Lika-Liku Ilustrator Musik Independen Lokal

Sep 6, 2018

https://www.instagram.com/p/Bh3sKn8lztc/?utm_source=ig_web_copy_link

Di Indonesia, kelindan antara rupa dan musik sebetulnya sudah lama terjadi. Sejak industri musik di Indonesia juga hadir, kebutuhan akan rupa musik juga turut mengikuti. Setidaknya dari apa yang saya amati, perubahan secara gaya (style) juga teknologi turut mempengaruhi. Pada tahun-tahun 1960-an-1970-an tampaknya gaya/karakter khas perupa belum lah terlalu muncul. Yang lebih ditonjolkan secara visual adalah sosok musisi/band itu sendiri. Sehingga desain-desain rupa yang ditampilkan pun kebanyakan berupa fotografi band. Meski sudah ada kebutuhan akan logo dan tipografi (font) seperti Guruh Gipsy dan Keenan Nasution. Teknik fotografi itu boleh dikatakan cukup dominan kalau memperhatikan sampul-sampul album band era 1960-1970-an. Teknik fotografi ini menggantikan komposisi huruf dan gambar blok yang mendominasi beberapa gaya penerbitan di era pemerintahan Soekarno.

Memasuki tahun 1990-an, di ranah musik independen, kebutuhan akan perupa musik terlihat sudah muncul. Kebutuhan akan poster gigs, sampul album, kaus band, dan zines turut mempengaruhi kemunculan para perupa musik ini. Didorong dengan kian masifnya pertumbuhan distro dan clothing serta sejumlah kampus desain. Tak kalah pentingnya juga kehadiran informasi global yang dibawa oleh album impor dan majalah impor – terutama majalah musik dan skate impor – yang memberi banyak pengaruh pada gaya perupa musik. Beberapa karya rupa memang terlihat sangat terpengaruh sekali perupa-perupa musik dari luar negeri seperti Pushead, Arik Roper, Andy Warhol, Roy Lichtenstein, Raymond Pettibon, dll. Gayanya memang lebih banyak “meniru” para perupa musik luar ini. Secara gaya dan teknik pada era 1990-an ini sudah kian eksploratif karena penggunaan komputer grafis sudah mulai muncul. Ini bisa dilihat dari kebutuhan fotografi, komputer grafis, dan juga ilustrasi. Meskipun secara style masih sederhana, karena kemampuan desain komputernya juga belum terlalu secanggih sekarang.

Pameran ini ingin menunjukkan bahwa musik tak hanya dipertunjukkan, tapi juga digambarkan.

Dalam sistem ekonomi, kehadiran para perupa ini ternyata menciptakan pasar tersendiri. Hadirnya supply-demand pada akhirnya membuat rantai ekosistem rupa musik kemudian muncul. Semakin bermunculan band, label rekaman, clothing/distro, dan event organizer maka kebutuhan akan perupa musik ini juga kian meningkat. Jika dulu, merujuk pada awal 1990-an pola guyub dan kolektif, perupa musik ini merupakan kawan sesama komunitas di mana karya rupa masih bisa dibayar gratis, bayar pakai kaus band, atau sekedar dengan anggur merah.Ttiba-tiba muncul “kebutuhan” untuk menyelesaikan karya dengan permintaan, harus berbenturan deadline, bernegosiasi, hingga menetapkan harga jasa. Apalagi sebagian besar para perupa musik ini (seperti lazimnya seniman dan pekerja kreatif) boro-boro mengerti kontrak atau belajar manajemen.

Rupa musik itu memiliki fungsi dalam membangun identitas dan komunikasi dari suatu band.

Kini tak bisa kita pungkiri bahwa kita sudah memasuki masa visual age (abad visual). Di mana visual punya peran penting dalam segala lini kehidupan apalagi didorong dengan berbagai penemuan sosial media seperti Instagram, Pinterest, Youtube, dll. Termasuk rupa musik sudah menjadi salah satu bentuk industrialisasi desain karena pasar konsumen yang terus membesar. Produksi-produksi kaus band sendiri sudah bukan selusin-dua lusin lagi, tapi juga sudah ratusan bahkan ribuan kaus. Beberapa band mencari profit pada divisi merchandise dibandingkan royalti album. Tercatat band seperti Seringai dan Bugerkill memperoleh profit hingga ratusan juta dari bisnis merchandise kaus ini. Belum kalau kita membicarakan jumlah sampul album yang beredar yang membutuhkan sentuhan perupa musik ini. Berbicara soal rupa musik, memang tak hanya perkara gaya visual yang kian kemari kian keren saja. Akan tetapi memahami juga bagaimana persoalan ekonomi juga memiliki kelindan dengan apa yang namanya apresiasi.

1
2
3
4
Penulis
Idhar Resmadi
Nama Idhar Resmadi sudah dikenal di kalangan jurnalis musik tanah air. Music Records Indie Label (2008), Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 (2011), dan Based on A True Story Pure Saturday (2013) adalah karya yang sudah ia rilis. Selain itu, ia juga merupakan peneliti lepas, pembicara, moderator, atau pemateri untuk bahasan musik dan budaya.

Eksplor konten lain Pophariini

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang

5 Musisi yang Wajib Ditonton di Hammersonic Festival 2024

Festival tahunan yang selalu dinanti para pecinta musik keras sudah di depan mata. Jika 2023 lalu berhasil menghadirkan nama-nama internasional seperti Slipknot, Watain, dan Black Flag, Hammersonic Festival kali ini masih punya amunisi untuk …