Kolaborasi Tahun ini: Sepatu Compass x Kelompok Penerbang Roket

Mar 4, 2020

Beberapa saat lalu, jagat media sosial ramai dengan kolaborasi terbaru antara sepatu Compass dan Kelompok Penerbang Roket (KPR) yang secara khusus mengeluarkan tiga versi sneakers Kelompok Penerbang Roket. Setiap versinya didesain dan menggambarkan kepribadian masing-masing personil KPR yaitu Coki, Rey, dan juga Vikri. 

Pop Hari Ini berkesempatan untuk mewawancarai Aji Handoko Purbo selaku Creative Director sepatu Compass dan juga manajer KPR, Rizma Arizky yang bercerita banyak tentang kolaborasi ini. Yang merupakan lanjutan dari kampanye “Meroket Bersama Compass” pada perayaan Sumpah Pemuda Oktober 2019 lalu.

Gitaris Rey Marshall merupakan salah satu orang yang membawa sepatu Compass ke dalam band KPR. Setelah membeli Compass pada awal 2019 lalu, Rey mengajak semua personel lain dan crew dari band yang berdiri sejak 2011 ini untuk membeli sepatu Compass yang kemudian bisa dibilang menjadi seragam panggung mereka. 

Dari situ terjadilah kolaborasi pertama Compass dengan KPR. Dengan membuat seri KPR yang tidak diperjualbelikan, hanya dikhususkan bagi para crew dari KPR. Walaupun begitu, mereka sempat melelang sepatu kolaborasi tersebut untuk kemudian disumbangkan kepada para veteran perang pada peringatan Sumpah Pemuda lalu.

Sepatu Compass Rey Marshall / Instagram: @penerbangroket

Untuk kali ini kolaborasinya dibuat lebih spesial berdasarkan kepribadian masing-masing personil KPR. Ornamen petir menghiasi sepatu Compass yang desain oleh Rey yang diambil dari logo di pick gitar yang menjadi identitas panggungnya. Compass versi Viki sang drummer cukup sederhana. Berwarna abu-abu muda dan dengan detail material kulit bercorak ular. Serta untuk Coki dihadirkan dengan material korduroy berwarna biru dengan penggunaan fur sintetis pada logo Gazelle serta penggunaan warna pink feminin pada tali untuk memberikan kesan 70an yang “funky”. 

Sepatu Compass JP Paton / Instagram: @penerbangroket

Lebih lanjut, sepatu Compass yang berkolaborasi dengan Kelompok Penerbang Roket ini dijual terbatas sebanyak 900 pasang saja yang penjualannya dilakukan berbarengan dengan tur di 5 kota yang diumumkan di H-1. 

Ornamen petir menghiasi sepatu yang desain oleh Rey. versi Viki Berwarna abu dengan detail material kulit bercorak ular. untuk Coki korduroy biru dengan fur sintetis pada logo Gazelle serta penggunaan warna pink

“Ini semacam bentuk terima kasih Compass ke KPR yang udah support banget. Dari Rey yang ngomporin semua personel sampai crew KPR pada beli semua.” Aji menambahkan. Ditambahkan Rizma bahwa meski saat ini sedang berkolaborasi KPR bukan brand ambassador Compass. “Nah, kerennya itu, kita gak diiket kontrak sama sekali sama Compass, jadi kita masih bebas mau pake Vans, atau Converse. Konsep mereka udah global banget. Kayak misalnya Levi’s mau disandingkan pakai baju apapun, sepatu apapun ya bebas. Soalnya ada beberapa brand yang gak membolehkan pakai brand tertentu.”

Sepatu Compass Vikranta / Instagram: @penerbangroket

 

Kesan Eksklusif dan Limited

Sepatu Compass sendiri sejatinya sudah ada di Indonesia semenjak tahun 1998. Namun pada saat itu minat masyarakat terhadap brand lokal belum ada, karena sneakers impor yang masih mendominasi. Saat itu pun bisa dibilang Compass hampir mengalami keterpurukan pada tahun 2000an.

Sepatu Compass pada akhirnya mulai bangkit lagi sekitar tahun 2018 setelah melakukan pemugaran merek (rebranding) dan hadir dengan membawa tema Local Pride Indonesia yang tentunya juga diimbangi dengan kualitas sepatu yang tidaklah main-main.

Yang kemudian membuat nama Compass semakin meledak adalah ketika pertama kalinya  berkolaborasi dengan Brian Notodihardjo

“Kami pernah diundang ke pabriknya Compass. Itu sepatu quality controlnya gila banget. Bahkan, kalo ada tinggi sepatu yang beda 1 cm aja ga bakalan lolos. Jadi Compass tuh seketat itu menjaga kualitas sepatunya.” Ujar Rizma, sang manajer KPR.

Hadirnya sepatu lokal dengan harga terjangkau untuk kualitas sebagus itu tentu menarik perhatian para penyuka sneakers. Terlebih ditambah dengan rasa kebanggaan tersendiri karena memakai produk buatan Indonesia. Nama Compass lambat laun (bahkan bisa dibilang begitu cepat) melambung. Banyak penggemar sneakers dari seluruh Indonesia mulai mengincar sepatu ini. Setiap kali Compass meluncurkan warna tertentu, hampir pasti sepatu tersebut langsung terjual habis.

Yang kemudian membuat nama Compass semakin meledak adalah ketika pertama kalinya  berkolaborasi dengan Brian Notodihardjo. Seorang model dan influencer sekaligus brand assortment dan social media manager untuk Liberate Obdurate Contentious atau yang lebih dikenal dengan L.O.C. Sepatu Compass yang berkolaborasi dengan Bryant kemudian diberi nama Compass Bravo yang hanya tersedia sebanyak 100 pasang dan terjual dalam waktu hanya 90 menit saja di Jakarta Sneaker Day 2019.

Compas Bravo, berkolaborasi dengan Brian Notodihardjo / dok. Compass

Compass kemudian seolah menembus batas dan seolah menjadi pelopor kesuksesan brand dalam negeri yang benar-benar laku di pasaran. Setiap kali Compass menjual sepatunya bisa dipastikan akan selalu sold out. Apalagi ketika Compass menjual edisi-edisi khusus sepatunya dan dijual secara terbatas hanya beberapa ratus pasang saja.

Dari situ pulalah bermunculan para reseller yang kemudian menjual sepatu Compass edisi khusus secara tidak wajar. Katakanlah harga sepatu yang tadinya sekitar 300 sampai dengan 400 ribuan saja, bisa dijual hingga 2 hingga 3 jutaan. Sungguh fantastis.

Cibiran pun kemudian mulai berdatangan ke sepatu Compass. Banyak yang berkomentar bahwa sepatu lokal ini sudah bagus namun sayangnya dijual secara terbatas. Bahkan mereka menyalahkan Compass atas tingginya harga yang di luar nalar ketika sepatu tersebut dijual kembali oleh reseller.

Usut punya usut, Compass sendiri sampai saat ini hanya mampu membuat 4500 pasang sepatu setiap bulannya. Itu semua dikarenakan jumlah SDM yang berkualitas di Compass memang tidaklah terlalu banyak, apalagi jika membandingkan dengan permintaan pasar yang sangatlah banyak. Compass sendiri bukannya tanpa solusi. Mereka sudah sempat mengekspansi pabrik sepatu mereka ke Semarang dan juga menambah SDM mereka. Namun, hasil yang didapat tidaklah maksimal. “Terdapat sekitar 1500 sampai 1800 pasang lebih sepatu yang tidak lolos quality control. Karena memang seketat itu Compass menjaga kualitas produk mereka. Padahal kayanya kalo dilihat sekilas sebagai orang awam kayanya gak ada bedanya.” Tambah Rizma.

Compass sampai saat ini hanya mampu membuat 4500 pasang sepatu setiap bulannya. apalagi jika membandingkan dengan permintaan pasar yang sangatlah banyak

Terkait dengan cibiran pedas dari para konsumen, Aji mengaku bahwa itu semua sudah di luar kendali mereka. Aji mengatakan “Kita pun bahkan ga dapet keuntungan dari harga resell tersebut. Banyak yang salah tafsir dengan fenomena tersebut.” Lebih lanjut Aji menerangkan “Bahwasanya kolaborasi ga sekedar cuma tempel logo belaka, tapi gimana kita nyelem lebih dalem dalam merespon identitas dari kolaborator, cerita apa yg mau diangkat, sampai eksekusi yang emang matching sama ceritanya. Genuine.”

Bagi Aji sendiri yang merupakan pelaku di industri kreatif terutama sebagai produsen sneakers menerangkan bahwa sebenarnya konsumen Indonesia masih perlu diedukasi “Sebenernya kalau ngomongin kolaborasi, sesimpel emang gua mau jadiin ini sebuah karya yang bisa jadi sebuah collectible item. Value sepatu justru lebih dari sebuah produk yang dikampanyekan dengan cerita tertentu, justru nilai sentimentil audience yg mungkin bisa jadi faktor utama harga resell naik. Kita mah apa adanya aja, modal berapa, persentase ke kolaborator berapa, kaga dapet apa-apa lagi selain dari situ.”

Menurut opini dari saya sendiri sebagai penulis, konsumen Indonesia, terutama yang menyukai sneakers memang sudah semestinya lebih banyak lagi belajar soal sneakers game ini. Melihat bagaimana beberapa brand sneakers merk luar yang juga dijual dengan edisi terbatas karena melakukan kolaborasi. Harga resell sepatu itupun bahkan bisa meningkat berkali-kali lipat. 

Compass masih berusaha untuk menangani masalah klasik mereka, yaitu keterbatasan dalam memproduksi jumlah sepatu

Dari kacamata saya sendiri, banyak konsumen yang berkilah bahwa sepatu lokal tidak sepantasnya dihargai dengan harga selangit oleh reseller. Pertanyaannya, memangnya kenapa kalau brand buatan Indonesia dihargai mahal? Apakah harus selalu brand luar yang dihargai mahal? Pertanyaan kedua adalah mengapa yang disalahkan adalah Compass sebagai produsen? Padahal mereka sudah menyediakan sepatu berkualitas. Terkadang masih banyak kritik yang salah alamat yang seharusnya ditujukan kepada reseller tetapi malah berujung ke produsen. Padahal sekali lagi, Compass tidak mendapatkan keuntungan sepeserpun dari para reseller.

Bagaimanapun juga Compass masih tetap berusaha untuk menangani masalah klasik mereka ini, yaitu soal keterbatasan mereka dalam memproduksi jumlah sepatu, “Kita sih udah tahap scaling up, emang ga gampang butuh proses banget. Perlahan namun pasti, kita gamau terburu-buru dengan meninggalkan poin utama kami, kualitas.” Tandas Aji. 

Mereka sudah sempat mengekspansi pabrik sepatu ke Semarang dan menambah SDM. Namun, hasil yang didapat tidak maksimal.

Bagi Aji, harusnya Indonesia tumbuh kompetisi yang sehat. Bukannya yang saling menjatuhkan jika suatu brand sedang terkendala masalah, “Kalau mau berkompetisi, berkompetisi yang sehat. Gimana? Kita berkompetisi secara kreatif, bikin design yang bagus, bikin campaign yang bagus, bikin story yang relevant, pasti seru jadinya kalau semua brand bikin produk yang keren-keren, masyarakat akan banyak pilihan sepatu keren.”

Selain itu para konsumen pun juga harus terlibat aktif untuk ikut mengembangkan industri sepatu ini, bukannya langsung dijatuhkan ketika ada masalah. “Industri Indonesia harus sehat, apalagi persepatuan. Yang bisa protect brand Indonesia ya rakyatnya sendiri, butuh semua komponen untuk bikin movement ini jalan. Jadi ya emng harus bareng-bareng.” Tutup Aji.

 

____

Penulis
Jonathan
Cuma sok tahu tentang musik. Suka foto-foto stage juga.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …