peneliti lepas, pembicara, moderator, atau pemateri untuk bahasan musik dan budaya.

Eksplor konten lain Pophariini

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …