Kelompok Penerbang Roket bersama Eka Annash – Aksioma

Jun 9, 2023

Sebelum membahas album kolaborasi Kelompok Penerbang Roket dan Eka Annash, saya memahami terlebih dahulu apa makna dari judul Aksioma yang mereka usung. Menurut laman Wikipedia, aksioma adalah klaim yang dapat dilihat sebagai kebenaran dan bisa terbukti dengan sendirinya tanpa perlu pembuktian.

Apa sebenarnya kebenaran yang ingin disampaikan oleh KPR dan Eka dalam album Aksioma? Saya pun mencoba telaah satu per satu dalam ulasan ini yang dimulai dari visual hingga lirik lagu-lagu di album karena mungkin bisa menjadi pembahasan yang menarik.

Unsur visual yang ditawarkan sampul album Aksioma dengan gamblang menjawab pertanyaan di paragraf kedua. Saya menduga, jepretan dari fotografer Raka Syahreza tersebut menampilkan KPR dan Eka sedang berpose di depan Monumen Nasional (Monas) tersebut untuk mewakili kota asal keempat musisi.

Berangkat dari kesimpulan foto sampul Aksioma, rasanya KPR dan Eka ingin memberikan potret kebenaran yang mereka rasakan di Kota Metropolitan. Saat menyimak 10 nomor dalam album, terbukti saya seperti sedang menyaksikan pameran karya foto esai yang menangkap fenomena nyata di Ibu Kota.

Saya mulai mendengarkan album Aksioma dari nomor pembuka berjudul “Persimpangan”. Lagu ini menceritakan rasa bimbang seseorang terhadap pilihan hidupnya. Fenomena yang kerap kita temukan di lingkungan sekitar, jika tinggal di Jakarta.

Meski bercerita tentang kebimbangan, “Persimpangan” hadir dengan nuansa musik yang ngebut, tanpa basa-basi, disertai riff gitar rock 70-an yang sudah menjadi ciri khas KPR. Saat mendengarkan lagu, jelas saya langsung teringat dengan ekspresi musik dari band pimpinan Almarhum Lemmy Kilmister, Motorhead.

Setelah mendengarkan nomor pertama, saya sengaja melewatkan “Jaman Edan” dan “Enam Kaki di Bawah” karena merasa nomor berikutnya lebih menarik untuk dibahas. Ketika mendengarkan paruh awal lagu keempat, “Tobat”. Saya merasa agak kecewa karena harus menghadapi kenyataan, bahwa para personel KPR dan Eka yang merupakan entitas rockstar di Indonesia, harus menyerah sama umur dan meninggalkan kenakalan.

Datang kecewa, datang pula perasaan lega saat mendengarkan bagian chorus “Tobat” yang ditutup dengan kalimat “Sungguh ingin tobat. Tapi aku ingin lagi,” yang menunjukkan, mereka di usia sekarang enggan menyerah dengan kondisi absolut karena memang itu lah yang mereka cari.

Balik ke topik KPR dan Eka yang menyampaikan kebenaran lewat Aksioma, pastinya tak bisa lepas dari drama pekerja yang mencari nafkah di Jakarta. Drama ini mereka rangkum dalam nomor berdurasi 2:34 menit bertajuk “HURUHARA”.

Gitaris Rey Baker membuka “HURUHARA” dengan tiga akor sederhana, disambut curahan hati Eka tentang siklus hidup pekerja. Lirik yang disampaikan terasa sangat dekat dan akurat dengan kejadian di dunia nyata. Lagu menjadi bukti nyata aksioma itu sendiri.

Dalam lagu “Topeng Monyet” yang ditempatkan percis setelah “HURUHARA”, Eka menunjukkan kemampuannya dalam menulis lirik yang brilian. Ada dua alasan saya berpendapat demikian.

Pendapat pertama saya tentang lagu, pemilihan topiknya yang jarang saya temukan di lagu kritik sosial nasional. Lagu membahas tentang perlakuan kejam terhadap monyet yang kerap dijadikan ‘hiburan’ bagi masyarakat.

Alasan yang kedua adalah bagaimana Eka bisa memutar diksi ‘monyet’ secara harafiah menjadi kiasan tentang para pemerintah yang ia rasa kurang maksimal dalam menjalankan tugasnya. Maka, “Topeng Monyet” menjadi lagu favorit saya dari segi penulisan lirik dalam album.

Aksioma ditutup dengan 2 lagu berjudul “Cari Mati!” dan sebuah lagu yang berjudul sama dengan album. KPR memainkan musik bertempo cepat yang mengiringi Eka menyebutkan nama-nama zat yang bisa memicu kematian di lagu “Cari Mati!”. Penulisan lirik ini mengingatkan saya terhadap The Upstairs dalam lagu berjudul “Selamat Datang Di Tubuh Kami” yang ada dalam album Katalika (2012).

Sementara lagu yang terakhir, “Aksioma” hadir sebagai konklusi dari 9 lagu yang ada sebelumnya. Terlepas dari kenyataan yang sudah disampaikan oleh KPR dan Eka, akhirnya keputusan hidup para pendengar ada di tangan masing-masing karena jelas, “Ini hidupmu” dan “Ini waktumu”.

Lewat balutan musik mentah dan lirik yang lugas, kisah yang coba disampaikan oleh KPR dan Eka dalam album Aksioma cukup mudah diterima oleh pendengar. Walaupun begitu, saya merasa album ini belum bisa mengalahkan konsep yang ditawarkan rilisan sebelumnya, yaitu album mini Galaksi Palapa (2018).

Di sisi lain, KPR yang sudah berkelana jauh ke luar angkasa dengan tema fiksi dan terkesan jauh dengan ‘kehidupan bumi’ di Galaksi Palapa, akhirnya kembali ke daratan untuk menyampaikan cerita nyata yang dekat dengan kehidupan sehari-hari di Aksioma.

Kehadiran Eka, musisi yang lekat dengan kehidupan urban di Jakarta memang cocok dengan konsep Aksioma. Kendati demikian, saya merasa nada vokal yang dinyanyikan Eka dalam lagu-lagu di album bisa disampaikan juga oleh John Paul Patton (Coki) selaku vokalis utama KPR tanpa perlu berkolaborasi dengan Eka.

Pada akhirnya, album kolaborasi antara KPR dan Eka ini tetap menjadi rilisan yang seru untuk didengarkan dalam berbagai kesempatan. Semoga saya bisa berjodoh menyaksikan kolaborasi mereka di atas panggung.


 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.

Eksplor konten lain Pophariini

Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo

Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang …

Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi

“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11).      Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …