Lebih Dari Tiga Lagu, Ini Yang Kamu Perlu Tahu Dari Merch Band Idolamu
Jika harus tahu tiga lagu agar bisa pake kaos band itu konyol, maka kamu akan makin kesal atas temuan dari tentang fenomena ini. Survei terbaru yang diselenggarakan Rush Order Tees, menemukan bahwa penggemar musik percaya bahwa kamu harus mengetahui setidaknya 10 lagu dari sebuah band sebelum memakai merch band mereka. Tapi bagi penggemar musik folk, K-pop dan jazz, setidaknya kamu harus tahu 13.
Survei ini melibatkan 1.017 pemilik kaos band tentang kebiasaan pembelian dan pendapat mereka tentang merch musik. Sejak adanya pandemi, pertumbuhan “ekonomi nostalgia” dan sosial media, pasar T-shirt vintage terutama band jadi sangat booming. Ini membantu banyak pihak, terutama para pebisnis yang tak lagi bisa menggantungkan pendapatan dari jual beli langsung.
Sebelum pandemi, band yang melakukan tur di Amerika dan Eropa memperoleh antara 10% dan 35% dari pendapatan tur mereka dari barang dagangan. Namun dengan adanya larangan berkumpul, band hanya mengandalkan pendapatan mereka dari merch atau streaming. Tapi bagaimana dengan Indonesia? Apakah kaos band punya peran yang sama dalam pendapatan band?
Survei terbaru yang diselenggarakan Rush Order Tees, menemukan bahwa penggemar musik percaya bahwa kamu harus mengetahui setidaknya 10 lagu dari sebuah band sebelum memakai merch band mereka. Tapi bagi penggemar musik folk, K-pop dan jazz, setidaknya kamu harus tahu 13
Ekosistem Merch Band
Ekrig, vokalis dari band Avhath, menyebutkan bahwa nyaris 80 persen pendapatan Avhath berasal dari penjualan band. Ini mengapa pada Januari tahun ini ia mengembangkan model bisnis baru yang disebut Pure Evil Merch, yang merupakan lanjutan dari divisi merch dari bandnya. “Untuk penghasilan band penjualan merch sangat mempengaruhi, karena royalti ngga bisa diharapkan,” katanya.
Sejauh ini meski populer di kalangan anak muda, pendengarnya Avhath jumlahnya belum banyak untuk bisa menyokong keberlanjutan band. Meski pada 2022 Ekrig banyak panggung, tapi hal itu masih belum mencukupi. “Dari Avhath itu di belakang ya banyak pihak yang dihidupi. Mulai dari anggota band, road manager, sound engineer, team,” katanya. Dari konser saja untuk cost production, masih belum mencukupi. “Honor kami juga ngga terlalu besar dibanding band lain yang uda gede,” katanya.
Ada rantai produksi yang berarti ada keterlibatan banyak orang saat sebuah merch dibuat. Ia tidak hanya menghidupi band atau label rekaman, tapi orang-orang yang ada di sekitarnya. Mulai dari admin penjualan, penjahit baju, tukang sablon, pengemas baju, jasa pengiriman barang, hingga toko penjual itu sendiri.
Ekrig, vokalis dari band Avhath, menyebutkan bahwa nyaris 80 persen pendapatan Avhath berasal dari penjualan band. Ini mengapa pada Januari tahun ini ia mengembangkan model bisnis baru yang disebut Pure Evil Merch
Saat ini ada 21 orang yang hidup dan mendapatkan penghasilan dari Avhath dan Pure Evil Merch. Rafly salah admin marketplace Pure Evil Merch, adalah salah satunya. Tentu jika dibandingkan dengan industri fast fashion seperti H&M atau Uniqlo, level Pure Evil Merch masih setara industri rumahan atau UMKM. Ini mengapa mereka harus efektif untuk bisa menekan ongkos produksi.
Divisi bisnis Avhath ini dikelola secara profesional. Ekrig yang memiliki pengalaman di bidang retail mengaku bahwa pelayanan konsumen yang baik, akan membentuk kepercayaan. Misalnya, jika ada bahan yang rusak, Rafly akan menerima pengembalian barang untuk diperbaiki, bahkan jika sudah lewat masa pembelian. Komunikasi melalui Discorg dilakukan secara real live, komplain yang masuk diterima, dan usulan diperhatikan serius.
Pola Produksi Merch
Dalam bisnis apapun, kepercayaan akan membuat konsumen setia, mereka yang setia akan membeli lagi produk yang dijual. Metode ini yang dikembangkan Steve Jobs di Apple. Kepercayaan dan komunikasi dari Pure Evil Merch membuat merch Avhath jadi salah satu yang paling diburu, tidak hanya karena basis penggemar mereka yang fanatik, tapi juga mutu produksi yang baik. Ekrig mengaku bahan merch mereka harus lulus standarisasi personal dari anggota Avhath.
Saat sebuah merch dibuat ia tidak hanya menghidupi band atau label rekaman, tapi orang-orang yang ada di sekitarnya. Mulai dari admin penjualan, penjahit baju, tukang sablon, pengemas baju, jasa pengiriman barang, hingga toko penjual itu sendiri
“Kita (anggota Avhath) punya standar personal. Lalu diterapkan pada merch sendiri misalnya pakai bahan yang heavyweight, lebih tebal,” katanya. Ekrig menyebut kaos yang tipis akan lebih cepat jadi “kaos tidur”. Produk yang dipakai Pure Evil Merch untuk Avhath, juga telah bersertifikat OEKO-TEX®. Artinya kain yang digunakan telah diuji untuk zat berbahaya untuk melindungi kesehatan si pemakai.
Label OEKO-TEX® menyatakan bahwa setiap komponen produk, mulai dari kain hingga benang dan aksesori, telah diuji secara ketat terhadap daftar hingga 350 bahan kimia beracun.
Awalnya Ekrig mengaku tidak tahu jika kain tebal yang dipakai itu telah memiliki standarisasi yang aman lingkungan. Ia hanya fokus pada kualitas yang diharapkan bisa awet saat dipakai. ”Kalo heavy weight akan lebih long lasting, aman karena tebal. Mungkin ini juga alasan kenapa kaos vintage masih laku dan mahal, ya karena bahan bagus,” katanya.
Industri Fast Fashion ditengarai masih menjadi sumber limbah ini. Saat ini dalam tataran global, industri pakaian berkontribusi sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia setiap tahunnya. Lalu apakah industri band merch di Indonesia menyumbangkan hal serupa?
Mutu produk fashion yang baik akan membuat pakaian yang kita beli memiliki umur yang panjang. Semakin baik mutu kain yang dipakai, semakin panjang usia kaos yang kita miliki. Saat ini Indonesia memiliki problem serius dalam tata kelola limbah fashion. Co-Founder dari Our Reworked World, Annika Rachmat menyampaikan data temuannya, yaitu sebanyak 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia, satu juta ton di antaranya jadi limbah.
Industri Fast Fashion ditengarai masih menjadi sumber limbah ini. Saat ini dalam tataran global, industri pakaian berkontribusi sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia setiap tahunnya. Lalu apakah industri band merch di Indonesia menyumbangkan hal serupa?
“Kalau limbah sisa kain, biasanya dari pihak sablon dan jahit nggak dibuang. Tapi dibuat isian boneka,” kata Vidi Nurhadi, pendiri Maternal Disaster dan Disaster Records, label rekaman yang berbasis di Bandung. Dalam praktiknya, saat mengelola produk baik kaos maupun jaket, Vidi berusaha memastikan bahwa limbah yang dihasilkan akan dikelola dengan baik. “Kita sampai minta agar sablon yang dipakai itu water based, biar nggak merusak lingkungan,” tambah Vidi.
Dalam praktiknya, saat mengelola produk baik kaos maupun jaket, pendiri Maternal Disaster Vidi Nurhadi, berusaha memastikan bahwa limbah yang dihasilkan akan dikelola dengan baik. “Kita sampai minta agar sablon yang dipakai itu water based, biar nggak merusak lingkungan,” tambah Vidi.
Tapi mengapa ini dilakukan? Jika targetnya adalah keuntungan, apa yang dilakukan oleh Ekrig dan Vidi tentu tidak ekonomis. Karena produk yang dibuat dengan standar ramah lingkungan memiliki biaya produksi yang lebih tinggi. Toh ngga banyak penggemar band yang peduli terhadap isu lingkungan ini. Kuncinya adalah pada kesadaran. “Ya secara sadar kita mah mengambil keputusan ini,” kata Vidi.
Tidak hanya berhenti pada isu limbah tekstil yang diharapkan bisa dikurangi atau dikelola secara baik, Vidi juga memastikan bahwa para pekerja yang terlibat dalam produksi merch dibayar dengan baik. Sejauh ini Vidi masih bekerja sama dengan kolektif teman-teman terdekat untuk memproduksi pakaian. Meski sebenarnya bisa, Vidi menolak untuk melakukan monopoli dengan membuat usaha konveksi jahit dan sablon sendiri.
Dalam produksi merch band misalnya, ia melibatkan pihak lain, terutama teman terdekat. Selain untuk berbagi kapital, usaha ini juga dibuat agar bisnisnya bisa stabil. Dengan hanya fokus pada retail, Vidi tak perlu pusing mencari kain, melakukan sablon, atau proses pengemasan. “Dibagi ke temen, sablon sama jahitnya,” kata Vidi.
Jika targetnya adalah keuntungan, apa yang dilakukan oleh Ekrig dan Vidi tentu tidak ekonomis. Karena produk yang dibuat dengan standar ramah lingkungan memiliki biaya produksi yang lebih tinggi. Toh ngga banyak penggemar band yang peduli terhadap isu lingkungan ini
Saat ini industri pakaian yang fokus pada fast fashion masih memberlakukan perbudakan modern. Banyak anak-anak dan wanita yang dibayar murah dengan praktik yang eksploitatif. Vidi melakukan survey dengan rekanan bisnis untuk memastikan bahwa para pekerja yang ikut dalam produksi maternal bisa dibayar dan bekerja dengan layak.
Band dan Label Rekaman dalam produksi Merch
Saat produksi merch, Vidi secara terbuka mengatakan bahwa pembagian keuntungan antara label dan band adalah 70 banding 30 persen. Misalnya satu produksi kaos berharga 70 ribu, lalu kaos dijual seharga 170 ribu, band akan mendapatkan keuntungan 30 persen. “Kalau di kami (Disaster Records), keuntungan diberikan di awal sebulan setelah produksi terlepas dari laku atau nggak. Tujuannya biar lebih mudah dalam pembukuan dan pelaporan saja,” katanya.
Praktik Vidi ini memang beresiko apabila merch tidak terjual, maka ia akan mengalami kerugian. Meski demikian pada prakteknya, label rekaman yang memproduksi merch secara mandiri, biasa membagikan keuntungan per penjualan. Misalnya dalam satu bulan mereka laku 10 piece, maka keuntungan dari 10 piece itu yang dibagikan.
Delpi dari Greedy Dust, menyebut bahwa di label rekamannya pembagian laba dari keuntungan adalah 80 persen untuk label dan 20 persen untuk band. Meski terlihat kecil dan menguntungkan label, tapi pihak band mendapatkan keuntungan bersih. Sementara label harus membayar pekerja yang ada. Mulai dari admin yang mencatat pesanan, melakukan pengemasan, pengiriman, hingga komunikasi dengan pembeli.
Delpi dari Greedy Dust, menyebut bahwa di label rekamannya pembagian laba dari keuntungan adalah 80 persen untuk label dan 20 persen untuk band. Meski terlihat kecil dan menguntungkan label, tapi pihak band mendapatkan keuntungan bersih
Label akan mencari kain, menghubungi penjahit, mencari desainer visual untuk merch, mencari sablon, melakukan pemesanan, dan mengeluarkan modal di awal yang jumlahnya tidak sedikit. Delpi dan Vidi sebagai pemilik label rekaman yang mengurus seluruh proses produksi tentu mengeluarkan energi, waktu, dan uang. Hal ini yang membedakan mereka dengan Ekrig yang mengelola secara mandiri merch dari Avhath.
Pada praktiknya, baik dari Disaster Records atau Greedy Dust, proses pembuatan merch biasanya dibahas bersama band. Salah satu pihak akan menawarkan untuk mencetak merch yang biasanya dijual bersama album fisik. Sejauh ini, menurut Vidi, penjualan rilisan fisik seperti kaset dan CD mengalami penurunan penjualan. Ini mengapa penjualan merch bisa membantu banyak untuk band. “Kemarin saat rilis merch Haul, mereka bisa beli alat dari penjualan,” katanya.
Sejauh ini, menurut Vidi, penjualan rilisan fisik seperti kaset dan CD mengalami penurunan penjualan. Ini mengapa penjualan merch bisa membantu banyak untuk band. “Kemarin saat rilis merch Haul, mereka bisa beli alat dari penjualan,” katanya
Delpi menyebut bahwa di Greedy Dust, pihak label tidak pernah ikut campur dalam produksi karya musik artis/band. Namun label memiliki andil cukup dominan dalam segi visual yang berpengaruh banyak di Artwork cover dan merchandise. “Proses brainstorming pihak kami (Greedy Dust) menanyakan terlebih dahulu ada keinginan atau konsep yang ingin disampaikan dalam visual tidak? Selanjutnya jika ada kami memberikan suggest berupa referensi serupa lalu eksekusi sketsa. Sketsa disepakati bersama baru eksekusi akhir,” katanya.
Desain yang dipakai, baik Greedy Dust, Disaster Records, maupun Pure Evil Music biasanya dari ilustrator di luar label. Ini memungkinkan adanya ekosistem antara musisi, pemilik label rekaman, dan seniman grafis. Relasi bisnisnya tergantung kesepakatan. Ada Ilustrator yang menjual desain secara putus, ada yang memanfaatkan sistem royalti dari penjualan merch.
Dari kampanye rilisan merch di media sosial, semua label yang menjual merch, memberikan informasi secara terbuka tentang siapa ilustrator yang terlibat dalam pembuatan merch. Beberapa illustrator, seperti Sidney Islam, membuat merch berdasarkan respon terhadap karya dari band.
Desain yang dipakai, baik Greedy Dust, Disaster Records, maupun Pure Evil Music biasanya dari ilustrator di luar label. Ini memungkinkan adanya ekosistem antara musisi, pemilik label rekaman, dan seniman grafis.
Sejauh ini hanya Pure Evil Merch yang menggarap serius kampanye marketing dari rilisan merch. Berbeda dengan Greedy Dust yang masih sangat organik. Hal ini memang disesuaikan dengan karakter dari label rekaman itu sendiri. “ Strategi marketing kami masih sangat organik. Sedangkan untuk mempertahankan cashflow di subsidi silang dengan bisnis saya yang lain,” kata Delpi.
Untuk skala produksi juga masing-masing label merilis jumlah merch berbeda antara satu sama lain. Hal ini karena keterbatasan usaha konveksi dan jasa sablon, misalnya di Bandung, untuk satu kali produksi 100 piece membutuhkan 1 bulan. Karena usaha rumahan, hal ini juga membatasi jumlah merch yang bisa dibuat. “Biasanya kalau lagi ramai, seperti saat mau lebaran, mereka (konveksi) mendatangkan orang dari Garut buat produksi,” kata Vidi.
Sementara di Greedy Dust, rata-rata produksi hanya terbatas 3 lusin atau 36 piece. Jumlah ini juga dipengaruhi oleh nama besar band dan pengaruh mereka di ruang publik. Untuk band-band baru, kebanyakan label masih fokus pada Pre Order untuk menghindari kerugian.
Dalam ekosistem band, rilisan merch berupa kaos merupakan tidak hanya sebagai upaya bertahan hidup, tapi juga bentuk solidaritas. Beberapa label seperti Grimloc Records mengupayakan penjualan merch band mereka untuk aksi kepedulian bersama
“Cuma ada beberapa band yang demandnya cukup tinggi karena produksi kami berdasarkan jumlah pra-pesan. Paling banyak Dongker – Bertaruh Pada Api total dari keseluruhan desain kurang lebih 700 pieces,” kata Delpie.
Dalam ekosistem band, rilisan merch berupa kaos merupakan tidak hanya sebagai upaya bertahan hidup, tapi juga bentuk solidaritas. Beberapa label seperti Grimloc Records mengupayakan penjualan merch band mereka untuk aksi kepedulian bersama. Disaster Records bersama Maternal pernah melakukan penggalangan dana untuk biaya sakit almarhum Yockie Suryoprayogo.
Tentu ada yang menganggap penjualan merch sebagai usaha sell out, atau cari cuan dan hal ini adalah respon wajar. Tapi pada praktiknya tidak semua artis atau label fokus pada lini bisnis ini. Musik tetap jadi pertimbangan yang paling utama dari sebuah label untuk mengajak mereka bergabung. “Saya pribadi teh ngga begitu peduli atau ingin buat maksa orang beli merch. Kalau suka musiknya, suka artworknya, ya silakan saja, tapi ngga akan ngemis juga,” kata Vidi.
Kaos atau merch dalam bentuk apapun jelas membantu band untuk bertahan hidup. Di tengah royalti rendah dari layanan streaming, keterbatasan jumlah konser, atau meningkatnya inflasi segala bentuk pemasukan tentu bisa membantu band untuk rekaman. Meski demikian tidak semua label fokus pada penjualan merch, beberapa hanya menjadikan bisnis ini sebagai upaya pembiayaan kreatif dari musik yang mereka cintai itu sendiri. Dan itu layak diberi penghormatan, sebesar-besarnya.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Di Balik Panggung Serigala Militia Selamanya
Seringai sukses menggelar konser Serigala Militia Selamanya di Lapangan Hockey Plaza Festival hari Sabtu (30/11). Bekerja sama dengan Antara Suara, acara hari itu berhasil membuat program pesta yang menyenangkan untuk para Serigala Militia tidak …
Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta
Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara …