Kampungan Versus Gedongan: Bagaimana Selera Musik Kelas Menengah di Indonesia Terbentuk?
Stereotipe tentang kelas sosial penyuka dangdut itu mungkin tidak mudah hilang; kasar, seronok, dan vulgar. Perjuangan Rhoma Irama mencoba melawan stigma dangdut lewat dakwah tampaknya memang tidak mudah melawan stigma yang dibangun oleh media selama bertahun-tahun. Bahkan, kita bisa melihat bagaimana kontroversi “goyang ngebor”, “goyang itik”, dan sederet goyang sensasional lainnya seolah melanggengkan stigma-stigma terhadap penyanyi dangdut itu sendiri.
Konstruksi media soal “rock vs dangdut” atau “kampungan vs gedongan” ini ternyata berdampak pada gesekan sosial dan konflik horizontal di anak muda Indonesia. Maka tak aneh kemudian terjadi benturan-benturan fisik hanya gara-gara perbedaan selera musik. Penyanyi dangdut dilempari para rockers. Begitupula sebaliknya, para rockers acapkali dilempari para penggemar dangdut.
Tapi, untunglah ada internet, yang membuat Via Vallen, Siti Badriah, dan NDX AKA kini bisa diakses Tanpa harus kepanasan di lapangan-lapangan dangdut.
Majalah berita mingguan Tempo pernah mendapuk tahun 1979 sebagai tahunnya dangdut. Artikel panjang berbahasa Inggris berjudul “The Days of the Dang Duts” itu mengulas bagaimana sepak terjang dangdut yang kemudian mulai popular dan menantang dominasi musik pop dan rock dari Barat. Akibatnya, beberapa penyanyi pop dan rock pun sempat “menyeberang” untuk mengais rezeki dengan menyanyikan dangdut. Salah satu yang fenomenal tentu saja Ahmad Albar lewat album Zakia (1979). Konflik ini mereda ketika rock bersanding dengan dangdut di panggung yang sama. Ketika itu Godbless dan Rhoma Irama tampil bersama di satu panggung atas prakarsa Yapto Soerjomarsono dari ormas Pemuda Pancasila.
Pada masa itu media musik cetak rasanya punya peran sangat besar dalam membangun identitas anak muda kelas menengah di Indonesia karena satu-satunya akses informasi hanya melalui media massa. Terutama Majalah Aktuil yang punya peran besar dalam membangun opini tentang kedigdayaan musik rock di anak muda. Lewat permainan selera, kita bisa melihat bagaimana segregasi kelas menengah tercipta dari cara media mengonstruksi selera.
Keberlangsungan strategi selera ini juga terus dilakukan oleh media-media musik di Indonesia bahkan setelah Aktuil bubar pada 1981. Akhirnya, kalau saya perhatikan media-media musik yang muncul setelah Aktuil, kebanyakan adalah media-media yang menyuguhkan musik barat terutama musik pop dan rock sebagai bagian dari identitas budaya anak muda kelas menengah di Indonesia. Sebagai pengecualian, Tabloid Dangdut pernah terbit pada tahun 1995. Sayang, tidak bisa bertahan lama.
Tapi, untunglah ada internet, yang kemudian membuat Via Vallen, Nella Kharisma, Siti Badriah, dan NDX AKA kini bisa diakses dan dikonsumsi lebih mudah tanpa harus kepanasan di lapangan-lapangan dangdut. Karena sekarang selera bisa ditentukan oleh algoritma dan segala sesuatu yang viral di dunia maya. Ah, dasar kelas menengah ngehe!
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …