Kareem Soenharjo, Hikayat Pagebluk Si Nerdy Jaksel

Mar 4, 2021
BAPAK.

Saya akan pura-pura tidak kenal dengan Kareem Soenharjo. Tidak pernah berbincang atau duduk di sofa ruang tamu yang sama sebelumnya, mendengarkan ocehannya tentang Richard Watterson atau keberatannya terhadap sebuah bar di Jakarta Selatan yang dinilai tuli karena luput menyuarakan dukungan kepada perjuangan kulit hitam saat panasnya ribut-ribut aksi Black Lives Matter setahun silam.

“Padahal,” ujarnya. “Mereka mainin jazz dan soul hampir setiap malam. Itu jualannya. Jadi kayak cuma dieksploitasi doang.”

Saat itu juga sontak saya melontarkan cengir – dasar millenial justice warrior, dalam hati menggurau – sembari mengecapnya naif, meski juga memahaminya sebagai rasa belas iba yang tulus. Seumur hidupnya ia telah menggali serta memuja banyak artis kulit hitam, menjadikan karya mereka inspirasi, hingga mungkin pegangan hidup. Mungkin kalau bisa minta dilahirkan kembali, ia akan memilih wujud imigran Senegal yang tersesat sebagai klerk toko rekaman di Staten Island, New York City – kisaran ’94, dan berbagi sepocong Strawberry Cough dari balik meja kasir dengan seorang Negro-Italo yang akrab disapa Giorgio Suge Jr. Tapi lupakan. Selama bejibun paragraf ke depan, buat saya, Kareem Soenharjo adalah sama seperti orang lainnya, musisi 24 tahun yang tahun 2020 kemarin merilis sebuah album pandemik di bawah nama Bapak dan mengaku ‘hate everything’ menyangkut kasak kusuk single Dogma Milenial Provinsi Yggdrasil (DMPY).

Betapa saya selalu suka orang yang menulis dengan bensin kebencian. Itu menunjukkan sifat sensitif yang sesungguhnya. Ada kepekaan di sana, rasa geram dari ego tebal yang membuka dinding bagi kesedihan: ia membenci akibat muak digelayuti oleh kesedihan. Dan sering kali, satu-satunya jenis manusia yang patut diandalkan di dunia ini adalah mereka para seniman yang mampu melahirkan keindahan setelah tersungkur menderita. Terdengar klise memang, sekaligus tragis, sampai-sampai menjuruskan saya pada sebuah pertanyaan, seberapa tersiksanya jiwa Kareem Soenharjo sampai ia bisa membenci semua hal?

Malas dicap sok tahu, saya sadar tidak ada sosok yang lebih berkuasa menjawab itu selain dirinya sendiri, sehingga hal paling pantas yang bisa saya lakukan hanyalah menerka gejalanya melalui, tentu saja, musik-musik yang ia tulis. Segala tetek bengek album Miasma Tahun Asu serta sedikit teropong ke belakang melalui BAP. dan Yosugi, dua transformasi karakter Kareem Soenharjo lainnya.

Dengan tiga lokus musikal berbeda yang aktif dalam waktu hampir bersamaan, cukup untuk menunjukkan kalau ternyata pemiliknya memiliki ambisi serius; ia lapar, seolah intuisi yang membuat kepalanya terus gatal harus selalu diberi makan.

Rilisan teranyar Yosugi, proyek beatmaker terjun bebas miliknya, terbit April 2020 kemarin, sebuah EP silang dengan Greybox, produser lokal tongkrongan New York yang doyan main soul – lebih tepatnya, neo soul. Klop dengan ‘darah’ Negro Kareem Soenharjo. Padahal sebulan sebelumnya, EP ‘iseng-iseng baru dapet alat’ berjudul unbothered. unmastered baru saja dilepas. Dan masih dalam periode berdekatan, di antara keduanya ia berulah dengan Radio Kareem, mixtape beat berkedok siniar monolog yang membuat saya terbayang pada intro Return To The 36 Chambers The Dirty Version-nya Ol’ Dirty Bastard.

Sedang tidak ketinggalan BAP. – persona lo-fi yang menelurkan Monkshood, album hip hop paling progresif dari generasinya di mana ia merentet sefasih Negro moker – merilis single comme des garcons (dalam Bahasa: seperti anak lelaki) yang menilap ketukan pedaw lagu Terbunuh Sepi-nya Slank, untuk kemudian di-gilscottheron-kan dengan versi bius tiga suntik air liur Bunda Ifrit. Nodding-off-and-off.

BAPAK.

Hitam putih, BAPAK.

Anak ini aslinya nakal, saya suka. Ia seperti tidak kapok punya masalah, menggelapkan lagu itu via Bandcamp lalu memaksa kita yang sakaw setelah memutarnya beruntun secara gratis lebih dari lima kali untuk membeli seharga $1. Bisa jadi Bimbim bakal melepas tuntutan setelah tahu lagunya dibikin sekeren itu, dan kemudian berusaha ikhlas memahami bahwa seni curi mencuri-rombak tempel kultur sampling di hip hop adalah sebuah tindak penghormatan. Lagipula apalah artinya pundi sedolar bila dibandingkan dengan mansion sarang kupu-kupu di gang sempit Jalan Potlot.

Pengalaman menyerempet masalah yang sebenarnya dulu pernah dialaminya kala meremiks No Fruits For Today milik Sore dengan sentuhan jungle yang janggal: Keith Moon kepelintir ketamine pada drum sample: $1 yang direstui Ade Paloh, tapi harus kena gertak dulu sama Mondo Gascaro. . .

Melihat daftar produktivitas Kareem Soenharjo di sepanjang paruh awal 2020 kemarin membenamkan saya pada ucapan seorang jurnalis musik (seorang milenial, berusia di bawah 30) Shindu Alpito yang mengatakan, sulit bagi kita untuk menemukan lagi lagu-lagu baru di era streaming yang nantinya mampu awet dalam usia panjang, alias enteng ditinggalkan seiring keinstanan yang diberikan teknologi untuk merilis karya.

Katanya, “Musisi hari ini melihat karya bukan lagi sebagai monumen tapi cuma sebatas media pelepasan ekspresi. Pengerjaan sebuah album sudah tidak lagi dianggap suci sehingga berujung pada hilangnya status pendengar setia, sebab perputaran musik baru yang datang begitu cepat dan berganti.”

Mendengar itu saya, sialnya, refleks merespons dengan pepatah yang sangat ‘OK boomer’: “Jangan-jangan semakin maju jaman, semakin mundurlah kita.” Suatu ungkapan yang diserap dalam tata arogansi khas seorang penyair ilegal yang dulu pernah meminta presiden Amerika Serikat untuk tampil bugil di televisi: “Musik sekarang sudah seperti sampah saking banyaknya.” — Dylan, 79 tahun, bau tanah, sudah siap mati. Dan sebelum kalian mengonfirmasi status dinosaurus milik saya, saya akan menyangkalnya terlebih dahulu.

Di era ketika musik membludak seperti gunungan sampah, satu-satunya kecacatan yang bisa dilakukan oleh seorang fans musik adalah merasa lelah untuk mau menggali. Kejebak mentok ke situ-situ lagi. Di era kebyar internet ketika para musisi merilis karya sesering anak kucing mengeluh, satu-satunya cara terbaik untuk menyaring air kencing mereka adalah dengan sering-sering melepeh.

Kita sedang berada di tengah jurang generasi yang coba dijembatani lewat cara menyakitkan: adaptasi mutlak wabah pandemi. Bukan hanya bagi mereka golongan tua yang kelabakan, tapi juga anak muda yang kobam pengetahuan. Kita semua adalah korban dari penafsiran ulang nilai-nilai yang dianggap problematik. Bingung bercampur optimis, jadinya toksinis. Itulah yang terjadi ketika setiap langkah yang diambil lebih banyak mengandung keraguan dibanding keluwesan – tidak tahu ke mana lagi harapan harus dilacurkan.

BAPAK.

BAPAK. dan seragam hitam putih

Dan itulah alasannya kenapa sedari awal saya sangat banyak melepeh. Atau bisa dikatakan, saya melepeh musik baru sesering menelannya. Sebagian besarnya sampah trendi, sedang sisanya dilema plastik. Musik baru – angkatan 2015 ke sini dan ditulis oleh musisi berusia di bawah 25 – selalu membuat saya merasa beruntung bisa dinikmati tanpa harus dimiliki. Nilainya sama dengan setitik nila di dinding lama-lama menjadi bukit. Begitulah cara saya mensyukuri kelahiran generasi milenial digital hari ini. Zilenial, silakan mengantre di belakang.

Taruhlah saya keliru, tapi Kareem Soenharjo mungkin tidak terlalu peduli soal kelanggengan lagu-lagunya di masa depan. Mengingat ia selalu bisa menulis lagu baru setiap hari dan merilisnya ke publik sesuka hati kapan pun ia mau. Yang artinya ia tidak terpaku pada lagu-lagu tertentu. Bergerak secara underground merupakan nirwana bagi setiap musisi yang tidak suka diatur. Ia memegang kontrol penuh atas eksistensi dan royalti. Penggemarlah yang mengikuti egonya, bukan sebaliknya. Bisa jadi lagu-lagu paling keren miliknya seperti Samsara Pt. II atau Malam atau Goya yang mencangkok gesekan biola Willie The Pimp-nya Frank Zappa tidak akan lagi dimainkan di panggung dalam kurun empat tahun ke depan. Atau kalau mau dibalik, siapakah yang sekiranya masih mengingat lagu-lagu Miasma Tahun Asu di tahun 2027, ketika dia terus ketimpa katalog musik barunya yang bertambah setiap saat?

‘Aku Milenial, Aku Madesu.’     

(Masa depan suram). Itu bunyi dari sampul belakang kaset Monkshood. Kareem Soenharjo menyambut ironi dalam memandang hidup, perpaduan kebencian yang sempurna, pemuda pesimis namun ambisius, dan insting satirnya mengatakan sesuatu yang dapat memprovokasi ignoransi seperti Francis Bacon (sang filsuf, bukan si pelukis) pernah mencibir kita semua dari kalender 4 abad silam: harapan adalah menu sarapan yang baik, tetapi buruk dihidangkan untuk bersantap malam.

Puji Tuhan, saya sudah lama membanjur harapan masuk ke dalam lubang kloset, dan merasa lebih baik setelahnya. Jadi ketika menerima judul Miasma Tahun Asu sebagai hidangan makan malam yang terlambat saya malah merasa pesimis. Tapi pesimis adalah optimis yang tersembunyi. Keahlian memeliharanya merupakan keistimewaan terakhir yang dimiliki anak muda, selama mereka tetap bisa menjaga temperaturnya tidak mendidih sampai naik ke level sinis sakit gigi.

Tahun pagebluk 2020 ini memang kayak anjing, lebih tepatnya bintil pantat anjing yang hitam. Udara yang berembus bernanah, beraroma busuk, penuh ketegangan dan prasangka buruk. Mendengar suara batuk saja sudah bisa bikin orang melotot padahal yang tertuduh cuma gugup kopi yang diminumnya kemanisan. Huh! Setiap orang merasakannya, tertekan mentalnya, meluapkan kejengkelan berbasis frustrasi. Sulit akhirnya untuk tidak mendengus benci ketika terlalu banyak umpan kail yang mengincar di permukaan, dan kita dipaksa berenang mengikuti arus seandainya mau selamat. Saya memilih untuk bersinis dan berpesimis ria demi menyelamatkan kebebasan yang sebentar lagi kiamat. Demented Forever.

***

Kareem Soenharjo memasuki 2021 dengan perasaan aneh yang bercabang terhadap pencapaian Miasma Tahun Asu. Album itu tercantum di hampir setiap daftar album terbaik domestik 2020 yang ada. Sebagai seorang Leo, akunya, ia tersanjung, tentu saja. Bersyukur, terkejut, sekaligus berhasil memprediksi, pun skeptis. Secuil dari dirinya curiga alasan albumnya terpilih karena merupakan opsi termudah yang bisa diambil oleh para penulis musik lokal, terutama setelah NME Asia menerbitkan artikel terkait album tersebut. Tanpa bermaksud mendiskreditkan pihak mana pun, ia menganggap panen pengakuan yang dituai di dalam negeri itu adalah sebuah buntut kejadian, ibarat reaksi berantai, efek domino dari publikasi NME. Menunjukkan betapa bangganya ia atas apa yang telah terucap di sana:

‘Miasma takes a similarly frantic sonic trajectory, characterised by uneven, almost non-linear pacing. ‘Pity Me’ a downbeat abstract instrumental, slots in between ‘Jon Devoight’ and ‘Dogma Milenial Provinsi Yggdrasil’, the album’s two hardest-rocking songs. ‘Miasma’ almost resets after the latter, taking an acoustic detour on ‘Hijrah’ before a slow multi-song build-up to a cathartic and unexpectedly optimistic end.’ — Azzief Khaliq

KAREEM SOENHARJO MEMASUKI 2021 DENGAN PERASAAN ANEH YANG BERCABANG TERHADAP PENCAPAIAN MIASMA TAHUN ASU. ALBUM ITU TERCANTUM DI HAMPIR SETIAP DAFTAR ALBUM TERBAIK DOMESTIK 2020 YANG ADA.

Mendengar hal itu, saya – yang menemuinya pada suatu sore yang cerah di sebuah kedai kopi di depan sarang babi di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan – mencoba mencecarnya. “Kalau menurut gue bukan karena itu (artikel NME). Miasma Tahun Asu udah banyak diomongin orang dari pas keluar. Dan sosok elo, bahkan sejak jaman Yosugi, terus BAP., udah dianggap prodigal. Jadi apapun yang elo bikin adalah magnet buat scene lokal.”

Respons balasannya serak, lembut sifat kerendahan hati. “By the end of the day, i was just doing my job. I was just reflecting the year.”

“Atau sebenarnya elo enggak percaya lagi sama pendapat pers musik?” Saya mengambil jarak sebentar. “Yang lokal, terutama.”

No, not really. I don’t know. Kita ada di jaman ketika konsumen juga bisa kasih review yang insightful. Kayak Needle Drop, si Anthony Fantano itu bagus banget. Gue sudah sampai di titik di mana orang kalau nge-review, ‘ayolah taik-taikin!’ I wanna get a reaction from you. Isn’t that what you want from a music review, most of the time? Soalnya orang sekarang itu antara cuma bilang bagus, atau netral. If you are music critic, then criticise it. Isn’t that your job? Gue capek-capek bikin musik bukan supaya elo bilang okay-okay saja.”

Saya mengangguk-angguk mengendus kalimat barusan, sambil pergelangan tangan menggosok-gosok dagu. Hmmm . . . Baiklah, anak muda. Kalau benar itu yang kau mau, saya akan melakukannya dengan hati yang sangat senang dan terbuka. Siapkan munchies dan minuman panas.

“Elo mau tahu apa hal yang paling menyebalkan dari Miasma Tahun Asu?” sambut saya segera.

Yeah, sure, man.” Ia tertawa. Matanya menyipit nerdy, terbingkai lensa dua mili. “Spit it.”

“Lima menit tak berguna lagu Pity Me.”

“Ummm . . . you better get me some good reason.”

“Itu pemanasan yang berlebihan buat masuk ke DMPY. Pamer intelek, pamer betapa menyedihkannya orang yang bikin. Luapan rapuh yang bikin eneg. Dan membosankan untuk ukuran lagu yang sok-sokan khusyuk instrumentasi. Banyak basa-basi,” kali ini giliran saya yang tertawa, ia menyimak.

“Maksud gue,” lanjut saya, “di intro album elo udah kasih petikan panjang di Black Heron; semacam musik pengiring kotak pandora yang dibuka. Isinya sirkus, jumpalitan, ruwet, cacing kepanasan, Om – NOLA – Torche – Boris – Mars Volta, ditabrakin jadi satu. Karedok Prog. Walaupun bertele-tele, petikan ‘Acoustic Alchemy ’ yang elo bikin di intro berasa punya fungsi – atau mengandung makna, biar sok iye, sebagai tanjakan dramatis sebelum geber kerusuhan.”

Matanya tak berpaling, dia tahu saya belum selesai. “Terus di ujung Jon Devoight elo beri lagi itu instrumentariot. Panjang, bergulung-gulung, kesirep-sirep. Tapi tetap keren. Malah menurut gue, sirkus di bagian terakhir lagu itulah potongan terbaik experimental rock yang sebenarnya ingin Bapak tuju. Disatukan dengan bagian pertamanya, utuhlah sudah. Hard rock & roller. Nerdy flamboyan punya gaya, jazz, solo gitar. Miring! Mau sejelimet apapun kedengarannya, jadi enggak penting lagi. Tomorrow People Ensemble. Kalau bukan karena lagu itu gue enggak bakal ada di sini, rela memangkas jam molor cuma buat minum kopi sama satu lagi bocah Flying Lotus lainnya di skena indie followers.”

“Habis itu Pity Me,” pancing saya berikutnya, “lalu buyar! Selalu kena skip, dan pantas kena skip setiap kali muter Miasma. Ambien – ambeyen sedih bikin biji melorot. Ah, pantek. Dalam kasus lagu itu, patetik. Mengasihani diri sendiri & menghancurkan diri sendiri. Yang begitu-begitu mending dicukupkan aja deh, simpen lebihannya di hard disk.”

Saya meliriknya sekilas, mengintip reaksi menjerang-jerang yang diharapkan, sebelum menutup pemenuhan permintaan kritik yang terpuji ini dengan satu kebiasaan sosial yang buruk, yang sama sekali tidak elegan: mengobrak-abrik sampah.

“Elo tahu arti kata ‘derana’?” tanya saya.

“Apa, tuh, man?”

“Tabah menderita. Itulah elo sedang membelai-belai kesengsaraan di Pity Me. Oh, it’s me, i’m drowning on my own tears hu-hu-hu. Gue juga suka bengongin Maggot Brain atau semua melodi Elliot Smith atau King Krule di mana-mana, di pesta lebaran keluarga, lagi b’day bash, acara reunian bullshit, di mobil lagi nunggu lampu merah, sambil pelesiran naik sepeda, kena semprot gurita, dan tetap bisa sesenggukan dalam situasi paling kontras sekalipun, merayakan kepedihan. Hufff. Tapi elo ngerti maksud gue, kan?”

Kepalanya menggeleng, wajahnya meraut tak berdosa.

“Kampret,” entak saya. “Pity Me mengganggu jalannya album yang sebenarnya sudah menyek-menyek tanpa harus ada lagu itu; Hijrah buat nenek elo, Angel at My Table, mungkin buat mantan elo, atau skit nyokap di outro. Gue enggak habis pikir kenapa mesti dibikin jadi lebih buruk lagi. Apa kesedihan membuat elo bangga atau membuat elo manja?”

Seketika matanya tertangkap tengah menatap tajam ke depan menembus bingkai dua mili yang saya kenakan. “Well, damn,” desahnya. Ia coba mendinginkan suasana dengan memberi jeda, tapi saya bisa lihat dari jerat matanya ia mengeras. Kemudian semuanya berlangsung begitu cepat. “Fuck you, man!” cetusnya pelan dan datar sambil mengangkat gelas kopi, merobek tutup plastiknya, dan sontak mencelatkan sisa genangan di dalamnya ke arah dagu saya yang terkaget-kaget, basah kena guyur.

He-Haw!

BAPAK.

Miasma Tahun Asu, debut album dari BAPAK.

Sekarang saya menyesalinya. Karena andaikan tidur saya cukup pagi itu dan sedang tidak kehabisan tablet sehingga menyumbat keluwesan verbatim, pasti semua ocehan sengit soal Pity Me di atas sangat mungkin bisa kejadian. Minus semburan kopi, tentunya. Kareem Soenharjo terlalu awas untuk berani melakukannya. Kalau pun saya benar-benar berhasil menyinggungnya, paling banter ia akan membalas dengan umpatan serupa, namun cuma tercakap dalam hati. Meski begitu saya sama sekali tidak menyangkal satu pun pendapat yang tersampaikan di sana. Itu lagu yang, kalau mau disampaikan dengan gaya edgy Engsel (English-Jaksel) terucap seperti ini: Nyet, itu the cheapest rudimentary song yang saking sia-sianya, keberadaannya almost ruined the whole great album.

Tapi percaya atau tidak, Kareem Soenharjo sengaja melakukannya. Terkadang ia puas menulis lagu-lagu yang memang diniatkan untuk mengusir pendengar. Tidak heran jika salah satu konsep utama Miasma Tahun Asu adalah mengacak susunan lagunya agar kita merasa terganggu. Labil transisi roller coaster, dari kencang ke pelan vice versa, menerjuni rawa sludgy, lompat ke ilmu eksak Omar Rodriguez, longkap ke Hella – Dillinger Escape Plan, masuk adopsian Madvillain (rust in pissed, MF Doom), mengerang skramz trengginas, meresapi terompet Coltrane, dan kelar di sapuan jazz menyeberang noise.

Let me say in English aja,” kata dia, “people want the music they listened to, to reflect what they want. I choose to reflect the music as something that is, apa adanya. Gue bikin album ini kayak, ‘you gazing to the abyss and the abyss gazing to you.’ Kalau elo merasa enggak nyaman dengerinnya, mungkin you need to listen to it again to understand, because maybe you didn’t get my point.”

Kalau bisa dibuat susah kenapa harus cari yang gampang? Tidak ada itu yang namanya biasa-biasa saja. Usahakan selalu tidak tertebak. Menyimak debut album Bapak membawa kita mengagumi sebuah kompleksitas yang oleh orang-orang dari jaman Denny Sakrie disebut prog, sementara generasi Muhammad Hilmi atau Raka Ibrahim mungkin lebih suka menggunakan istilah math. Beda-beda tipis. Sama-sama rumit. Apa pun itu, hal tersebut tidaklah penting, klasifikasi genre tidak lagi dibutuhkan di sini. Penjubelan beragam genre di Miasma Tahun Asu mudah disimpulkan dengan semantik rock eksperimental.

Kekuatan terselubung album itu terletak pada nomor An Angel at My Table III yang memperlihatkan kemampuan mengecoh seorang Kareem Soenharjo. Ia menulis sesensitif Jeff Buckley dan mengaransemen secanggih Ben Weinman. Dramer Bapak, Bagas ‘Encek’ Wisnu Wardhana, menjamin setiap lagu yang dibikin Kareem Soenharjo sudah pasti bagus, kord gitarnya juga selalu aneh. Ditambahkan, “Dia jenius. Dan karena egonya tinggi, jadinya sering otoriter,” ujar Bagas.

Secara ofisial Bapak merupakan band pertama yang dilakoninya serius. Personelnya dijumputi dari teman-teman sekitar tongkrongan. Bagas direkrut lewat proses audisi sayembara video ketika mencari dramer untuk BAP., mengirimkan cover version dua lagu, salah satunya swingin’ ghost note mematikan milik Yussef Kamaal. Katanya, “Dua hal yang gue lihat dari seorang dramer itu kecepatan dan konsistensi. Kalau elo bisa konstan mainin hal yang ribet sekalian bisa gonta-ganti motif, itu udah cukup.”

Gebukan badak Bagas, yang juga banyak bermain di sederet band hardcore/thrash semisal Tarrkam, Morgensoll, Total Jerks, Jimi Jazz, memungkinkan badai keotik berkecoh sinkopasi ganjil ala Buddy Rich menggelegar sempurna. Air drumming ketukan patah-patah pun tak bisa dihindari.

Kevin Samuel Silalahi diajak bermain bas karena dianggap paling punya keselarasan selera musikal, sebagai sesama penggemar hip hop dan arsitek lanskap suara (dengan moniker Whoosah), ia produser kolaborator sejak era Yosugi dan BAP. Kebanyakan gocekan ngawang di Miasma tercipta dari ide-idenya, termasuk Pity Me. Dan cabikan basnya adalah salah satu hal paling buas yang menyeruak di sana. Terakhir Alfath Arya. Tukang gasak fuzz personel Kaveman dan proyek one man band FLWR Pit yang didatangkan demi menggalang lapisan gitar ultra berisik, teman duet stoner rock yang sepadan menjaga visi old school Bapak tetap mengakar rumput.

BAPAK.

Di studio, BAPAK.

Para kompatriot itu cuma diberi kisi-kisi singkat tentang musik yang akan ditulis bersama berkisar pada dua band saja: The Mars Volta dan Gospel. Selebihnya tergantung hasil kutatan di studio yang kadang habis sampai 7 jam sehari. Jon Devoight jadi yang pertama rampung setelah menjalani 8 sesi penggodokan. Lagu hard rock tersolid tahun anjing 2020 yang diaransemen slebor di mana Kareem Soenharjo memainkan solo janggal bak tiga gitaris Lynyrd Skynyrd yang sedang teler kafein dileleh jadi satu.

Judulnya diambil dari Jon Voight, bintang Midnight Cowboy, sebuah film yang menceritakan tentang sepasang pria; seorang pecandu kere dan seorang gigolo amatir yang coba mengejar American Dream di kota New York. Liriknya sendiri ditulis dengan hajat antitesis. “It’s actually an anti-drugs song,” akunya. “Dari kecil i’m always being fascinated with the drugs documentaries or movies. It’s not like i want to do it, it’s like a weird obsession. And it makes me scared. Anykind of your addiction itu bakal selalu ada di bayangan elo. You might not see it, but it’s always there. Drugs is a part of life, your addiction too, but you gotta remember it does not always define you.”

Bila Miasma Tahun Asu harus dijelaskan dalam adjektiva, itu berarti Pure, Honest & Destructive. Tiga kata yang bisa dipadatkan dalam satu lagu berbunyi Dogma Milenial Provinsi Yggdrasil. Pure karena kita bisa mendengar nafasnya terengah bahkan sebelum lagunya dimulai. Menunjukkan beban misantropik seorang pemuda menyaksikan dunianya berjalan terhimpit di antara ketakutan dan kemarahan. Kemudian memuntahkan ironi; sering kali Honesty hanya bisa berguna jika dia bernada sinis. ‘Aku muda, aku tak berguna/Aku menari di atas sentimen berduka/Dari pagi, sampai malam/Kupijak kakiku pada bumiku yang banal.’ Dan Destruktif ketika tahu hal yang ingin saya kerjakan seusai mengulang lagu itu sebanyak dua kali adalah . . .     

. . . mengulanginya lagi. Kali ini diiringi oleh tendensi konyol ingin menghapus seluruh 3224 kata yang sudah saya ketik untuk merangkai artikel sepanjang ini. Percuma. Toh, kalian juga tidak akan tahan membacanya, kan? Rasa frustrasi di lagu itu beresonansi dengan kuatnya sampai-sampai berhasil menelanjangi kepercayaan diri seseorang yang terlalu primitif untuk cukup bodoh menelan lirik-lirik lagu rock secara literal. Tapi beruntung dalam sekejap saya dapat menguasai diri, sehingga sewaktu kalimat pada verse kedua masuk: ‘Aku sudah tua, aku ingin berguna/Aku bertapak di atas sentimen masa muda/Tiada pagi, tiada malam/Kugali bumiku selagi tunggu kiamat,’ hal yang saya lakukan berikutnya adalah meludahkan uranium berbentuk reak ke depan monitor sambil menyelesaikan paragraf yang sungguh renta, sia-sia dan sentimental ini.

DMPY mengambil perspektif dualitas ‘tua & muda’ yang menjadi sumber ketakutan serta kekuatan Kareem Soenharjo. Dogma dirinya adalah mantra bagi generasinya. Generasi Ketiak, katanya, yang terjepit di sebuah periode yang terus melaju dengan atau tanpa adanya keikutsertaan mereka. “Kami ini generasi tengah di mana ada inovasi teknologi, ada advancement in maybe agriculture atau budaya. Gue merasa generasi ini akan menjadi generasi yang tertinggal,” ujarnya.

Lagu itu ditulis sebagai cerminan milenial dalam melihat kehidupan, yaitu dengan menertawakan tragedi. “It’s masking your sadness dengan tarian di atas sentimen berduka,” lanjutnya.

Provinsi Yggdrasil mengacu kepada pohon kehidupan yang menghubungkan sembilan dunia dalam kosmologi Nordik. Penggunaan analogi mitologi merupakan sebuah ketertarikan tersendiri. Ia memanfaatkannya sebagai petunjuk untuk menjawab segala macam misteri kehidupan. “Yggdrasil adalah suatu paradoks. Kita tinggal di zaman serba maju, we’re going to the better future, we’re sending rocket to Mars. But for me deep down, it’s too late for the Millenials to be anything about it because the generation before us susah untuk melepaskan legacy mereka buat kami lanjutkan. Dan generasi setelah kamilah yang bakal merasakan buah usaha dari generasi sebelumnya. Kami milenial just stuck on global warming and climate change,” jelasnya.

Di Orpheus LIVE From The Underworld giliran mitologi Yunani yang diadaptasi. Lakon bucin dari seorang musikus dan penyair bernama Orpheus, anak pasangan dewa sungai Oiagros dan dewi seni Kalliope. Kareem Soenharjo menafsirkan sekilas maksud lagu itu, “Ketidakpastian itu harus dijalani. And with love everything is uncertain. Especially in love. Love is so complicated, menurut gue. Most of the time you don’t know where you headed, but i guess that’s the beauty of it. Sometimes you just have to take the risks for love. Ini lagu tentang kehilangan sesuatu, and the regrets that come after it.”

Satu kata lagi yang pas disandingkan dengan Miasma Tahun Asu, sensitif. Itu yang membuat lagu-lagunya berkarang personal. Semi otobiografikal. Dimulai dari ayahnya. Nama ‘Bapak’ dipetik dari sosok yang pertama kali mengajarkannya bermain gitar; kord per kord lagu Wish You Were Here-nya Pink Floyd, dan membelikannya CD Led Zeppelin ketika anak bungsu lelakinya menunjuk sebuah adegan van film School of Rock yang memasang Immigrant Song. Mengilhami Zeppelin di waktu dini secara langsung mengasah bakat prog rock-nya. Kita tahu Zeppelin menulis lagu-lagu rock 70-an yang relatif lebih sulit (baca: imajinatif) dibanding, katakanlah AC/DC atau Black Sabbath atau Rolling Stones. Mengutip Chuck Klosterman dalam bukunya Killing Yourself To Live: ‘Led Zeppelin sounds like who they are, but they also sound loke who they are not. They sound like an chiosaur. They sound like Hannibal’s assault across the Alps. They sound sexy and sexist and sexless. They sound dark but stoned; they sound smart but dumb; they seem older than you, but just barely. You will hear the opening howl of Immigrant Song, and you will imagine standing on the bow of a Viking ship and screaming about Valhalla.’

Apa Kareem Soenharjo merasakan hal yang sama seperti itu ketika naluri bocah SMP-nya tersentak begitu mendapati lengkingan Robert Plant merudapaksa telinganya? Yang jelas sejak saat itu hidupnya tak sama lagi. Ia mengalami apa yang disebut dengan momen rock & roll epiphany, dan mulai membentuk band. Tapi kunci dari selera musiknya hari ini, hingga mampu menghasilkan Miasma Tahun Asu terpantul dari kalimatnya berikut ini, “Dorongan buat untuk bikin lagu datang dari bokap, tapi dorongan untuk jadi berbeda selalu datang dari kakak gue.”

Adalah seniman erotika, Ula Zuhra Soenharjo yang menularkan referensi ekstrem kepadanya. Saat semua orang tengah menggandrungi Lamb of God atau Devils Wear Prada, ia pilih mengikuti band yang lebih minor, Pig Destroyer atau Nechropagist. Dari kakaknya pula ketertarikannya terhadap dongeng mitologi mengelotok.

Hal itu menumbuhkan mentalitas orisinal yang pernah dikoarkannya dalam sebuah wawancara dengan Kudeta Mag. “I see a lot of kids who are more confident in (putting out) their art, but I don’t see a lot of idealism and mentality in them. Posers die faster. Be Weird, it gets the job done. Strive for longevity rather than short fame,” jawabnya tatkala diminta memberi opini soal perkembangan kultur kreativitas anak muda Jakarta.

kunci dari selera musiknya hari ini, hingga mampu menghasilkan Miasma Tahun Asu terpantul dari kalimatnya berikut ini, “Dorongan buat untuk bikin lagu datang dari bokap, tapi dorongan untuk jadi berbeda selalu datang dari kakak gue.”

Saya memintanya mengelaborasi pernyataan tersebut sekarang. Menurutnya, manfaatkanlah teknologi untuk menulis inovasi musik, bukan sekadar meniru, apalagi melakukan plagiasi. Tidak ada lagi yang orisinal di bawah gelincir matahari, memang, tapi sadarilah bahwa tujuan berkarya adalah untuk menantang peradaban budaya yang sedang kita tinggali saat ini. Hidangkan sesuatu yang baru ke atas meja.

“Seperti kata Nina Simone,” ujarnya, “tanggung jawab setiap seniman itu hadir untuk bisa mencerminkan sejarah generasi mereka. Kalau bukan kita, lalu siapa yang akan melakukannya? Lebih mudah buat orang-orang untuk mempelajari kehidupan masa lalu melalui musik daripada membaca buku sejarah.”

Dengan emosi yang begitu telanjang Kareem Soenharjo khawatir kalau lagu-lagunya ternyata salah diintepretasikan oleh para pendengarnya sebagai mantra negatif. Ia sadar, adalah sebuah ironi untuk memahami album ini hanya dalam spektrum yang sepenuhnya positif. Miasma Tahun Asu dicetak di atas prasasti kerapuhan generasi milenial, angkara kebingungan, ketakutan dan kesedihan menatap masa depan, pil depresif, tantrum kesehatan mental yang membuat mereka cengeng, uber sensitif. Tapi justru di situlah pokok albumnya, musik Bapak ditulis sebagai terapi eksorsis bagi diri Kareem Soenharjo.

“Pada akhirnya gue cuma ingin menjalani kehidupan yang sederhana. Biar musik gue yang berantakan,” ucapnya.

Okay, folks, teman-teman indie-shit yang berbahagia. Kita sudahi saja permainan ini. Kegilaan dan kebencian telah memberikan saya kata-kata: ‘We do something with our life what we can do and then we die.’ Ingat, jangan pernah terlalu gampang menyenangkan publik dan berkompromilah sesedikit mungkin, because you can’t be something that you are not.

___

Penulis
Rio Tantomo
Musisi dan penulis musik. Pernah bekerja sebagai jurnalis musik di pelbagai majalah, termasuk Trax Magazine. Hingga saat ini aktif menulis di beberapa media musik nasional.

Eksplor konten lain Pophariini

Bank Teruskan Perjalanan dengan Single Fana

Setelah tampil perdana di Joyland Bali beberapa waktu lalu, Bank resmi mengumumkan perilisan single perdana dalam tajuk “Fana” yang dijadwalkan beredar hari Jumat (29/03).   View this post on Instagram   A post shared …

Band Rock Depok, Sand Flowers Tandai Kemunculan dengan Blasphemy

Setelah hiatus lama, Sand Flowers dengan formasi Ilyas (gitar), Boen Haw (gitar), Bryan (vokal), Fazzra (bas), dan Aliefand (drum) kembali menunjukan keseriusan mereka di belantika musik Indonesia.  Memilih rock sebagai induk genre, Sand Flowers …